Selamat datang di KnK Land. Mari menguasai dunia bersama kami. Disini kalian bisa menemukan ratusan postingan berbahaya dari penulis-penulis kami. Selamat menikmati situs yang hidup ini.




Wednesday, November 7, 2018

Start Point - Chapter 24 : 240 (TAMAT?)

Sebelum membaca novel ini, sangat disarankan untuk membaca chapter sebelumnya terlebih dahulu.
Yak, akhirnya kita sampai ke titik ini, yaitu chapter terakhir?. Kemungkinan ini adalah terakhir kalinya gw bakal nulis novel ini dalam sudut pandang yang gak jelas ini. Jadi mulai minggu depan gw bakal hiatus dulu.

Dan juga, chapter kali ini super panjang.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------




Start Point

Aku mencoba berdiri dengan berpegangan pada tembok di belakangku. Aku berjalan melewati Seno tanpa berkata apa-apa. Saat merasa sudah cukup kuat, aku mulai berlari menuju ke pintu keluar.
Sementara itu, Seno hanya terbaring. Dengan tiap organ tubuhnya yang perlahan demi perlahan mulai berubah menjadi butiran-butiran cahaya. Dia tatap plafon dihadapannya. Plafon berwarna putih yang penuh dengan lubang. Saat itu ia pejamkan kedua matanya. Entah apa yang saat itu ia pikirkan.

***
Sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu.
“Hei.”
“Hei...!”
Seno mendengar suara seorang perempuan. Suara tersebut begitu dekat namun dia sama sekali tidak memperdulikannya dan terus bermain sebuah permainan di smartphone miliknya.
Saat itu adalah hari yang cerah. Sangat cerah dengan awan tipis dan cuaca yang bersahabat. Mentari bersinar dengan terang, langit biru cerah membentang dan angin berhembus sepoi-sepoi. Dibawah naungan sebuah pohon, Seno berbaring di sebuah kursi. Sebuah kursi kayu yang sedikit berlumut ditelan jaman, namun masih menjaga bentuk aslinya. Sesekali daun dari pohon yang menaunginya berguguran. Daun yang berguguran itu langsung tertiup dibawa angin dan terbang entah kemana.
Seno bersyukur karena saat itu taman tidak terlalu ramai sehingga dia bisa bermain dengan tenang. Saking tenangnya, Seno bisa mendengar dengan jelas suara seorang petugas kebersihan yang sedang menyapu dedaunan dengan sapu lidi. Namun, meski begitu, sejak tadi ada sebuah suara. Sebuah suara yang terus mengganggunya. Meski mengganggu, Seno terlalu fokus dengan apa yang sedang ia mainkan dan terus mengabaikan perempuan itu.
Ya, begitulah.
Sampai akhirnya perempuan itu menarik smartphone milik Seno dan berhasil mengambilnya. Sontak, Seno langsung bangun dari kursi tersebut. Dia duduk dengan kaki yang berselonjor. Setelah itu, dia menengok kearah perempuan itu. Seorang perempuan yang mengenakkan seragam SMP yang masih nampak baru. Dia bahkan masih memakai tas dan itu menandakan kalau dia baru saja pulang dari sekolah. Perempuan itu memiliki rambut hitam panjang yang dikuncir. Ekspresinya nampak sedikit datar juga nampak kesal. Menurut Seno, untuk seukuran anak SMP, perempuan itu nampak cukup dewasa. Dia menggenggam smartphone Seno, membuat Seno mau tidak mau harus berhadapan dengannya. Perempuan itu menatap Seno seakan Seno adalah musuh abadinya. Tatapan itu begitu tajam hingga Seno sendiri tak mengerti kesalahan seperti apa yang membuat perempuan itu marah kepadanya.
Namun, bukannya bertanya, itu malah menjadi momen hening bagi mereka berdua. Merasa canggung, Seno mulai membuka mulut lalu bertanya “Anu, ada apa ya?”
“Geser.” Jawab perempuan tersebut.
“Hah?” Seno sama sekali tidak mengerti maksud dari perempuan itu. Diapun bertanya balik dengan penuh kebingungan.
“Kursi itu—” Perempuan itu memejamkan kedua matanya lalu bergeleng-geleng. Setelah itu, dia buka kembali matanya dan mulai mengoreksi kata-katanya “Aku biasa duduk di kursi itu, jadi bisakah kau geser sedikit?”
“Mmm... Baiklah. Tapi bisakah kau kembalikan terlebih dahulu smartphone milikku?” Seno ulurkan tangannya kearah perempuan itu dengan harapan kalau dia mau mengembalikkan smartphone milik Seno. Perempuan itupun mengangguk lalu mengembalikkan smartphone tersebut.
Setelah menerima smartphonenya kembali, Seno berhenti duduk dengan kaki berselonjor. Dia duduk seperti biasa sambil bersandar di kursi. Sementara perempuan itu berjalan melewati Seno lalu duduk di sampingnya. Tak lama kemudian, perempuan itu membuka rel sleting tasnya dan mengambil smartphone miliknya. Saat ia hendak akan membuka smartphonenya, dia tak sengaja melihat permainan yang sedang dimainkan di smartphone milik Seno.
“Itu, bukankah itu Grand Rude Galaxy?” Perempuan itu langsung mendongkak kearah Seno. Seno yang terkejut sekaligus merasa risi, langsung memundurkan wajahnya.
“Y,Ya. Memangnya kenapa? (Apa-apan dia, kenapa tingkahnya berbeda dengan sebelumnya?)” Seno sedikit tertawa lalu menunjukkan layar smartphonenya kepada perempuan itu sambil menunjuk layar.
”Aku juga memainkannya. Mau bermain bersama?” Tanya perempuan itu dengan penuh antusias sambil menunjukkan karakter permainan Grand Rude Galaxy miliknya. Seno setuju lalu merekapun bertukar smartphone untuk melihat status karakter masing-masing.
“(Sisin... nama karakter yang cukup aneh.)” Setelah melihat-lihat selama beberapa menit, Seno menyadari bahwa karakter milik perempuan itu sangatlah payah. Itemnya, berantakan. Skill Treenya tidak merata. Bahkan dia selalu kalah di menit-menit awal permainan. Seno hampir tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat. Saat itu dia sempat berpikir, kalau perempuan itu sama sekali tidak mempunyai bakat dalam bermain game.
Seno melirik kearah perempuan itu. Dilihat dari ekspresinya saat melihat karakter milik Seno, perempuan itu nampak begitu takjub dan juga bersemangat. Wajahnya jadi nampak cerah dan penuh senyuman, sangat berbeda dibandingkan sebelumnya.
Melihat ekspresi itu membuat Seno merasa agak bersalah. Dia mencoba meyakinkan diri untuk tidak menilai buku dari sampulnya. Karena itulah dia setuju untuk bermain bersama sebagai tim. Mereka megembalikan smartphone mereka masing-masing, dan mulai bermain.
Tapi hasilnya...
“(Ternyata beneran payah....)” Seno mencoba memaksakan senyumannya saat melihat tim mereka yang dikalahkan dalam beberapa menit akibat kecerobohan perempuan itu. Tapi, perempuan itu nampak biasa saja dan tidak kesal maupun sedih. Dia bahkan nampak lebih semangat dari sebelumnya. Seno menghela napas “Maaf jika ini tidak sopan. Tapi akan kukatakan sejujurnya.”
Perempuan itu menengok sambil tersenyum polos.
“Kau sama sekali tidak memiliki bakat dalam bermain game. Jika terus seperti ini, kau hanya akan menjadi punching bag bagi pemain-pemain lainnya.” Seno tertunduk sambil menggaruk belakang rambutnya. Dia sadar betul kalau yang dia katakan saat itu sangatlah tidak sopan. Padahal mereka baru saja bertemu, Seno bahkan tidak mengetahui nama perempuan itu. Tapi menurutnya, jujur kepadanya lebih baik dari pada hanya diam.
“Aku sudah tahu.” Jawab perempuan itu dengan santainya. Jawabannya yang begitu simpel membuat Seno mengangkat wajahnya kembali. Jawaban seperti ini tidak Seno duga sama sekali.
“Lalu, kenapa kau—”
“Karena bermain game itu menyenangkan.” Perempuan itu tersenyum lebar. Senyumnya begitu tulus dan diisi dengan kejujuran. Beberapa patah kata itu telah membuat mata Seno terbelalak. Dia tak bisa berkata-kata untuk itu dan hanya bisa membalas senyumannya. Perlahan, Seno mengangkat tangan kanannya kearah perempuan tersebut.
“Oh ya, kita belum pernah berkenalan sebelumnya. Namaku Seno Ardiantoro. Namamu?” Seno mengulurkan tangannya. Berharap perempuan itu mau dengan senang hati membalas jabatan serta pertanyaannya.
Perempuan itu kembali tersenyum sambil membalas jabat tangan Seno. Dia tersenyum manis sambil menatap lurus Seno.
“Namaku, Sindy Adhelani. Senang berkenalan denganmu, Kak Seno.”
***
Hampir setahun telah berlalu sejak hari itu. Mereka selalu menikmati saat-saat yang ada. Hampir setiap hari mereka bermain dan menghabiskan waktu bersama. Menjalin sebuah kebersamaan yang bermula dari sebuah kebetulan. Sebuah kebetulan yang mempertemukan mereka berdua telah mengubah takdir antara keduanya.
Si Payah yang perlahan semakin mahir dengan seiring berjalannya waktu.
Dan Si Penyendiri yang semakin mengerti apa artinya sebuah kebersamaan.
Perlahan hubungan mereka semakin berubah. Dari sebuah pertemanan, menjadi sebuah hubungan yang mirip seperti kakak dan adik. Namun, apakah benar begitu?
Suatu malam. Sehari sebelum Seno terbang ke luar negeri untuk menghadiri final sebuah E-Games.
“Jadi, ada apa? Kau tiba-tiba mengirim pesan kepadaku untuk datang ke taman selarut ini?” Seno berjalan menghampiri Sindy sambil menunjukkan sebuah pesan di smartphonenya. Sindy yang awalnya sedang duduk bermain smartphone langsung berdiri dan menghampiri Seno saat mendengar pertanyaannya.
“Anu, maaf. Nampaknya besok pagi aku takkan bisa ikut mengantar kakak ke bandara. Karena besok aku ada ujian sekolah.” Kata Sindy dengan lesunya sembari tertunduk membuang muka.
“Tak perlu dipikirkan. Saat ini, kau fokus saja mengerjakan ujian itu.” Seno mencoba menghibur Sindy dengan tersenyum dan menepuk pundaknya, namun Sindy hanya mengangguk dan masih nampak murung seperti sebelumnya. Karena tak ada perkembangan sama sekali, Seno ikut membuang wajahnya. Dia mencoba mencari cara lain untuk menghibur Sindy. Dia kembali menatap Sindy  lalu berkata “Po-pokoknya, bagaimana jika kita bermain bersama lagi untuk terakhir kalinya sebelum aku pergi?” Seno mengangkat smartphonenya sambil tersenyum lebar dan tulus.
Sindy menoleh. Matanya agak berbinar-binar dan wajahnya lebih cerah dibandingkan sebelumnya. Sindy mengangguk dengan semangat lalu langsung menangkap tangan Seno dan menariknya menuju ke kursi.
Mereka akhirnya hampir menghabiskan waktu semalaman bermain game di smartphone mereka. Meski tidak lama, namun itu adalah momen-momen yang tak terlupakan bagi mereka berdua.
Namun saat itu, mereka sama sekali tidak tahu keputusasaan macam apa yang akan hadir di hidup mereka.
***
Keesokan harinya.
Sepulang dari sekolah, Sindy langsung bergegas pulang ke rumahnya. Dia langsung masuk ke kamar dan berbaring dikasur. Dia sudah tak sabar ingin mendengar berita dari Seno. Dia bahkan sampai lupa mengganti bajunya. Jantungnya berdegup kencang. Dengan harapan dan perasaan tak sabar yang begitu tinggi, dia menunggu. Sebelumnya mereka berjanji, kalau mereka akan tetap menghubungi satu sama lain melalui surel.
Karena itulah, Sindy begitu yakin kalau Seno pasti sudah mengirim surel kepada Sindy kalau Seno pesawatnya sudah mendarat di bandara. Karena sudah lebih dari lima jam berlalu sejak pesawat Seno lepas landas.
Dengan cepat, Sindy langsung menyalakan laptopnya. Dia buka e-mailnya dengan penuh harapan. Dia begitu berharap kalau surel pertama yang ia baca di e-mailnya adalah pesan dari Seno.
Namun, harapannya sirna seketika. Harapannya langsung menghilang tanpa jejak. Harapannya langsung berubah menjadi keputusasaan. Karena kedua hal itu, bagaikan dua sisi koin yang sama. Sindy menatap email kosong. Kosong tanpa ada satupun pesan. Saat itu dia bertanya-tanya, kenapa Seno tak mengirimnya pesan. Dia mencoba mencari tahu dengan mengirim Seno sebuah surel dan berharap mendapat balasan dari surel tersebut.
***
Esok harinya. Pagi hari.
Saat itu masihlah pagi. Bahkan kedua orang tuanya masih tertidur. Entah karena terlalu bersemangat atau apa, Sindy malah terbangun. Dia begitu tak sabar melihat balasan dari Seno atas surelnya.
Namun, sama sekali tak ada balasan.
Sindy tetap mencoba berpikir positif. Dia mencoba mengalihkan pikirannya dengan berpikir kalau Seno mungkin sedang sibuk hingga ia tak sempat membuka emailnya. Saat itu juga dia berpikir, karena sudah terlanjur bangun, kenapa dia tak mandi lalu bersiap ke sekolah.
Seusai mandi. Setelah selesai memakai seragam, Sindy pergi ke ruang keluarga. Setelah melihat televisi yang masih menyala, Sindy teringat kalau sebelum mandi ia sempat menonton tv sebentar. Karena tak ingin membuang-buang listrik dan karena tagihan listrik itu mahal, Sindy mencari remot dan berniat untuk mematikan tv. Disaat dia hendak berniat untuk mematikan televisi, saat itulah ia melihat berita itu.
Di layar televisi tersebut, terdapat sebuah berita. Sebuah berita yang sama sekali tak diharapkan keberadaannya. Berita yang sama sekali tak bersahabat. Matanya terbelalak, tubuhnya membeku, pikirannya kosong dan remote yang sebelumnya ia genggam erat-erat di tangan kanannya terjatuh beriringan dengan ia yang lemasnya menjatuhkan tangan kanan. Sindy mencoba untuk tidak mempercayai setiap tulisan—setiap kata—setiap huruf yang tertera di berita itu. Namun ia tak bisa lari dari kenyataan. Dia menelan ludahnya dan mulai membaca judul berita tersebut.
“Insiden E-Games! Pesawat yang Mengantar Peserta-Peserta E-Games Akhirnya Ditemukan Dalam Kondisi Naas Di Tengah Laut.”
Dengan lemasnya, ia menjatuhkan lututnya. Wajahnya tertunduk. Dia mencoba menutup matanya dan berharap kalau itu hanyalah mimpi. Namun tidak bisa. Air matanya menetes. Setetes, dua tetes, tiga tetes dan terus menetes tanpa Sindy sadari. Tiap tetesan air matanya terdapat sebuah rasa sakit yang amat sangat. Rasa sakit yang dia rasakan dari titik paling dalam dari hatinya.
Hari itu, Seno Ardiantoro, 19 tahun, ditemukan meninggal.
***
Masa Kini
Seno kembali membuka matanya. Tanpa ia sadari, hampir seluruh bagian tubuhnya telah berubah menjadi butiran-butiran cahaya. Entah sudah berapa lama ia tenggelam dalam lautan kenangan. Namun saat itu, dia menatap lurus. Tersenyum dan berkata.
“Aku bersyukur bisa bertemu kembali denganmu, Sindy.”
“Dan lagi, aku senang akhirnya kau menemukan seseorang yang benar-benar kau sukai dari lubuk hatimu. Meskipun itu, benar-benar membuat kakakmu ini merasa patah hati.”
***
Beberapa saat yang lalu.
Sindy terus berlari melewati lorong-lorong koridor berwarna putih. Mencari ruangan dimana Zaki dan yang lainnya berada. Sudah beberapa menit berlalu sejak dia pergi menuruni tangga, namun dia tetap tak bisa menemukan ruangan tersebut. Ditambah lagi, dia sama sekali tak punya earphone ataupun alat untuk berkomunikasi dengan Adi maupun yang lainnya.
Kalau video yang ditunjukkan laptop itu benar, maka seharusnya sudah terdapat banyak monster di setiap lorong yang dilaluinya. Berbeda dengan fakta yang ada. Sejak dia turun ke lantai bawah, dia tak menemukan satupun monster. Yang ada hanyalah koridor kosong nan sepi.
Tiba-tiba, terdengar suara ledakan dan suara puing-puing yang runtuh atau jatuh. Suara tersebut begitu kencang hingga hampir menggema di lorong koridor. Tanpa pikir panjang, Sindy langsung berlari menuju ke sumber suara. Dia menelan ludah, menarik napas lalu mulai melangkahkan kakinya. Dia terus berlari dan terus berlari menuju ke sumber suara. Dia terus berlari meski dia tak tahu pasti dimana tepatnya sumber suara tersebut.
Namun akhirnya, dia sampai.
“Apa ini...?” Dihadapannya, terpampang sebuah aula dengan kondisi yang mengenaskan. Perlahan dia berjalan—selangkah demi selangkah masuk. Langit-langit bolong, bongkahan batu terbentang di mana-mana—ada yang hancur ada pula yang tertancap di lantai, lalu ada tumpukan batu di dekat pintu. Di tumpukan batu tersebut, membekas sebuah goresan besar. Goresan yang cukup besar. Dilihat dari ukurannya, tak mungkin pisau dapat mengasilkan goresan seperti ini. Sindy mendekati tumpukan batu itu dan berjongkok lalu mengusap goresan tersebut “(Tidak salah lagi, ini adalah goresan pedang.)”
Dia kembali berdiri lalu menengok kesana kemari. Anehnya, tak ada satupun bekas goresan lain di aula selain goresan yang ada di tumpukan batu. Sindy semakin berjalan memasuki aula tersebut. Entah mengapa, ia merasa kalau ada sesuatu yang memanggilnya. Dia terus melangkah seakan perasaannya memanggilnya ke ujung aula. Namun, di tempat itu tak ada siapa-siapa. Dia sendirian. Saat dia menengok kesana kemari,  ada sebuah batu kerikil yang jatuh dari atas. Sontak, Sindy langsung menengok keatas mengikuti arah jatuhnya kerikil tersebut. Diatasnya, terdapat sebuah lubang yang sangat besar. Cukup besar untuk bisa dimasuki oleh seseorang.
Saat ia hendak pergi, dia menyadari kalau dia tak sengaja menginjak sebuah sobekan kain. Sebuah sobekan kain berwarna hitam dengan sebuah motif garis berwarna abu-abu.
Kedua matanya terbelalak saat dia menyadari kain milik siapa itu.
Sindy berjongkok lalu mengambil kain tersebut. Setelah diambil, Sindy kembali berdiri lalu menatap dalam kain itu “Kain ini...” Tepat saat Sindy mulai berdiri dan menggenggamnya, kain tersebut mulai berubah menjadi butiran-butiran cahaya. Butiran-butiran cahaya tersebut terbang terbawa angin. Sindy menengok—menatap setiap butiran-butiran cahaya yang perlahan semakin lenyap tersebut. “Kakak....” Perasaannya bercampur aduk. Dia tak tahu harus bersedih atas kehilangan Seno untuk yang kedua kalinya atau senang atas kemenanganku. Dia hanya bisa tertunduk—mencengkram pakaiannya dan memejamkan kedua matanya.
“Hoo, aku kemari setelah mendengar suara ledakan. Tapi aku tak menduga kalau aku akan menemui seseorang di sini.” Mendengar suara seseorang, wajah Sindy langsung terangkat dan mengarahkan pistolnya kearah sumber suara. Suara langkah kakinya yang menggema di seluruh aula terdengar dengan jelas. Seorang lelaki dengan berpakaian rapih nan serba hitam. Rambutnya yang keemasan dan jasnya yang nampak seperti baru. Tatapan matanya nampak tenang dan terkesan bosan. Tapi juga, nampak kejam dan haus akan hiburan.
“Siapa kau?” Tanya Sindy dengan tegas.
Dent menyeringai sembari menatap Sindy dengan tajam. Lalu ia berpose dengan tangan kanan di depan dan tangan kiri yang di sembunyikan di belakang. Posenya nampak seperti seorang bangsawan di film-film hollywood yang sedang mengenalkan diri “Namaku adalah Dent. Aku adalah salah satu dari kelima petinggi. Senang berkenalan denganmu, nona.”
“Petinggi?! Jadi kau sama seperti Kak Seno.” Sindy semakin waspada. Perlahan, dia melangkah mundur menjauhi Dent.
“Kak?” Dent tertegun. Tak lama setelahnya, dia melihat sebuah bola cahaya kecil yang terbang mendekatinya lalu lenyap. “Jadi begitu, aku mengerti. Jadi Seno sudah kalah.” Dent pejamkan matanya lalu merapihkan jasnya. Nada bicaranya begitu datar seakan dia sama sekali tidak merasa terkejut maupun kesal atas kekalahan Seno. “Apakah kau yang sudah mengalahkannya, nona?” Tanyanya sambil membuka kembali matanya.
“Aku—” Saat Sindy akan menjawab pertanyaan Seno, tiba-tiba sebuah kilatan cahaya terlempar kearahnya dengan begitu cepat hingga menggores pundaknya. Sontak, Sindy langsung menekan luka tersebut. Sambil menahan rasa sakit, dia menengok kebelakang. Ternyata kilatan cahaya yang melesat kearahnya adalah sebuah pedang. Sebuah pedang cahaya yang perlahan semakin terkikis dan lenyap. Sindy semakin was-was, dia berbalik lalu menodong Dent dengan kedua pistolnya.
Dent menyeringai lebar. Dia menatap dan menyeringai kepada Sindy dengan jahatnya “Yah, aku tak perlu jawaban darimu. Jika kau memang seseorang yang telah mengalahkan Seno, maka kau akan menjadi hiburan bagiku. Jika tidak, maka kau bisa mengisi waktu luangku.” Perlahan, Seno mulai melayang. Di belakangnya, muncul sebuah lingkaran cahaya berwarna biru yang begitu terang benderang. Dari lingkaran tersebut, tercipta pedang-pedang cahaya yang terhitung lebih dari hitungan jari.
“(Gawat, orang ini kelihatannya sangat berbahaya.)” Pikir Sindy. Pedang-pedang cahaya dilemparkan kearahnya. Tentu saja, peluru biasa dari pistolnya takkan sanggup menahan maupun menepis pedang-pedang tersebut. Satu-satunya pilihan baginya adalah menghindari setiap pedang tersebut.
Sindy melompat menghindari setiap pedang yang ditembakkan kearahnya lalu berlari sambil menembaki Dent. Seno mengayunkan tangannya ke setiap peluru yang ditembakkan kearahnya. Akibatnya, sebuah pedang dari salah satu pedang-pedang cahayanya melindunginya dari datangnya peluru. Melihat serangannya tak berhasil, Sindy berdecap kesal. Diapun melompat lalu menembakkan Thunderstorm Bullet. Melihat banyaknya peluru yang Sindy tembakkan kearahnya, kedua tangan Dent langsung terangkat ke depan—ke pedang yang sebelumnya selalu menahan peluru Sindy. Dia lebarkan jarak antara kedua tangannya, bersamaan, pedangnya ikut melebar mengikuti lebarnya jarak antara kedua tangannya.
“(Ternyata benar, Thunderstorm Bulletku tak bisa menembus pertahanannya. Kalau begitu, tak ada pilihan lain selain menggunakkan itu.)” Sindy sudah merasa lelah menghindari pedang-pedangnya. Dia sudah menghindar ke hampir segala arah. Karena itu, sejauh manapun mata memandang, pasti ada saja pedang cahaya yang tertancap di lantai.
“Ada apa? Apa kau sudah merasa lelah? Ayolah, jangan membuatku mengantuk.” Dent tertawa kecil lalu langsung mengayunkan kedua tangannya kearah Sindy sehingga kelima pedang langsung terlempar kearahnya. Ukuran pedang yang Dent tembakkan begitu besar. Bahkan lebih besar dari ukuran tubuh Sindy sendiri.
“(Oh tidak—)”
Dengan cepat, kelima pedang cahaya tersebut menghantamnya. Saking cepatnya, asap dan debu yang keluar dari lantai yang hancur akibat kelima pedang itu tersebar dimana-mana. Dent menengok kekanan dan kekiri. Melihat tak ada tanda-tanda kalau Sindy berhasil menghindar, Dent pejamkan kedua matanya lalu menghela napas. “Sayang, sekali. Padahal aku berharap banyak darimu.”
“Kalau begitu, bagaimana jika aku yang berharap banyak darimu?”
Kedua matanya langsung terbuka lebar sesaat setelah mendengar suara Sindy. Dengan reflek, dia lebarkan salah satu pedang cahaya miliknya lalu mengibaskannya bagaikan gibasan kipas kearah sate saat membakarnya. Akibatnya, asap yang ada di sekitarnya lenyap tanpa sisa. Namun, dia tak menemukan Sindy dimanapun. Dihadapannya hanya ada keempat pedangnya yang menusuk kearah lantai yang sama. “Apa yang—”
“Diatas sini!”
Dent langsung menengok ke atas. Dihadapannya, ada Sindy dengan tangan kirinya yang menodongkan pistolnya tepat kearahnya. “Open the Seal : Ultimate - Storm.” Dari pistolnya keluar sebuah peluru listrik yang begitu terang. Peluru Berwarna ungu itu sepenuhnya terbuat dari listrik. Peluru itu begitu cepat sampai-sampai lebih cepat daripada kedipan mata. Tentu saja, Dent tak berdiam diri begitu saja. Dia langsung melemparkan beberapa pedang kearah Sindy. Tapi saat itu dia tidaklah sadar, atau lebih tepatnya, dia belum sadar kalau peluru listrik Sindy sudah mengenai pundak kirinya. Saat dia menyadari luka itu, sebuah sengatan listrik langsung menyengat pundak kirinya hingga mengakibatkannya terjatuh.
Sementara itu, Sindy yang masih berada di udara melihat pedang-pedang yang berdatangan kearahnya. Dia memang terlihat baik-baik saja, namun sebenarnya saat ini tangan kanannya terasa begitu panas. Itu dikarenakan dia sedang menggenggam salah satu pedang cahaya dari kelima pedang sebelumnya. Sindy tahu betul kalau saat itu dia akan diserang dan dia takkan bisa menghindar. Rasanya begitu panas. Bahkan lebih panas dari menggenggam bohlam lampu yang sudah menyala lebih dari 24 jam. Namun hanya ini satu satunya cara yang bisa ia pikirkan untuk bisa menghindari serangan tersebut.
Dengan cepat, Sindy langsung menaruh pedang itu ke hadapannya lalu berlindung dibaliknya. Sesuai dugaan, pedang-pedang tersebut berhasil ditahan oleh pedang besar tersebut. Mereka menabraknya lalu terjatuh bagaikan pisau dapur. Untungnya ukuran pedang itu cukup besar sehingga Sindy bisa berlindung dari pedang-pedang yang ditembakkan Dent.
Setelah mendarat, Sindy langsung melompat mundur menjauhi Dent. Tangan kanannya masihlah bergetar karena rasa panas yang dirasakannya. Bahkan untuk menggerakkan jari saja terasa sakit. Tapi baginya sekarang bukanlah saat untuk memikirkan itu, karena di hadapannya, Dent sudah kembali berdiri.
“(Tadi itu, apa? Serangan tadi memang menyengatku dengan aliran listrik. Tapi, sekarang aku tak merasakan efek apapun. Bahkan serangan tadi sama sekali tidak meninggalkan bekas.)” Dent melirik pundak kirinya. Jasnya nampak bersih dan rapi tanpa adanya goresan sedikitpun. Dia menengok kearah Sindy sambil menciptakan kembali lingkaran biru “Apa yang kau rencanakan?”
Sindy tersenyum mengejek “Entahlah. Kenapa kau tidak melihatnya saja?” Setelah tersenyum, dia sedikit mendongkakkan wajahnya lalu menodong Dent dengan pistol di tangan kirinya.
Dent hanya terdiam, lalu perlahan tertunduk. “Khu, wahahahaha.” Dengan begitu kencang dan lantang, Dent tertawa. Seakan dia tak merasa terintimidasi sama sekali dan malah menikmatinya. “Baiklah, akan kuterima dan aku akan buka lebar-lebar mataku untuk melihat pertunjukan ini.” Dengan cepat, ia langsung menembakkan pedang-pedang tersebut kearah Sindy. Meski tangan kanannya masih terasa sakit, Sindy tetap berusaha sekuat tenaga untuk menghindari pedang-pedang itu.
Saat Sindy mulai menghindar, dia menyadari satu hal, yaitu pedang-pedang yang ditembakkan kearahnya terasa berbeda. Rasanya lebih cepat dan lebih besar dari sebelumnya. Bahkan ukurannya hampir sama dengan kelima pedang sebelumnya. Sehingga membuatnya agak kesulitan menghindar. Tapi itu tidak menghentikannya untuk memanfaatkan momen-momen dimana dia menghindar dengan terus menembakki Dent. Peluru yang dia tembakkan hanyalah peluru biasa, karena saat ini mananya sedang terkuras oleh skill Storm yang dia keluarkan sebelumnya.
“(Percuma saja!)” Dent langsung menggunakkan pedangnya untuk menangkis peluru-peluru Sindy. Tapi, Dent begitu tak menduga apa yang terjadi setelahnya. Peluru-peluru tersebut berbelok tepat saat berada begitu dekat dengan pedang cahaya milik Dent. Seakan-akan peluru tersebut memiliki kesadaran sendiri. Setelah berbelok, peluru itu langsung bergerak menyerong dan mendarat tepat di pundak kiri Dent—di tempat dimana peluru listriknya mendarat.
Saat itu juga, peluru Sindy berhasil mengenai pundak Dent dengan telak. Namun, Dent malah tersenyum setelah terkena serangan itu. Sindy yang merasa was-was setelah melihat senyuman anehnya, terus menembakinya dengan pistol. Di waktu yang bersamaan, Dent mencoba menghalau peluru tersebut. Tapi, sekeras apapun dia mencoba, sebesar apapun dia lebarkan pedang miliknya, pedang tersebut tak pernah bisa menangkis peluru-peluru Sindy. Pelurunya selalu berbelok dan selalu berhasil mengenai tubuh Dent.
 Setelah terkena beberapa tembakan, Dent terjatuh. Lingkaran biru yang dibanggakannya perlahan mulai lenyap bersama dengan jatuhnya dia. Satu persatu, pedang-pedang yang berserakan di seluruh aula lenyap. Bahkan akhirnya Sindy bisa berhenti menghindar dan menarik napas.
Aula begitu hening dan sunyi seakan tak ada orang. Hanya suara beratnya tarikan napas Sindy. Sejak tadi, Dent sama sekali tak bergeming. Dia hanya berdiri tertunduk seperti patung. Keheningan itu berlangsung selama beberapa menit sampai akhirnya Dent mulai tertawa. Tawanya lebih kencang dari sebelumnya, sebuah tawa yang terdengar gila. Suara tawanya yang begitu keras menggema di seluruh aula. Semakin lama dia tertawa, semakin kencang suara tawanya. Di tengah tawanya, dia terhenti. “Boleh. Bagus. Inilah yang kuinginkan. Pertarungan seperti inilah yang kuinginkan.”
Tiba-tiba, dalam kedipan mata, Dent sudah berada tepat dihadapan Sindy. “Kalau begitu, apa kau bisa terus bermain?”  Pedang cahayanya yang begitu besar dia lemparkan kearah Sindy.
Sindy tak bisa berkutik dengan jarak yang begitu dekat seperti itu. Pedang besar itupun akhirnya mengenai Sindy. Bukannya tertusuk, pedang itu justru memukulnya seperti bola bisbol. Ini seakan, ia sengaja tak melakukan itu. Dengan jarak sedekat itu, hampir mustahil bagi pedang besar itu untuk tidak mengenai Sindy. Akibatnya, Sindy terpental hingga ke ujung aula. Untungnya, di detik-detik yang sempit tersebut dia sempat menahan pukulan tersebut dengan kedua tangannya. Sehingga tak mengakibatkan damage yang besar ke dirinya. Namun sekarang, kedua tangannya terasa hampir mati rasa. Meski begitu, dia masih bisa merasakan rasa panas akibat menahan pedang tersebut.
Untuk yang ke sekian kalinya, asap memenuhi tempat itu. Asap dan debu sepertinya sudah lumrah muncul di tempat itu sampai-sampai Sindy tak bisa mengeluh akan itu. Tembok di belakangnya hancur. Puing-puing batu yang berasal dari tembok berserakan di sekitarnya. Punggungnya juga terasa sakit akibat menabrak tembok.
Sindy mencoba untuk kembali berdiri, namun tubuhnya masihlah terasa sakit untuk digerakkan. Berkat tangannya yang menahan serangan tadi, hp yang dimilikinya masih tersisa setengah. Dia mungkin sudah kalah telak jika dia tidak menahan serangannya. “Ada apa? Apa kau sudah menyerah? Sayang sekali, padahal tadi aku sengaja tidak menusukmu karena aku ingin kau terus menghiburku.” Dent menatap Sindy sambil tersenyum licik. Tatapannya—tatapan yang dikeluarkannya bukan lagi tatapan yang menunjukkan rasa bosan. Namun tatapan yang penuh dengan ambisi dan juga nafsu membunuh.
“(Gawat.... Apakah skill ultimate-ku masih belum cukup untuk mengalahkannya? Manaku juga sudah menipis karena skill ultimate-ku.)” Sindy dengan lemasnya menatap Dent. Sementara itu lingkaran biru di belakang punggung Dent semakin bercahaya dan pedang dihasilkannya semakin banyak. Pedang besar tadi juga terpecah menjadi beberapa pedang yang berukuran kecil. Semua pedang tersebut menghadap lurus—menghadap kearah Sindy.
Dent menatap sombong Sindy yang tak berdaya. “Sayang sekali, sepertinya kau bukanlah lawan yang pantas bagiku.” Disaat yang bersamaan, semua pedang yang Dent ciptakan menerjang langsung kearah Sindy. Hujan pedang langsung mengguyur kearah Sindy. Bagaikan badai.
“Open the Seal : Light Boost.”
Dengan kecepatannya yang bagaikan cahaya, ia menerjang melewati badai pedang di hadapannya—menggendong Sindy melewati hujan pedang yang tak bisa dihitung dengan jari. Begitu cepat hingga akhirnya ia berlari cukup jauh menjauhi Dent. Setelah itu, Light Boost akhirnya habis lalu ia menurunkan Sindy.
“Apa kau baik-baik saja, Sindy?”
Sindy membuka matanya. Di hadapannya berdiri seorang perempuan. Seorang perempuan yang sudah ia temui dengan Zaki dan Leila di tempo hari. Rambutnya yang sepanjang pundak dan berwarna ungu yang indah seperti Bunga Iris. Meski hanya sesaat, Sindy bisa dengan jelas mencium bau shampo yang semerbak.
Sindy sama sekali tak menduga kedatangannya. Dia hanya bisa terbaring lemas dan menatap bingung. Dari pintu masuk ruangan, masuklah Ani dan Eni lalu diikuti oleh Andri. Mereka nampak lelah setelah berlari mengejar Mbak Anna. Mereka menengok dan melihat Mbak Anna serta Sindy lalu menghampiri mereka.
“Aduuh, kenapa lari Kakak begitu cepat?” Ujar Eni dengan kesal.
“Sudah, sudah, yang penting kita berhasil mengejarnya.” Ani menepuk pundak Eni sambil tertawa kecil.
“Hm? Kalian saja yang terlalu lambat.” Balas Mbak Anna dengan seringaian penuh ejekan. Sindy menatap mereka penuh rasa bingung. Wajahnya seakan berkata Kenapa kalian berada disini?
“Kak Anna? Kenapa kakak bisa ada di sini?” Tanya Sindy penuh penasaran.
“Aku yang seharusnya bertanya seperti itu. Bagaimana kau bisa bertemu dengan ikan besar sepertinya?” Mbak Anna tersenyum kecut sambil menunjuk kearah Dent. Sindy terdiam sesaat, lalu membuang tatapan. Dia nampak murung setelah mendengar pertanyaan itu. Meski Mbak Anna awalnya hanya berniat untuk bercanda, namun ia sama sekali tak mengira akan mendapatkan reaksi seperti ini.
“Itu karena...”
“Yah, aku memang tak tahu kenapa kau bisa berada di sini... Tapi, karena kau sudah ada di sini, nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Sebaiknya sekarang kau beristirahat saja dan lihat aku mengalahkan monster itu.” Ujar Mbak Anna tersenyum lembut, lalu mulai menarik pedangnya keluar dari dalam sarung pedang. Sindy hanya bisa mendongkak menatapnya—mengangguk dengan polosnya lalu bersandar di tembok yang ada di belakangnya.
“Tenang saja kak, kami pasti akan melindungimu.” Kata Ani penuh semangat yang dengan enerjiknya berlari menghampiri Sindy diikuti oleh Eni.
“Benar. Jadi untuk saat ini, kakak beristirahat saja.” Eni dan Ani tersenyum polos kepada Sindy, dan lagi Sindy mengangguk untuk yang kesekian kalinya.
“Ini, terimalah.” Dengan perlahan Andri menghampiri Sindy sambil membawa sebotol ramuan penyembuh. Dia berjongkok lalu memberikan itu kepada Sindy.
“Te, terima kasih....” Ujar Sindy setelah meneguk habis ramuan penyembuh. Akibat ramuan itu, tubuhnya sudah tak terasa sakit. Punggungnya tak terasa nyeri dan kedua lengannya sudah tidak mati rasa.
“Kau lagi rupannya. Minggir, aku sudah tidak tertarik melawanmu.” Tegas Dent dengan dingin dan kasar. Bila diibaratkan—mungkin baginya saat ini ia adalah ular dan Sindy adalah tikus. Lalu, ketika sang ular hendak berniat untuk menangkap tikus tersebut, seekor landak menghalanginya. Dan landak itu adalah Mbak Anna dan lainnya.
“Dasar tidak sopan. Tak sepatutnya kau berkata seperti itu kepada seorang wanita.” Mbak Anna mengayunkan pedangnya ke serong kanan sesaat setelah menariknya lalu berjalan sambil menyeringai kepada Dent.
“Kali ini, aku akan membantumu.” Andri berjalan menghampiri Mbak Anna. Dia keluarkan sebuah tongkat sihir dari jubahnya yang panjangnya hingga mata kaki. Tongkat sihir itu begitu tinggi—tingginya hingga setinggi pinggang manusia. Mbak Anna menengok kearah Andri lalu tersenyum dan mengangguk penuh kepercayaan. Andri membalas dengan tersenyum ramah.
Mereka terdiam sejenak menatap Dent. Setelah beberapa detik berlalu, tiba-tiba whush. Dalam satu kedipan mata, Mbak Anna dengan cepat langsung berpindah ke belakang Dent.
Mungkin bagi Dent yang meremehkan Mbak Anna sama sekali tak melihat gerakannya, namun bagi Sindy, gerakan Mbak Anna terlihat cukup jelas. Dengan kakinya yang bercahaya itu, Sindy bisa menyimpulkan kalau Mbak Anna menggunakkan Light Boost miliknya. Tanpa menyia-nyiakan momen yang ada, ia dengan cepat mengayunkan pedangnya.
Bagi Dent, tentu saja menangkis serangan seperti itu merupakan hal yang mudah. Namun yang tak mudah adalah setelah itu. Cahaya keemasan bersinar terang. Dengan cepatnya, lingkaran berwarna emas itu muncul di belakang pundak Mbak Anna bersamaan dengan pedang-pedang cahaya keemasan yang tercipta darinya. “Oh ya, ngomong-ngomong, aku masih menyimpan kemampuanmu, lho.” Bisik Mbak Anna sesaat sebelum ia hantamkan semua pedang cahaya yang ia miliki kearah Dent.
***
Mari mundur ke beberapa menit sebelumnya.
Di sebuah ruangan, Zaki, Leila dan Divisi 7 terjebak.  Setiap jalan yang ada terisi penuh dengan monster. Jumlah mereka kalah dengan jumlah monster yang begitu banyak. Yang bisa mereka lakukan saat ini hanyalah menghabisi setiap monster yang menerobos masuk satu persatu. Namun, mereka tahu betul kalau mereka tak bisa melakukan trik itu terus menerus dikarenakan jumlah mana mereka yang terbatas.
“Open the Seal : Fire Element – Great Sword of Fire.” Dengan pedang apinya yang membara, Zaki membelah dua salah satu monster yang berusaha memasuki ruangan. “Sialan, mereka tak ada habisnya.” Keluh Zaki penuh kekesalan.
“Mau bagaimana lagi, kita benar-benar terjebak di ruangan ini.” Leila melompat menghampiri Zaki lalu menembakkan Five Wind Arrow kearah monster yang berada di pintu masuk.
Wajar saja mereka merasa kesal akan situasi ini. Situasi ini mirip ketika kau memasuki sebuah acara gameshow dimana kau harus memasukan tanganmu ke dalam kotak. Kau sama sekali tidak tahu apa isi kotak itu dan kau merasakan—menyentuh benda-benda aneh di dalam kotak tersebut. Tentu saja saat itu kau begitu merasa kesal dan muak.
Apa cuma aku yang berpikir seperti itu? Oke.
Sudah hampir sepuluh menit sejak mereka terjebak di ruangan itu. Bahkan pintu masuk sudah hancur akibat monster-monster berebutan masuk. Waktu semakin menipis dan jarum jam semakin dekat dengan angka enam.
Saat mereka sedang sibuk menghadapi setiap monster yang ada, tiba-tiba terengar suara langkah kaki yang sangat elegan. Setiap langhaknya nampak anggun dan juga elok bak model yang ada di televisi. Sambil berjalan, dia tertawa geli melihat kondisi Zaki dan kawan-kawan “Fufufu, kalian bagaikan abu di atas tanggul.” Ujar wanita itu sambil memperlakukan tongkat sihir panjangnya seperti sebuah mikrofon.
Wanita itu nampak cantik dan anggun bagaikan seorang model. Rambutnya berwarna hitamnya yang sepanjang pundak dan agak keriting, kulit putihnya yang semakin putih karena bedak, lipstik berwarna merah jambunya yang kelihatan menonjol, juga pipinya yang penuh dengan blush on. Dia memakai jubah yang sepanjang pinggang dengan tudung. Dibalik jubahnya terdapat sebuah gaun sepanjang mata kaki.
“Hah? Apa maksudmu?” Tanya Zaki penuh kebingungan.
“Maksudnya adalah, kita bisa mudah ia kalahkan.” Kak Indra berjalan menghampiri Zaki sambil menarik pedangnya lalu mengubahnya menjadi pedang air. “Siapa kau, nona cantik yang gayanya alay?” Tanya Kak Indra dengan sedikit sindiran.
Wanita itu tertawa dengan genitnya. Nampak jelas kalau ia kesal saat tertawa tadi. “Mas yang di sana bisa aja. Namaku adalah Anggun Ramania, dan kau?”
“In—”
“Indra, hanya Indra. Dan aku adalah Dinda Rohyani, jadi ingat itu!” Samber Mbak Dinda menangkap—menutup mulut Kak Indra dengan tangannya. Nada bicaranya terdengar kasar dan tegas dan wajahnya agak memerah karena kesal. Sementara Indra yang menepuk-nepuk tangan Dinda karena dia kesulitan bernapas. “Ah, maaf—” Sontak, Dinda langsung melepaskan tangannya.
Uhuk, uhuk, kenapa kau tiba-tiba melakukan itu?” Tanya Kak Indra terbatuk-batuk.
“Tidak ada alasan khusus sih....” Jawab Mbak Dinda sambil tertawa kecil menggaruk belakang rambutnya. Kak Indra menghela napas panjang lalu kembali menengok kearah  Anggun.
“Jadi, siapa kau? Jangan bilang kau salah satu dari kelima petinggi?” Dia angkat pedangnya lalu menodongkannya. Anggun tertawa angkuh.
Dia berhenti tertawa lalu tersenyum licik sambil menatap Kak Indra setajam silet “Sayang sekali....” Dia angkat tongkat sihirnya lalu mengetukkannya sekali ke lantai. Saat tongkat itu tepat menyentuh lantai, Anggun langsung berada di hadapan Kak Indra. Dia menyeringai “...Karena itu benar.”
“Apa yang—” Zaki langsung berbalik menghadapnya, namun sebelum dia sempat sepenuhnya berbelok, dia terhenti. Atau lebih tepatnya, waktu di sekitarnya berhenti terkecuali untuk Anggun.
“Open the Seal : Time – Wrap.” Anggun berjalan menghampiri Kak Indra lalu mendekatkan tongkat sihirnya tepat ke hadapan wajah Kak Indra. “Sayang sekali, tapi tadi itu terlalu mudah. Open the Seal : Time – Bomb.” Dia tancapkan tongkat sihirnya ke lantai lalu melompat mundur menjauhi tongkat tersebut. Tak lama setelah itu, tongkat tersebut berubah menjadi sebuah jarum jam dengan ukuran yang sama. Tak lama setelah itu, jarum jamnya meledak dan membuat Kak Indra, Mbak Dinda, Zaki dan juga Leila terpental ke segala arah. Ledakannya begitu besar hingga getaran yang dihasilkan oleh jarum tersebut bisa dirasakan dari lantai atas.
Asap dan debu yang dihasilkan oleh ledakan memenuhi ruangan. Saat ini sangat sulit bagi Zaki dan kawan-kawan untuk bisa melihat dengan jelas. Dengan bebatuan dan puing-puing yang ada, Zaki berusaha kembali bangun “Leila, Kak Indra, Mbak Dinda, semuanya... kalian baik-baik saja?” Tanya Zaki dengan kencangnya. Dia sempat terbatuk-batuk karena asap, sebelum mendengar suara Leila. Tanpa pikir panjang, dia berlari menghampiri suara tersebut. “Leila, kau baik-baik saja?”
Sambil meringis kesakitan, Leila meraih uluran tangan Zaki. ”Ya, aku baik saja.” Setelah kembali berdiri, dia dengan sigapnya mengambil salah satu anak panah dari arrow rest lalu menyiapkannya dibusurnya. Setelah itu, mereka mulai berlari mencari Kak Indra dan yang lainnya.
“Apa itu tadi? Pengendali waktu?”
“Bisa jadi. Dilihat dari serangannya tadi, kemungkinan dia memiliki semacam kemampuan untuk mengendalikan waktu.” Ujar Leila.
“Tepat sekali.” Anggun yang tiba-tiba muncul di samping Zaki langsung menembakkan jarum jam atau Time Bomb miliknya kearah Zaki sambil tertawa licik. Dia nampak girang dan bersemangat meski kemampuan miliknya telah diketahui. Zaki yang menyadari hal itu sontak langsung menepis jarum jam tersebut dengan perisainya lalu menyerang Anggun dengan pedangnya. Jarak antara mereka berdua begitu dekat dan Zaki yakin sekali kalau serangannya pasti kena.
Namun, dia hanya menebas asap.
Anggun menghilang tanpa jejak. Bahkan tak sampai satu detik berlalu, namun dia sudah menghilang dari hadapan Zaki. “Maulana, di belakangmu!” Leila yang ada di belakang Zaki langsung memberitahu Zaki ancaman yang ada di belakangnya. Zaki langsung berbalik, namun saat ia berbalik, jarum jam yang ia tepis sebelumnya kembali menghampirinya bagaikan rudal dari pesawat jet.
“Kau benar-benar payah.” Anggun yang ada di belakangnya tertawa geli lalu menhilang pada saat jarum jam tersebut mulai meledak. Dengan cepat, Zaki langsung mengaktifkan Fire Shelter lalu menggunakannya untuk berlindung dari ledakan. Namun, karena timingnya kurang cepat, Fire Shelter yang digunakannya kuranglah sempurna sehingga ia tetap terpental akibat ledakan tadi.
“Maulana!” Leila mencoba mengejar Zaki, namun Anggun menghadangnya. Jarum jam mulai mengejarnya seraya kemunculan Angun. Berkat status jobnya sebagai Archer, ia bisa menghindari jarum jam tersebut dengan mudah. Sembari menghindar, Leila menyempatkan diri untuk memberi serangan balasan. Namun, setiap tembakannya selalu meleset. Artian meleset disini bukanlah kemampuan Leila yang buruk dalam memanah, namun Anggun yang selalu menghilang setiap Leila tembak. “Open the Seal :  Tornado Explosion Level Medi—” Saat ia hendak berniat mengeluarkan kemampuan itu, dia teringat kalau kemampuan itu bisa saja meruntuhkan seluruh gedung. Diapun batal menarik anak panahnya dan menembakkan Five Wind Arrow.
 “(Aku sama sekali tak bisa mengenainya... Apa aku harus menggunakan itu?)” Saat Leila sedang melamun, jarum jam yang mengejarnya hampir mengenainya. Untung saja Leila tersadar dan berhasil menghindar disaat-saat terakhir.
“Ada apa? Apa kau sudah kehabisan ide?” Anggun muncul di belakang Leila. Namun langsung menghilang karena ditembak oleh Leila.
Leila terhenti. Dia terdiam sejenak sambil menutup kedua matanya. Saat jarum jam menerjang kearahnya, dia melompat tinggi. Dia buka kembali kedua matanya lalu mengambil sebuah anak panah. Dia alirkan seluruh kekuatannya ke busur dan anak panahnya. Saat kekuatannya sudah terkumpul sebanyak mungkin, dia menghela napas lalu menatap lurus—memprediksi kedatangan Anggun.
“(Disana!)” Leila menengok saat merasakan sebuah energi—seseorang yang datang dari arah jam 10. “Open the Seal : Ultimate Wind Arrow.” Saat ia mengucapkan mantra itu, semua anak panah yang ia miliki di Arrow Rest langsung melayang di belakangnya. Anak-anak panah itu mulai mengeluarkan cahaya berwarna hijau lalu berubah menjadi transparan—menyatu dengan angin. Saat anak panah yang ada di busur ia tembakkan, anak-anak panah yang ada di belakangnya mengikutinya. Semua anak panah itu melesat dengan cepat seperti angin, tidak, lebih cepat dari angin itu sendiri.
Melihat anak-anak panah itu, Anggun tersenyum menyeringai “Percuma saja.” Dia menghilang lalu berpindah ke tempat lainnya. Dia mungkin merasa sudah menghindari anak-anak panah itu, sampai akhirnya ia menengok dan menyadari bahwa anak-anak panah itu berbelok kearahnya. Semakin sering ia menghindar, semakin cepat gerak-gerik anak panah itu. Tak peduli seberapa seringpun ia menghindar, anak-anak panah itu selalu mengejarnya bagaikan itik yang mengejar induknya.
“Kena kau.” Leila menembakkan sebuah Tornado Arrow. Berbeda dengan Tornade Explotion, Tornado Arrow cukup aman dan tak memiliki kekuatan yang cukup untuk bisa meruntuhkan ruangan ini.
Sesuai dengan apa yang dia prediksi, Anggun muncul diarah yang sama dengan arah dimana serangan itu menuju. Diapun terkena serangan itu lalu disusul dengan Ultimate Wind Arrow. Saat anak-anak panah itu mengenainya, mereka mengeluarkan tekanan angin yang tajam hingga bisa menghancurkan batu sekalipun. Dan tekanan itu, muncul dari segala arah.
Anggun terjatuh lemas. Dirinya nampak tak sadarkan diri dan terluka cukup parah akibat serangan tadi. Jarum jam yang sebelumnya terus mengejar Leila terhenti dan terjatuh lalu berubah kembali menjadi sebuah tongkat sihir.
Akhirnya, Leila bisa terhenti dan menarik napas lega. Serangan tadi menghabiskan hampir seluruh mana dan juga anak panahnya sehingga ia sudah tak bisa bertarung lagi. Dia melakukan log out lalu terduduk lemas. Tadi itu sebuah pertarungan paling sulit baginya. Dari seluruh serangan yang ia lancarkan, hanya dua atau tiga serangan yang berhasil mengenainya. Karena serangan tadi juga, asap yang sebelumnya memenuhi ruangan lenyap.
Karena asap yang sudah lenyap, Leila bisa melihat dengan jelas kondisi semua orang di ruangan ini. Kak Indra dan Mbak Dinda masih tak sadarkan diri akibat ledakan tadi, anggota divisi yang lainnya juga entah mengapa tak sadarkan diri. Mungkin mereka diserang oleh Anggun hingga pingsan. Monster-monster yang ada di pintu juga menghilang begitu saja. Tanpa sebab maupun tanpa jejak, monster-monster tersebut lenyap.
Leila bertanya-tanya, apa mungkin hilangnya monster-monster itu ada hubungannya dengan kondisi Anggun yang tak sadarkan diri.
Zaki membuka kembali matanya. Setelah beberapa menit tak sadarkan diri akibat ledakan tadi, akhirnya dia kembali terbangun. Saat ia sadar, dia lansung teringat kembali dengan ledakan tadi dan dengan refleknya berdiri sambil menarik pedang.
“Dimana dia?” Zaki menengok kesana-kemari. Tingkah lakunya yang aneh dan konyol membuat Leila tertawa kecil. Mendengar tawa Leila, dia sontak menengok dan akhirnya melihat Anggun yang terbaring lemas di dekat Leila. Zaki tersipu malu saat menyadari kalau Leila sedang tertawa akan tingkanya. Setelah tertawa malu sambil menggaruk rambutnya, dia berjalan menghampiri Leila. “Kau tidak apa-apa?”
“Ya. Meski aku sudah tidak bisa bertarung lagi sih untuk saat ini.” Jawab Leila dengan senyum manis.
“Kalau begitu baguslah, kau hanya perlu duduk manis di sana dan menyaksikan.”
Tiba-tiba, muncul suara perempuan. Suara yang terdengar angkuh dan lirih. Suara tersebut sangat tidak asing bagi mereka. Suara yang baru saja mereka dengar beberapa menit yang lalu.
Dengan perlahan Zaki dan Leila menengok. Firasat buruk mereka perlahan demi perlahan semakin membesar beriringan dengan tengokan mereka. Jantung mereka berdegup dengan kencang. Bahkan suaranya bisa terdengar dengan jelas.
“Halo~” Anggun menatap mereka berdua sambil melambai dan menyeringai dengan ramahnya. Dia nampak bersih tanpa luka sedikitpun. Goresan, tusukan dan luka lainnya sudah lenyap tanpa jejak. Jubahnya bahkan menjadi nampak baru—nampak seperti 10 detik yang lalu.
Di belakangnya, tepat di belakangnya, sebuah jarum jam melayang—mengarah langsung ke Zaki dan Leila. “Bergerak sedikit, dan kalian akan habis.” Anggun berjingkrak-jingkrak dengan riangnya. Sebuah keajaiban dia bisa melakukan itu dengan sepatu hak tinggi yang ia pakai.
“Mengerti...?” Atmosfir yang ada di sekitarnya langsung berubah ketika ia berhenti berjingkrak dan menatap Zaki dan Leila dengan tatapan penuh kebencian. Aura yang dikeluarkannya kali ini begitu berbeda dengan sebelumnya, kali ini ia benar-benar berniat untuk menghabisi mereka berdua. Tekanan itu benar-benar bisa dirasakan oleh Zaki dan Leila. Tekanan yang membuatmu merasa putus asa dan juga tak berdaya.
Itu membuat mereka berdua membeku. Meski begitu ingin kabur, kaki mereka tak bisa digerakkan sama sekali. Padahal mereka sama sekali tak tersudut, namun ia membuat seakan-akan Zaki dan Leila sama sekali tak punya kesempatan untuk kabur.
“Nah, kalau begitu... aku mulai ya~” Anggun menyeringai untuk yang kesekian kalinya. Seringaiannya yang mengerikan dan tanpa ampun. Jarum jam di belakangnya mulai bergerak maju lalu menghadap kearah Zaki dan Leila. Saat itu Zaki dan Leila hanya bisa terdiam. Benar-benar membatu seperti patung. Bahkan mereka tak punya waktu untuk menarik napas—atau lebih tepatnya, tak disediakan waktu untuk menarik napas.
“(Gawat, apa benar-benar tak ada yang bisa kulakukan?)” Zaki melirik Leila yang hanya terduduk lemas dengan wajah yang terdongkak menatap Anggun.
Zaki bisa merasakan keringat mulai bercucuran dari dahinya. Entah karena ruangan ini yang terasa panas atau karena tekanan dari Anggun, Zaki bertanya-tanya. Dia tahu betul kalau dia takkan sempat mengeluarkan Fire Shelter miliknya. Yang ada, mereka hanya akan berakhir seperti sebelumnya. Perisainya juga takkan membantu banyak. Jika perisai tersebut tak diubah menjadi Fire Shelter miliknya, ada kemungkinan kalau jarum yang runcing itu dapat menembusnya.
Zaki menelan ludah lalu menengok menatap jarum jam. “(Sejauh yang kutahu, jarum jam itu memiliki sistem target lock yang membuatnya dapat mengejar lawannya. Selain itu, jarum itu juga bisa meledak. Dia selalu meledak saat berada dekat dengan targetnya—)” Tanpa ia sadari, kedua matanya terbelalak setelah menyadari sesuatu. “(Tunggu dulu, jika yang kupikirkan ini benar, maka aku mungkin bisa melakukan itu.)”
Jarum itu mulai bergerak. Melesat dengan cepat bagai hyena. Tanpa pikir panjang, tubuh Zaki langsung tergerak. Berlari ke hadapan Leila demi melindunginya dari jarum jam tersebut. Zaki arahkan perisainya ke depan tubuhnya lalu berlindung dibalik perisai tersebut. “(Jika ini benar, maka—)” Dengan sekuat tenaga, Zaki menepis jarum itu dengan perisainya. Sesuai dengan yang Zaki duga, jarum yang runcing itu berhasil memberikan goresan yang dalam dan besar diperisainya saat ia menepis jarum itu. Jika saja tadi Zaki memutuskan untuk menghadangnya dari pada menepisnya, perisainya pasti sudah bolong dan dia pasti takkan seutuh ini.
Tanpa membuang waktu, dia langsung berbalik dan berlari menghampiri Leila. “Tunggu Maulana—” Zaki langsung membopong Leila lalu berlari sekuat dan sekencang yang ia bisa.
“(...Jika yang kupikirkan ini benar, maka jarum jam tersebut akan meledak sesaat setelah menyentuh benda!)” Zaki menengok kebelakang untuk memastikan teorinya.
Tik, tik, duar.
Sesuai dengan apa yang Zaki duga, jarum jam tersebut meledak tak lama setelah Zaki tepis. Zaki menyadari ini saat ia teringat dengan saat pertama kali jarum ini meledak—yaitu sesaat setelah Anggun menancapkannya di lantai.
Zaki menghela napas lega. Dengan ledakan sebesar itu, dia tak yakin kalau dia dan Leila bisa selamat jika dia tak menyadari ini. Ledakan itu juga membuat seluruh ruangan ini kembali dipenuhi asap. Zaki memejamkan mata penuh lega lalu menengok ke depan.
“Open the Seal : Time – Wrap.”
“Mau kemana kau?” Anggun kembali muncul di hadapannya. Zaki dan Leila tak bisa bergerak. Waktu terhenti di sekitar mereka. Anggun mengarahkan kedua tangannya tepat ke depan wajah Zaki “Open the Seal : Blow Away.” Di telapak tangannya, muncul cahaya berwarna ungu yang perlahan semakin membesar. Setelah sebesar sebuah bola sepak, bola cahaya itupun meledak. Ledakan energinya membuat Zaki dan Leila terpental jauh.
Akibat itu, mereka berdua lagi-lagi terpisah. Sesaat setelah terpental, Zaki bergegas kembali bangun lalu segera mencari Leila. “(Gawat... Aku harus segera mencari Leila, kalau tidak—)” Tiba-tiba, Zaki mendengar suara teriakan Leila. Diapun segera berlari secepat yang ia bisa ke tempat dimana suara itu berasal. “Leila...!” Leila terbaring tak sadarkan diri dengan dahi yang terluka. Darah segar mengalir keluar menuruni dahinya. Zaki langsung berlari menghampirinya lalu memeriksa detak jantungnya.
Deg, deg.
“(Syukurlah...)” Zaki tak bisa mendeskirpsikan betapa bersyukurnya dia mendengar suara detak jantung Leila. Setelah itu, dia melakukan log out lalu merobek bagian bawah bajunya dan mengikatkannya di dahi Leila untuk menghentikan pendarahannya. Sayangnya, dia tidak membawa perban asli. Tapi ini lebih baik daripada tidak sama sekali. Dia kembali berdiri lalu menengok kesana kemari. Dia kembali login lalu menarik pedang dan perisainya. Luka di dahi Leila masihlah sangat baru. Dengan kata lain, Anggun pastilah ada di sekitarnya.
“Ahahaha, kau waspada sekali ya.” Zaki mendengar suara Anggun. Meskipun begitu, dia sama sekali tidak melihatnya dimanapun.
“Open the Seal : Fire Element – Fire Shelter.” Perisainya langsung terbakar oleh api membara. Api tersebut meleburkan perisainya dan membuat besi cair tersebut tercampur dengan apinya. Terbentuklah sebuah perisai api yang sangat besar.
Anggun tertawa kecil “Wah, kau imut sekali.” Beberapa detik setelahnya, serangan dari jarum jam dilancarkan kepada Zaki. Untungnya, Zaki berhasil menahan serangan tersebut dengan perisai api miliknya. Tapi, tentu saja ia tahu kalau ini takkan berakhir begitu saja. Dia langsung membungkus jarum jam yang menancap di perisai api dengan perisai api. Perisai itu menjadi bulat dan jarum jam itu sebagai pusatnya. Tak lama, jarum jam itu meledak di dalamnya sesuai dengan apa yang Zaki harapkan.
Ditambah lagi, kali ini dia berhasil menangkap jarum jamnya. Zaki menarik mundur perisai api yang berisikan jarum jam itu lalu mencoba memfokuskan diri kepada Anggun. Dia genggam pedangnya dengan kedua tangannya lalu mengarahkannya kedepan. “(Baiklah, dengan begini aku bisa fokus melawan—)” Dengan jelas—dengan amat sangat jelas, Zaki mendengar suara benda yang tertancap tepat di sebelahnya. Perlahan ia menengok. Zaki tak bisa mempercayainya. Matanya terbelalak seakan mau keluar dari rongganya.
Dihadapannya, jarum jam itu entah bagaimana bisa menancap di lantai. Padahal, ia yakin betul kalau tadi dia baru saja menangkap jarum jam tersebut. Dengan cepat, ia menengok dan membuka perisai apinya. Ternyata, itu hanyalah cangkang kosong tak berisi. Entah sejak kapan jarum jam tersebut bisa keluar dari dalam situ, tapi saat itu Zaki tahu betul. Kalau dia dan Leila berada dalam bahaya.
Jarum jam itu meledak tanpa Zaki dan Leila sempat menghindarinya. Membuat mereka untuk kesekian kalinya terpental dan juga mendapat damage. Untuk Leila, untung saja Zaki sempat melindunginya dengan perisai apinya sehingga ia hanya mendapat beberapa luka lecet karena terpental akibat tekanan udara yang berasal dari ledakan itu. Karena kalau tidak, ia pasti sudah mendapatkan luka bakar yang amat parah. Untungnya, kali ini mereka tak terpisah.
“Kau pikir kau bisa menangkap jarumku? Naif sekali.” Anggun berjalan menghampiri Zaki dan Leila dengan jarum jamnya.
“Tadi itu Time – Rewind. Karena aku baik hati, akan kuberitahu kau. Itu adalah skill ultimateku, dengan itu aku bisa membuat sesuatu—benda maupun makhluk hidup— yang pernah disentuhku kembali ke kondisinya 5 detik yang lalu. Dengan itulah, aku menyembuhkan diriku dan juga mengeluarkan jarumku dari perisai apimu.” Jelas Anggun dengan formalnya. Seperti seorang guru yang mengajar di kelas.
“Membalikan waktu? Haha, jangan bercanda... bukankah itu terlalu Over Power?” Dengan bertumpu pada pedangnya, Zaki kembali berdiri. Dia sedikit teroleng-oleng sampai akhirnya bisa berdiri tegak.
“Yah, mau bagaimanapun. Itulah kenyataannya.” Anggun tersenyum lugu sambil bersedekap.
Zaki tertawa geli. Entah kenapa dari segapa pilihan yang ada, dia malah tertawa. Ini mungkin dikarenakan ‘lelucon tidak lucu’ yang diutarakan Anggun atau mungkin dia hanya sudah mulai lelah dengan pertarungan ini. “Kalau begitu, aku hanya harus terus menghajarmu hingga akhirnya kau tak punya waktu untuk kembali.” Zaki menyeringai. Seringaian penuh ejekan.
“Open the Seal : Fire Element – Magma Man.” Perisai apinya kembali melebur, api dan besi panas itu perlahan berubah menjadi magma cair yang begitu panas. Magma cair itu langsung melesat kearah Zaki—menutupi seluruh tubuhnya. Magma cair itu langsung menjadi dingin sesaat setelah menyentuh Zaki. Magma dingin itu menjadi pelindungnya—armornya yang begitu keras dan kokoh. Sementara itu, pedangnya dilapisi oleh magma panas yang dapat memotong batu seperti memotong sebuah tahu.
Zaki tersenyum lalu menunjuk Anggun dengan pedangnya “Majulah! Akan kuhentikan 5 detik dari hidupmu itu!”
“Jahatnya! Dasar bocah magma.” Anggun tertawa. “Baiklah kalau begitu...” Dengan cepat seperti biasa, Anggun muncul dihadapan Zaki “Tick... Tock... waktu terus berjalan.” Bisiknya di telinga Zaki dengan lembutnya.
Zaki dengan refleknya bereaksi dengan mengayunkan pedangnya kearah Anggun, tapi ia sudah menghilang dan muncul di belakang Zaki. Anggun tertawa seksi “Aku ada di sini.” Ujarnya. Zaki berbalik sambil mengayunkan pedangnya, namun lagi-lagi Anggun berhasil menghindar. Jarum jam melesat kearah Zaki. Zaki sudah menduga ini akan terjadi. Ia mengambil kuda-kuda lalu berlari kearah jarum itu. Saat sudah berdekatan, Zaki menunduk di bawah jarum jam itu. Dia genggam erat-erat pedangnya lalu mengayunkannya ke jarum jam. Percikan-percikan api tercipta saat pedang tersebut dengan lembut dan mudahnya membelah jarum jam. Salah satu faktor yang membuat Zaki dengan mudahnya membelah jarum jam itu adalah karena bahannya yang terbuat dari logam.
Tapi, Time – Rewind milik Anggun dapat mengembalikannya seperti semula. Jarum jam itupun kembali melesat kearah Zaki. Dan tentu saja, Zaki dapat kembali membelahnya dengan mudah.
“Ahahaha, menarik.” Anggun tiba-tiba muncul di belakang Zaki dengan tawa girangnya lalu melacarkan Blow Away terhadap Zaki. Akibatnya, Zaki langsung terpental akibat serangan tersebut. Saat terpental, Zaki langsung berbalik lalu menancapkan pedangnya ke lantai untuk menghentikan dirinya yang terpental. Namun, Zaki tidak sadar kalau jarum jam sudah menancap di dekatnya. Zaki sempat mencoba untuk menebas jarum jam tersebut untuk menghentikan ledakannya, tapi ia terlambat. Untungnya, berkat pertahanan Magma Man yang kuat, ledakan itu tak terlalu melukainya. “Ada apa? Kau bilang kau mau menghentikanku?” Anggu lagi-lagi muncul di sebelahnya. Dengan siap sedia, Zaki langsung mengayunkan pedangnya, namun meleset.
“Open the Seal : Black Hole.” Muncul sebuah lubang hitam tak jauh dari tempat dimana Zaki berada. Lubang hitam itu menghisap segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Asap, debu, bahkan Zaki sekalipun. Zaki kembali menancapkan pedangnya di lantai. Dia tancapkan sedalam yang ia bisa demi mengentikannya dari hisapan lubang hitam. Meski begitu, meskipun begitu tubuhnya tetap ditarik oleh lubang tersebut hingga membuat tubuhnya melayang seperti bendera yang terikat—berkibar di tiang bendera. Dalam hal ini, Zaki adalah bendera dan pedangnya adalah tiang.
Untungnya, jarum itu juga ikut tertarik ke lubang hitam tersebut hingga benda itu tak bisa mendekati Zaki.
“(Sial.... aku harus mencari cara untuk bisa menyerang Anggun. Jika begini terus, aku akan kehabisan mana.)” Saat Zaki sedang memikirkan cara untuk menyerang Anggun, Zaki tidak sadar kalau Leila yang di belakangnya juga ikut tertarik hisapan lubang hitam tersebut. Zaki baru menyadarinya sesaat setelah tubuh Leila terseret melewatinya.
”(Leila..?! Gawat, aku harus mencari cara untuk bisa menghentikannya.)” Zaki menengok keatas—melihat pedangnya yang masih tertancap di lantai. Dia genggam pedang tersebut dengan kedua tangannya, lalu mulai berayun.  Saat tubuhnya sudah cukup terayun, dia lepas genggamannya lalu menangkap tangan Leila. Sementara tangan kanannya menangkap Leila, dia hentakkan tangan kirinya sekuat mungkin ke lantai. Berkat mode Magma Man, ia berhasil menghancurkan lantai tersebut lalu berpegangan di celah yang ia ciptakan. Dia cengkram celah tersebut sekuat yang ia bisa lalu menengok ke bawah untuk memastikan kondisi Leila. Leila begitu dekat dengan lubang hitam tersebut sampai-sampai salah sedikit saja, dia bisa celaka. Setelah beberapa detik berlalu, lubang hitam mulai mengecil lalu menghilang dan Zaki akhirnya bisa melepaskan genggamannya.
Zaki langsung berdiri dan melepaskan Leila lalu bergegas menarik kembali pedangnya karena jarum jam mulai bergerak mendekatinya. Dengan cepat, ia belah menjadi dua jarum jam tersebut lalu melompat menjauhi Leila.
Leila membuka matanya. Dia sempat agak kebingungan saat melihat kain yang terikat di kepalanya. Mendengar suara gesekan antara pedang Zaki dan jarum jam, Leila menengok. Leila merasa ada yang aneh saat melihat Zaki yang mulai nampak kelelahan sementara jarum jam yang selalu utuh kembali. Pertarungan itu benar-benar berat sebelah.
Leila juga kebingungan dengan jarum jam milik Anggun yang selalu pulih kembali sesaat setelah Zaki belah. Menyadari Leila yang sudah siuman, Zaki menepis jarum jam lalu melompat mundur menghampiri Leila.
“Leila, apa kau sudah baikan?” Tanya Zaki. Napasnya terdengar berat. Dari napas dan suaranya saja, Leila sudah sadar kalau Zaki sudah mulai kelelahan.
“Ya. Aku baik-baik saja. Ngomong-ngomong, kenapa jarum jam itu selalu kembali seperti semula?” Leila bertanya balik.
“Itu dikarenakan Time – Rewind, itu adalah skill ultimate milik Anggun yang membuatnya dapat mengembalikan sesuatu—benda maupun makhluk hidup yang sudah disentuhnya ke kondisinya 5 detik yang lalu.” Balas Zaki sambil beberapa saat menghalau jarum jam anggun dengan menebasnya.
Leila mengangguk mengerti.
“Bertahanlah, aku akan segera kembali.” Zaki berlari meninggalkan Leila agar Leila tak terkena imbas dari pertarungannya dengan Anggun.
“(Maulana mulai kehabisan mana. Aku harus melakukan sesuatu.)” Sontak, Leila berdiri. Dia merogoh kantung celananya untuk mengambil login device miliknya. Setelah login, Leila memeriksa status mananya. Seperti yang ia duga, mananya memang masihlah sedikit, namun perlahan mulai pulih. “(Kalau begini, aku mungkin bisa—)” Leila tertegun. Dia menyadari suatu kejanggalan dari pertarungannya dan pertarungan Zaki saat melawan Anggun.
Dia menengok kearah pertarungan Zaki yang masih terus berlanjut. Pertarungan itu masihlah berat sebelah. Dalam kondisi Magma Man, Zaki akan terus kehilangan mananya. Sementara itu, jarum jam itu tak ada habisnya dan terus pulih kembali. Ditambah lagi, selama ini Anggun selalu menghindari serangannya dan serangan Zaki dengan melakukan spam atas skill miliknya.
“(Kenapa, Anggun tak pernah kehabisan mana? Apakah dikarenakan Time – Rewind miliknya? Tidak, kurasa tidak. Kemampuan itu hanya mengembalikan kondisi sesuatu yang merujuk pada benda maupun makhluk hidup, sementara mana adalah bawaan sistem sehingga takkan bisa dimanipulasi. Dengan kata lain, ada cara lain baginya untuk bisa mendapatkan asupan mana...)” Leila menengok kesana-kemari—mencari Anggun. “Ketemu.” Leila melihat Anggun dengan santainya berdiri sambil bersedekap menonton pertarungan antara Zaki dan jarum miliknya. Dia berdiri di lokasi yang menurut Leila berada cukup dekat dengan pintu masuk.
Pada awalnya, tak ada yang aneh dari Anggun sampai ia mengeluarkan tangan kirinya yang menggenggam tongkat sihir dari dalam jubahnya. Tongkat sihir kedua itu nampak lebih kecil dibandingkan dengan yang sebelumnya. Di tongkat tersebut, terdapat sebuah batu permata yang agak bercahaya. “Tongkat itu... ditambah lagi, lokasinya yang berdekatan dengan pintu masuk.” Leila teringat saat-saat setelah ia mengalahkan Anggun. Saat itu, karena asap yang menyelimuti ruangan sudah lenyap, Leila bisa melihat dengan jelas kalau secara ajaib monster-monster yang sebelumnya berkumpul di depan pintu masuk menghilang tanpa jejak.
Keberadaan tongkat itu dan lenyapnya monster mengingatkan Leila kepada saat Radhika—pedang milik Radhika menghisap monster singa raksasa yang muncul di depan gedung Bum Corp. dan mengubahnya menjadi sumber energi.
“(Kalau dugaanku ini benar, maka dia mengubah setiap monster yang ada di sekitarnya dan mengubah mereka menjadi mana.) Open the seal : Tornado Arrow.” Leila menembakkan sebuah anak panah kearah pintu masuk. Anak panah tersebut dengan cepatnya berubah menjadi tornado kecil, membuat asap yang menyelimuti ruangan menjadi lenyap. Anggun yang menyadari itu melompat mundur menghindari tornado dari Leila. Jarum jam yang sedang dilawan Zaki juga terhenti pergerakannya sehingga pertarungan mereka terhenti untuk sementara waktu.
Dugaan Leila benar. Setiap monster yang memasuki ruangan mulai berkedip lalu lenyap terhisap kedalam tongkat kedua milik Anggun sama seperti apa yang dilakukan Radhika. “Wah, ternyata aku ketahuan ya.” Anggun menyeringai kepada Leila.
“Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Nah, maukah kau berbaik hati dengan memberitahu kami apa yang kau lakukan?” Ujar Leila dengan senyuman.
Anggun mendesah pasrah lalu tersenyum “Baiklah. Yang tadi itu Mana Drain. Dengan itu, aku bisa menghisap monster yang ada di sekitarku dan mengubahnya menjadi mana melalui tongkat ini.” Dia mengangkat dan menunjukan tongkat di tangan kirinya.
“Oh begitu ya...” Ujar Kak Indra yang sudah berada di dekat pintu masuk. Dia tancapkan pedangnya ke tembok, lalu muncul tembok es tebal yang menghalangi pintu masuk. Dia tarik kembali pedangnya dan membiarkan tembok es tersebut.
“Kau kira aku akan membiarkannya begitu saja? Open the Seal – High Speed.” Anggun dengan cepatnya muncul di dekat tembok es tersebut. Namun, tanpa ia duga, Kak Indra sudah menunggu dan memprediksi dari arah mana ia akan datang. Matanya biru bercahaya. Dia ayunkan pedangnya kearah Anggun, sontak saja anggun langsung menghindar dengan melompat mundur.
“Open the Seal : Focus Eye. Aku sudah mendengar semuanya. Kau berniat menyentuh balok es ini dan mengembalikannya ke 5 detik sebelumnya’kan?” Kak Indra menunjuk balok es di belakangnya. “Ditambah lagi, kau kelihatannya hanya bisa menghisap monster yang sudah memasuki ruangan ini.”
“Open the Seal : Blue Bird.”
Dari arah yang berlawanan, muncul burung-burung yang tercipta dari api biru terbang kearah Anggun. Membuatnya harus kembali menghindar. “Dengan kata lain, kami hanya harus mencegahmu melakukannya.” Mbak Dinda datang menghampiri Kak Indra dengan pedangnya yang dilapisi oleh api biru yang membara.
“Sebelum aku membuat tembok es ini, aku sudah memerintah anggota-anggota divisiku untuk keluar dan mencegah monster untuk mendekati ruangan ini sebagai pencegahan jika teoriku salah.” Kak Indra tersenyum mengejek “Dengan kata lain, kau terjebak bersama kami berempat.”
Anggun tersenyum lembut. Perlahan dari senyuman lembutnya itu mulai keluar sebuah tawa. Tawa desahnya yang begitu kencang. Wajahnya memerah, senyumnya melebar, dengan bibirnya yang seksi dia berkata “Aahh, inilah yang kuinginkan. Perasaan penuh keputus-asaan inilah yang kuinginkan.” Dia tertunduk lalu mengusap-usap wajahnya yang tersipu malu sambil berjingkrak-jingkrak.
Kak Indra, Mbak Dinda, Leila dan Zaki kehabisan kata-kata. Tak tahu kata-kata apa yang sebaiknya dilontarkan kepada Anggun. Sementara itu, tiba-tiba mode Magma Man milik Zaki terhenti dikarenakan mananya yang sudah habis. “Waduh... Kenapa harus sekarang?” Zaki dengan paniknya menengok tubuhnya kesana-kesini. Dengan mana yang habis, sangat kecil kemungkinan baginya untuk bisa bertarung melawan Anggun.
“Zakarnya dan juga Leila, kalian beristirahatlah.” Ujar Mbak Dinda dengan tegas.
“Tapi aku masih—”
“Beristirahatlah. Kalian sudah cukup bertarung.” Potong Kak Indra. Dia berjalan menuju ke hadapan Zaki sementara Mbak Dinda berjalan menghampiri Leila.
Anggun kembali menyeringai menatap mereka, jarum jam miliknya menancap di depannya lalu kembali berubah menjadi tongkat sihir. Dia genggam dan cabut kembali tongkat itu. “Kalian benar-benar membuatku bersemangat... Baiklah, aku takkan menggunakan Mana Drain lagi.” Setelah melempar tongkat kedua jauh-jauh, dia ayunkan tongkat utamanya ke kanan “Open the Seal : Time – Sword.” Tak lama, tongkat sihir itu menjelma menjadi sebuah pedang. Sebuah pedang yang nampak elok, runcing dan panjang. Mata pedangnya terlihat seperti sebuah jarum jam panjang yang biasa menunjukkan arah menit.
Dia mulai melangkahkan kakinya. Selangkah demi selangkah yang semakin cepat tiap langkahnya. Di tengah larinya, dia menghilang. Suara langkah kakinya juga lenyap menyisakan ruangan sunyi.
“Kemana dia pergi?” Mbak Dinda menengok kesana kemari—mencari jejak keberadaan Anggun. Meski samar, dia sedikit bisa melihat bayang-bayang gerakan seseorang yang ia yakini sebagai Anggun. Namun, saat bayangan itu sudah begitu dekat dengan Mbak Dinda, bayangan itu benar-benar lenyap dan membuatnya mulai panik.
“Dinda, di kananmu!” Dengan Focus Eye miliknya, Kak Indra bisa melihat pergerakan Anggun dengan jelas.
Sontak, tubuh Mbak Dinda mengikuti perintah Kak Indra. Dia langsung menghadap ke kanan lalu mengangkat perisainya sejajar dengan tubuhnya. Sesuai dengan apa yang Kak Indra katakan, Anggun muncul di hadapan Mbak Dinda. Dia muncul sambil mengayunkan pedangnya dengan cepat kearah Mbak Dinda. Untungnya, dia berhasil menangkis serangan itu dengan perisainya.
Bukannya terkejut, Anggun malah tersenyum manis dengan mengedipkan satu matanya dengan genit lalu berbisik “Ke-na~” Tak lama, sebuah ledakan muncul tepat di hadapan perisainya. Ledakan yang cukup besar itu mengakibatkannya terpental hingga mendekati Kak Indra.
“Kau baik-baik saja?” Tanya Kak Indra sambil membantu Mbak Dinda kembali berdiri.
“Iya, aku tak apa. Yang lebih penting, tadi itu apa?” Mbak Dinda memeriksa depan perisainya yang nampak agak gosong akibat ledakan tadi.
“Aku tidak yakin. Tapi tadi aku sempat melihatnya, meski hanya sesaat—aku melihat munculnya percikan api tak lama setelah perisaimu dan pedangnya bersentuhan. Percikan api itu membesar lalu berubah menjadi ledakan.” Ujar Kak Indra.
“Apakah mungkin...” Gumamnya.
Perlahan Anggun berjalan keluar dari asap hitam nan tebal yang tercipta akibat ledakan tadi. Dengan senyum manisnya yang menyeramkan dan matanya yang di sipitkan, dia bersenandung ria. Lalu dia ayunkan pedangnya—membelah asap dan debu sambil membuka matanya yang menatap tajam mereka berdua. Sret. Lagi-lagi Anggun menghilang. Meskipun begitu, suara senandungannya masihlah terdengar. Suara senandung yang menyeramkan dan juga membuat siapapun yang mendengarnya merinding.
Lirikan matanya dengan cepat mengikuti gerak-gerik Anggun. Kak Indra menengok kesana-kemari mengikuti arah Anggun berada. Anggun benar-benar bergerak dengan bebas di ruangan berbentuk persegi panjang tersebut. Dia berlari, merangkak, melompat, berlari di tembok, bahkan sempat juga berjalan di plafon ruangan. Namun dalam sebuah kesempatan kecil, Anggun sempat menghilang dari pandangannya. Anggun menghilang sesaat setelah Kak Indra mengedipkan matanya. Suara senandungannya masihlah terdengar jelas di ruangan itu, jadi Kak Indra masih yakin kalau dia dan Anggun masih berada di ruangan yang sama.
Kak Indra kembali berusaha mencari Anggun. Dia menengok kesana-kemari, berputar, dan menengok ke atas, namun yang dia dapatkan hanyalah bayang-bayangnya. Perlahan, suara senandungannya semakin kencang sehingga membuat Kak Indra semakin waspada.
“Indra, ada apa?” Tanya Mbak Dinda melihat Indra yang terus menengok dan berputar-putar mencari Anggun.
“Sshh..” Sambil menengok kearah dimana suara senandungannya Anggun datang, Kak Indra menggerakkan tangannya ke belakang—kearah Mbak Dinda untuk membuatnya mengecikan suaranya. Kak Indra berpikir kalau dia mungkin bisa memprediksi arah datangnya Anggun dari arah datang suara senandungannya. Perlahan, dia angkat pedangnya sejajar dengan tubuhnya dan menghadap kearah dimana suara senandungan Anggun datang.
Tiba-tiba ruangan menjadi hening. Masih berada di posisi yang sama, Kak Indra semakin tegang. Keringat mengalir turun dari dahinya. Dia menarik napas dalam-dalam, mengeluarkannya, lalu menelan ludah.
“Disana...!” Kak Indra dengan cepat langsung berbalik. Di saat yang bersamaan dengan kemunculan Anggun. Daripada mengayunkan pedangnya untuk menepis serangan Anggun, Kak Indra malah membalik pedangnya lalu menancapkannya ke lantai. Sebuah tembok es muncul di hadapannya. Tembok es itu terus memanjat keatas—bertambah tinggi hingga akhirnya menabrak tangan Anggun dan membuatnya terdorong keatas. Anggun kehilangan keseimbangannya dan hampir terjatuh. Sementara itu, Kak Indra mencabut kembali pedangnya dan membuat tembok es di hadapannya berubah kembali menjadi air.
Dengan segenap tenaga, dia berlari menembus tembok air di hadapannya. Dia genggam pedangnya erat-erat lalu mengayunkannya kearah  Anggun. Serangannya berhasil mengenai—menyayat Anggun dari pundak kirinya hingga perut bagian kanan. Anggun berdecap kesal. Dia balik pedangnya lalu membuatnya bersentuhan dengan lantai. Ledakan tercipta tepat diantara mereka berdua hingga membuat mereka terpental ke arah yang berlawanan.
Di belakang Anggun, Mbak Dinda sudah menunggu dengan pedang api biru miliknya. Menyadari itu, Anggun langsung berbalik, setelah itu dia sarungkan pedangnya di sarung pedang yang tiba-tiba muncul di pinggangnya. “Open the Seal : Blow Away.” Dia arahkan kedua tangannya kearah Mbak Dinda. Setelah bola energi di kedua telapak tangannya sudah cukup besar, dia tembakkan bola itu.
Mbak Dinda langsung berlindung di balik perisainya. Berkat perisai itu, dirinya hanya terdorong beberapa senti. Saat dia mengintip—melihat keadaan di balik perisainya, Anggun sudah tepat berada di hadapannya. Anggun dengan gesitnya menarik pedangnya dan mengayunkannya kearah Mbak Dinda. Tanpa pikir panjang, Mbak Dinda langsung menepis pedang itu dengan pedang miliknya. “(Oh tidak...)” Mbak Dinda terpental akibat ledakan tersebut. Damage yang di terimanya juga cukup banyak.
Tapi dia tak menyerah begitu saja. Dia langsung menghentikan dirinya. Dia angkat pedangnya lalu menancapkannya ke lantai. Tak lama, api berwarna biru muncul dari dalam tanah. Api tersebut terus bermunculan dan bergerak kearah Anggun bagaikan domino yang di gulirkan. Anggun hanya tersenyum. Dia hindari serangan tersebut menggunakkan Time – High Speed miliknya. Namun, tanpa dia duga, Kak Indra sudah memprediksi dan menunggu kedatangannya. Kak Indra mencoba untuk menyerang Anggun, namun Anggun berhasil menghindarinya dengan bergerak dengan cepat.
Dia berhasil menjauh dari mereka berdua. Meskipun begitu, dia mulai merasa lelah dan letih karena mana miliknya terbatas.
Di saat yang bersamaan, tiba-tiba Kak Indra oleng selama beberapa detik. “Indra, kau tak apa?” Tanya Mbak Dinda penuh khawatir.
“Ya, tadi itu hanya efek samping Focus Eye.” Jawab Kak Indra sambil menekan dahinya yang terasa agak pusing. Saat oleng tadi, dia sempat kehilangan kesadarannya. Penglihatannya juga sempat beberapa kali kabur.
“Apa tak sebaiknya kau istirahat dulu?” Tanya Mbak Dinda.
“Tidak, kesempatan kita untuk bisa menang hanya dengan menggunakan kekuatan ini...” Jawab Kak Indra tegasnya. Dia menghela napas, sedikit bergeleng, lalu kembali menatap lurus kearah Anggun. “Untuk saat ini, aku masih bisa menahannya. Lagipula, aku yakin sekali kalau dia sudah tak memiliki cukup mana untuk bisa menggunakan Time – Rewind.” Sambung Kak Indra penuh keyakinan.
“Apa kalian sudah selesai?” Tanya Anggun. “Kalau sudah, maka akan aku mulai!” Anggun sempat mengambil posisi seperti seorang atlit lari profesional sesaat sebelum dia menghilang.
“Dinda, bersiaplah! Dia datang!” Kak Indra sempat menengok kearah Mbak Dinda lalu kembali memfokuskan dirinya mengikuti setiap gerakan Anggun.
“(Di belakang!)” Kak Indra lagi-lagi membalik pedangnya dan menancapkannya di lantai. Tembok Es muncul di belakangnya—menahan serangan Anggun. Tembok itupun meledak dan Anggun kembali menghilang.
Anggun dengan cepatnnya terus menerus menyerang Kak Indra dan Kak Indra terus menerus berhasil menahannya dengan tembok es. Gerakan Anggun begitu lincah, gesit dan cepat, gerakannya hampir tak bisa diikuti jika tidak menggunakkan kemampuan yang setara dengan Focus Eye milik Kak Indra. Kejadian itu terus terulang, menyerang dan menahan, terulang dan terulang kembali bagaikan bertukarnnya posisi bawah dan atas roda yang berputar. Selama itu, Kak Indra sama sekali tak punya kesempatan untuk menyerang.
Sementara itu, Mbak Dinda hanya bisa melihat pertarungan antara mereka berdua. Dia tahu kalau dia memasuki pertarungan itu, dia hanya akan menjadi beban Kak Indra. Jika saat ini juga dia ikut bergabung ke dalam pertarungan, maka beban Kak Indra akan bertambah satu, yaitu melindungi Mbak Dinda.
Dia tahu betul itu.
Karena itulah, dia hanya bisa terdiam, menunggu saat yang tepat untuk bisa masuk kedalam pertarungan. Tapi di saat yang bersamaan, dia benar-benar khawatir dengan kondisi tubuh Kak Indra yang semakin dibebani Focus Eye.
***
Sesaat setelah Kak Indra menarik pedangnya dari lantai, tiba-tiba penglihatannya kembali memudar. “(Gawat...)” Tak berdaya, Kak Indra hanya bisa menyerang secara membabi buta sehingga pertahanannya terabaikan. Anggun yang menemukan celah itu langsung berusaha memanfaatkannya sebisa mungkin.
“Kelihatannya kau sudah kehabisan keberuntunganmu, ya~” Ujar Anggun dengan alunan nada yang riang gembira. Dia berusaha menusuk Indra dengan pedangnya lalu meledakannya hinga hancur berkeping-keping. Membayangkannya saja, benar-benar membuat Anggun berdebar-debar seperti orang yang sedang jatuh cinta. Anggun muncul di samping Kak Indra. Dengan tawa penuh gairah nan gilanya, dia berusaha menusukkan pedang runcing yang berbentuk seperti jarum jam itu menembus perut Kak Indra bagaikan sate.
“Lawanmu bukan hanya Indra!” Mbak Dinda berlari memasuki pertarungan mereka berdua. “Open the Seal : Blue Bird.” Saat itu juga, dia ayunkan pedang apinya ke arah yang tepat berada di antara mereka berdua—atau lebih tepatnya, kearah tangan Anggun yang hendak berusaha menusukkan pedangnya kearah Kak Indra. Api yang ada di pedangnya terlempar dan berubah menjadi burung yang tercipta dari api biru. Dengan cepatnya, burung biru itu melesat—berbelok kearah Anggun.
Anggun sama sekali tak menduga serangan itu. Pertarungannya dengan Kak Indra benar-benar membuatnya lupa akan keberadaan Mbak Dinda. Serangannya gagal dan dia sedikit terpental akibat burung biru tadi. “Indra, kau tak apa? Sudah kubilang bukan, kalau kau sebaiknya beristirahat dulu!” Bentak Anggun dengan judes membuat Kak Indra tak bisa berkata-kata. Bahkan Kak Indra bisa melihat dengan jelas wajah Mbak Dinda yang merah karena kesal dan seakan ada uap yang keluar dari dahinya.
“Iya, iya. Aku mengerti...” Jawab Kak Indra dengan canggungnya mencoba untuk menenangkan Mbak Dinda.
“Sakitnya....! Dasar sampah tak tahu diri!” Anggun tersenyum gila dengan tatapan tajam yang tertuju kepada Mbak Dinda. Tatapanya yang gila dan cengengesan yang dikeluarkannya dari senyum yang lebar itu benar-benar membuat siapapun yang mendengar maupun melihatnya merinding. Dia menarik pedangnya yang tertancap di pundak kirinya yang hancur akibat ledakan yang tercipta saat pedang itu menancap. Dia menariknya sambil tersenyum lebar bagaikan seorang maniak. Dia tak menunjukan ekspresi kesakitan atau semacamnya. Hanya senyum. Senyuman gila yang terpampang lebar di wajahnya.
Luka akibat ledakan itu benar-benar berbeda dengan luka yang biasa tercipta di permainan Start Point. Biasanya, luka hanya akan berupa cahaya berwarna putih, namun kali ini benar-benar berbeda. Cipratan darah berceceran di mana-mana. Warna merahnya menghiasi dinding putih dan lantai yang bening. Bahkan ada beberapa—bagaimana aku harus menyebutnya—beberapa daging dan kulit berceceran di lantai.
“Apa-apaan dia itu...” Mbak Dinda menatap Anggun dengan tidak percaya. Wajahnya bahkan membiru karena tak sanggup melihat tingkah laku Anggun yang ganjil dan kondisi di sekitarnya. Kak Indra bertanya-tanya, apakah masih ada kewarasan di kepala Anggun. Bahkan Zaki dan Leila tak sanggup melihatnya saat dia menarik pedang itu dari pundaknya yang hancur.
Perlahan Anggun melangkah dengan senyum dan tawa gilanya. Caranya berjalan nampak seperti mayat hidup. Mbak Dinda kembali menyiapkan dirinya untuk kembali bertarung. Namun, saat dia mulai menggenggam pedang dan perisainya erat-erat, Anggun tiba-tiba muncul di sampingnya. Bahkan tak sampai sepersekian detik hingga ia bisa sampai di situ. Ekspresi selain senyum lebarnya benar-benar kosong. Seakan dia tak memiliki emosi sama sekali.
Mbak Dinda takkan sempat menghindar juga takkan sempat menahannya dengan perisai. Jarak antara mata pedang Anggun dengan dirinya sudah terlalu dekat. Yang bisa dia lakukan hanya menatap Anggun dan mendengar tawa gilanya yang menggelegar.
Mbak Dinda memejamkan matanya. Saat itu ia berpikir “(Aaah, jadi ini akhirnya... Seharusnya aku lebih bisa mengungkapkan perasaanku kepada Indra... Hal terakhir yang kulakukan malah membentaknya. Ya ampun, aku ini benar-benar naif....)” Dia tersenyum menertawai dirinya sendiri.
“Dinda!”
Mbak Dinda membuka matanya saat menyadari kalau ada seseorang yang mendorongnya. Sebuah tangan yang hangat telah mendorongnya. Dia menengok—mendapati Kak Indra yang mendorongnya—menyelamatkannya dari pedang Anggun.
Namun, harapan tersebut hanyalah serigala berbulu domba.
Harapan berubah menjadi keputusasaan. Kurasa itulah kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kejadian ini.
Di hadapannya, tepat di hadapannya, Mbak Dinda melihat dengan mata kepalanya sendiri. Saat-saat dimana pedang itu menusuk tangan kanan Kak Indra lalu meledakkannya menjadi potongan-potongan kecil. Cipratan darah merah kental membasahi wajahnya. Bersamaan dengan suara teriakan Kak Indra yang penuh dengan rasa sakit. Mbak Dinda sama sekali tak bisa mempercayai apa yang di lihatnya. Matanya terbelalak dengan ekspresi kosong menatap Kak Indra yang hanya bisa terbaring kesakitan dengan lengan kanannya yang hancur.
Sementara itu, Anggun tertawa dengan leluasa. Tawa gilanya yang menjadi-jadi benar-benar membawa keputusasaan.
“Kak Indra!” Zaki dan Leila sontak menghampiri Kak Indra. Mereka lekas mengikat tangan Kak Indra dengan jaket milik Zaki untuk menghentikan pendarahannya. “Bertahanlah, kak!” Ujar Zaki sambil mengikatkan jaketnya. Sementara itu, Leila langsung bergegas login ke dalam Start Point lalu terus memberi Kak Indra ramuan penyembuh yang ia punya. Berkat ramuan tersebut, luka di tangan kanan Kak Indra mulai sembuh. Namun, mereka sama sekali tak tahu apa yang terjadi dengan tangan aslinya. Apakah luka ini akan berakibat kepada tubuh aslinya atau tidak, mereka tak tahu.
Perlahan demi perlahan, ruangan semakin terasa panas. Rasanya mulai seperti berada di atas panggangan. Hawa panas itu berasal dari seseorang. Seseorang yang baru saja merasa kehilangan, merasa putus asa, merasa benci dan merasa sedih.
“Takkan kumaafkan... Apapun yang terjadi, kau tak akan kumaafkan...” Kata Mbak Dinda dengan nada yang datar dan juga tatapan kosong. Api-api berwarna biru mulai menjalar dari pedangnya ke seluruh tubuhnya. Bahkan perisainya juga dilahap api biru tersebut. Di dahinya, api tersebut membentuk seperti dua pasang tanduk. Rambut hitamnya, berubah menjadi berwarna biru muda—sama seperti warna api yang membakar seluruh tubuhnya. Tatapannya menjadi tajam bagai tampa ampun.
“Takkan kumaafkan....! Open the Seal : Blue Knight!” Bentak Mbak Dinda. Dia hentakkan kakinya ke lantai hingga membuat Anggun terjatuh. Dengan cepatnya, ia melesat dan muncul di hadapan Anggun. Ia ayunkan pedang birunya sekuat tenaga. Anggun berhasil menahannya dengan pedangnya, namun dikarenakan ayunannya yang begitu kuat, ia tetap terpental akibat dorongan dari pedang tersebut. Ledakan sempat beberapa kali tercipta saat pedang Anggun dan pedang Mbak Dinda beradu, namun ledakan itu sama sekali tak berpengaruh kepadanya.
Anggun terpental kearah tembok es. Akibatnya, dia menabrak tembok es tersebut hingga membuatnya hampir hancur berkeping-keping.
“Dinda...” Gumam Kak Indra melihat Mbak Dinda yang terbakar amarah. Ia ingin sekali meraih Mbak Dinda dan menghentikannya, namun ia sudah mulai kehilangan kesadarannya dan pingsan.
***
“Tempat ini...”
Setelah melewati beberapa lantai, akhirnya aku sampai juga di atap gedung ini. Sungguh gedung yang begitu tinggi.
Aku berjalan menaiki tangga helipad. Angin sepoi-sepoi meniup rambutku. Suara gesekannya yang terdengar jelas, langit jingga kebiruan yang bisa kulihat sejauh mata memandang, pemandangan seluruh kota yang bisa kulihat dengan jelas, mentari di sore hari yang mulai tenggelam.
Lalu...
Sebuah cermin.
“Apa ini...” Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat sebuah cermin yang berada di tengah-tengah helipad. Sebuah cermin, yang tepat berhadapan langsung dengan sang mentari. Aku berjalan memutarinya—menghampiri bagian depannya. “Anita!” Sesuai dengan informasi yang kudapatkan, Anita terperangkap di dalam cermin itu.
Aku mengetuk-ngetuk cermin tersebut sambil terus menerus memanggil namanya. Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku berharap dia bangun dan keluar dari cermin itu. Namun percuma saja, apa yang kulakukan saat ini sama sekali tak berdampak apapun. Anita masihlah tertidur seperti putri tidur dalam cerita dongeng. Pantulan cahaya yang berasal dari cermin begitu menyilaukan mataku. Itu membuatku kembali teringat akan sesuatu.
“Oh iya, mataharinya....” Aku berbalik. Menatap matahar petang keemasan yang semakin tenggelam di setiap detiknya. Waktu semakin menipis. Mungkin hanya tersisa beberapa menit lagi hingga Shadow Player menggunakkan kekuatan Anita. Aku tak tahu jam berapa saat ini karena aku tak membawa jam maupun smartphoneku untuk melihat waktu.
Juga, aku teringat satu hal lagi. Di mana Shadow Player berada?
Di perjalananku kemari, aku hanya menemui anak buahnya dan aku sama sekali tak menemui petinggi maupun dirinya.
Gawat, apa yang harus kulakukan untuk bisa mengeluarkannya? Apa aku bisa mengeluarkannya dengan cara menghancurkan cermin itu?
Aku berbalik sambil menarik pedangku dari sarungnya. “Open the Seal : Moonlight Shard.” Kuayunkan pedangku—sebuah ayunan penuh yang melepaskan seluruh energi Moonlight Shard yang ada di pedangku dalam sebuah serangan. Jika serangan ini masihlah belum cukup, aku akan terus mengulanginya lagi dan lagi. Dengan sisa mana yang kupunya saat ini, kurasa beberapa serangan cukup untuk bisa menghancurkannya.
Serangan itu melesat lurus menabrak cermin tersebut hingga membuatnya bergetar hebat. Bukannya merusak maupun menggores cerminnya, seranganku malah terpantul balik kearahku. Aku sama sekali tak menduga kalau akan menjadi seperti ini. Dalam keadaan panik, aku melompat menghindari cahaya Moonlight Shard yang terpantul kearahku.
Dengan napas yang terengah-engah, aku mencoba kembali berdiri. Bodohnya aku, seharusnya sejak awal aku menyadarinya kalau cermin akan memantulkan cahaya. Tapi ini bukanlah saat yang tepat untuk menyalahkan diri sendiri. Kalau melempar cahaya tak berhasil, kalau begitu...
Kutarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. Uap bisa kulihat dengan jelas keluar dari mulutku saat kuhembuskan napasku. Hal itu dikarenakan udara dingin di sore hari ini. Ditambah lagi, saat ini aku berada di lantai tertinggi dari sebuah gedung pencakar langit. Kuambil kuda-kuda untuk berlari lalu menatap lurus cermin itu.
“Open the Seal : Moonlight Shard – Moonlight Sword.”
Kugenggam pedangku erat-erat, lalu berlari menerjang kearah cermin tersebut. Kukerahkan seluruh tenagaku untuk bisa menghancurkan cermin tersebut dalam satu ayunan pedang.
“Sayang sekali, tapi itu takkan berhasil.”
Tiba-tiba aku mendengar suara yang berat dan juga mengerikan. Dari dalam cermin, sebuah tangan berwarna hitam pekat dengan mudahnya menangkap pedangku. Tangan itu menghisap seluruh cahaya Moonlight Swordku bagaikan penyedot debu. Aku mencoba untuk menariknya kembali, namun genggamannya begitu kuat hingga membuatku kesulitan.
Dia berjalan keluar dari dalam cermin. Dengan lekukan berwarna merah di wajahnya yang berbentuk seperti sebuah senyuman.
“Apa maksudmu?” Tanyaku sembari melirik kesana kemari mencari celah untuk melepaskan genggamannya. Shadow Player terkekeh-kekeh mendengar pertanyaanku. Dia angkat tangannya hingga telapak tangannya menghadap tepat ke wajahku.
“Kenapa juga aku harus memberitahumu?” Dia menyeringai mengejekku. Tak lama, tiba-tiba ada semacam dorongan udara yang mendorongku dengan begitu keras. Rasanya bagaikan ada peluru yang tiba-tiba menembak wajahku. Aku terpental hingga hampir jatuh dari helipad. Apa itu tadi? Apakah itu serangannya? Rasanya begitu sakit, serangannya begitu berbeda dari serangan pada umumnya. Serangannya terasa nyata—lebih tepatnya sangat nyata. Seakan tubuh aslikulah yang terkena serangan itu dan bukanlah avatar ini. Dia melempar pedangku yang sebelumnya ada di genggamannya kembali kepadaku.
“Yang benar saja, tadi itu serangan? Kau bahkan tak perlu melafalkan mantra sama sekali...” Eluhku sambil berjalan menghampiri pedangku lalu mengambilnya kembali. Ini sama sekali tak membuatku tertawa. Serangannya tadi, mungkin masihlah belum serius. Aku pasti sudah mampus jika dia bersungguh-sungguh tadi.
Untuk saat ini, aku harus mencari cara untuk mengalahkannya dan menyelamatkan Anita.
“Hei, Zetsu Hitam KW, sebenarnya, apa tujuanmu?” Tanyaku lagi.
“Tujuan? Tujuanku?” Shadow Player tertawa lagi. Tawanya lebih kencang dari sebelum-sebelumnya. “Memangnya menurutmu apa? Aku ini virus! Tentu saja aku harus menginfeksi semuanya. Bahkan manusia seperti kalian.” Dia ayunkan tangan (kanan) hitamnya yang perlahan berubah menjadi pedang lalu menunjukku “Kalian manusia sama sekali tidaklah berguna bagiku. Karena itulah aku ingin melenyapkan kalian.”
Aku tertawa kecil “Heh, alasan macam apa itu? Sama sekali bukanlah alasan yang kuat seperti tokoh antagonis dalam komik. Kukira kau akan mengatakan hal konyol seperti ‘kalian manusia sudah mengotori bumi ini’ atau semacamnya.” Ejekku sambil menengok kearah sang mentari—memastikan kembali waktu saat ini. Sial, sudah lebih dari setengah matahari tenggelam. Entah berapa menit lagi hingga matahari itu akan tenggelam. Aku kembali menengok kearah Anita dan Shadow Player. Aku benar-benar kehabisan waktu. Pokoknya entah bagaimana, aku harus bisa menghancurkan cermin itu.
“Sudah terlambat. Sekitar dua menit lagi, matahari akan tenggelam dan aku akan memulai rencanaku.” Ujar Shadow Player melihat tatapan seriusku.
“Wah, terima kasih. Kau sudah repot-repot memberitahuku waktu saat ini.” Aku terkekeh lalu menyeringai mengejek. “Open the Seal : Super Moonlight Shard – Super Moonlight Speed.” Aku langsung berlari secepat yang kubisa. Melesat dengan kecepatan seperti ini benar-benar sakit. Otot-otot kakiku benar-benar terasa nyeri. Mungkin ini efek samping dari pertarungan sebelumnya. Aku merasa seperti sebuah bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Tapi, asalkan itu bisa membuatku menyelamatkan Anita, aku rela tulang maupun otot kakiku rusak sekalipun!
“Sudah kubilang terlambat!”
Shadow Player tiba-tiba muncul menghadangku. Dia menangkap kepalaku lalu membenturkannya ke lantai beton yang begitu keras dan dingin. Dia beturkan kepalaku begitu keras hingga membuat lantai beton yang kutabrak hancur. Lagi-lagi, dia menghisap energi Moonlight Speedku hingga habis. Aku tak berdiam diri begitu saja, kucoba menyerangnya dengan pedangku, namun dia menghinjak tanganku sesaat sebelum aku sempat menggerakannya. Akibatnya, genggamanku melemah dan pedangku terlepas. Setelah itu, dia berhenti menghinjakku lalu menendang pedangku jauh-jauh.
Dia melepaskan genggamannya dari kepalaku lalu mundur dua langkah. “Kenapa kau keras kepala sekali? Saat kubilang sudah terlambat, maka begitulah.” Shadow Player menyeringai lalu menghentakkan kaki kirinya. Entah bagaimana, hentakkan kaki itu membuat tubuhku dan batu-batuan di sekitarku terdorong keudara. Saat aku terdorong ke udara, tangan kirinya sudah menunggu kedatanganku. Tangannya menyentuh tubuhku, lagi-lagi, aku terpental hingga hampir jatuh dari helipad sama seperti sebelumnya.
Apa-apaan dia ini, dia bagaikan perpaduan antara Zetsu Hitam dan juga Pain.
Pikirku saat berusaha sekuat tenaga untuk bisa kembali berdiri. Serangan tadi benar-benar memberiku banyak damage. Hpku yang tersisa tinggal sedikit. Padahal, tadi aku sudah memulihkan hpku dengan meminum ramuan penyembuh. Sambil tak mengalihkan pandanganku darinya, aku membuka inventoriku lalu mengambil ramuan penyembuh. Aku masih punya sekitar lima atau enam ramuan penyembuh.
Satu ramuan penyembuh cukup untuk menyembuhkan setengah hp-ku, jadi kurasa aku akan baik-baik saja.
Setelah selesai menggunakkan sebuah ramuan penyembuh, aku melirik kearah pedangku, lalu langsung bergegas berlari untuk mengambilnya. Sementara aku berlari, Shadow Player terus menerus menembakkan serangan-serangan yang begitu mirip dengan Moonligt Shard yang dilemparkan. Saat dia ayunkan tangan kanannya yang berbentuk seperti pedang, cahaya-cahaya berwarna hitam terlempar kearahku bagaikan Moonlight Shard.
Berbeda dengan Moonlight Shard-ku, kecepatan serangannya benar-benar tidak wajar. Hampir tak mungkin bagiku untuk bisa menghindar sepenuhnya. Aku pasti akan terkena setiap serangannnya, meskipun itu hanyalah luka gores. Damage yang dihasilkan dari serangannya juga tak main-main. Jika bukan luka gores, pasti saat ini aku sudah kewalahan.
Sambil berusaha menghindar, aku terus berlari menghampiri pedangku. Setelah berhasil menangkapnya, aku langsung berhenti dengan pakem lalu mengaktifkan Super Moonlight Speed. Setelah itu aku langsung berbelok kearah cermin sambil mengaktifkan Moonlight Sword. Tapi, tiba-tiba Shadow Player menangkap pedangku. Melalui pedang itu, dia mengayunkan tubuhku, lalu membantingnya dengan begitu kuat. Saking kuatnya, satu bantingan itu hampir menghancurkan seluruh area helipad.
Lalu, seakan tak memberi waktu jeda bagiku, tangan kirinya mencekikku lalu membawaku terbang ke udara. Sementara tangan kiriku yang mencoba melepaskan genggamannya, aku terus mencoba menyerangnya dengan pedang di tangan kananku. Namun, setiap serangan yang kulancarkan selalu menembusnya.  Rasanya seperti menyerang asap.
Apa ini, memangnya dia ini pengguna buah iblis tipe logia?
Dia membawaku terbang begitu tinggi  hingga menembus awan. Rasanya begitu dingin, ini pertama kalinya bagiku merasakan udara sedingin ini. Bahkan uap udara yang keluar saat aku bernapas nampak lebih jelas dibandingkan sebelumnya.
Shadow Player hanya tersenyum melihatku yang terus berusaha melepaskan genggamannya. Dia sama sekali tak merasa terganggu saat aku terus-menerus menyerangnya. “Lihat, mataharinya sudah tenggelam.” Ujar Shadow Player sambil menunjuk matahari dengan tangan kanannya. Aku berusaha menengok, benar apa yang dia katakan. Matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Langit yang sebelumnya oranye keemasan, sudah menjadi biru dan perlahan semakin gelap. ”Ini adalah akhir bagi kalian.” Sambungnya terkekeh-kekeh.
Dengan kecepatan yang sangat luar biasa, dia menyeretku ke bawah. Menuju kembali kearah helipad. Lalu, dia melemparku kearah helipad dan membuat tempat itu sepenuhnya hancur. Suara saat aku berbenturan dengan helipad menggema ke seluruh kota. Mereka yang berada di dalam gedung bisa mendengarnya dengan jelas.
Asap dan debu akibat hancurnya tempat itu tersebar kemana-mana. Tubuhku benar-benar terasa lemas dan sakit. Aku beruntung, meski tak banyak, tapi aku masih memiliki beberapa hp. Aku selamat berkat Super Moonlight Speed ini, meski hanya sesaat, aku sempat menggunakkannya saat dia melemparku tadi. Entah kenapa dia tak menghisap Super Moonlight Speed ini saat dia mencekikku tadi. Dengan lemasnya, aku berusaha membuka inventoriku lalu menggunakkan ramuan penyembuh. Meski begitu, tubuhku masihlah terlalu sakit dan lemas untuk bisa digerakkan. Butuh beberapa detik sampai aku bisa bergerak seperti semula.
Asap yang menyelimuti helipad tak bertahan lama karena kencangnya hembusan angin. Aku bisa melihatnya dengan jelas, meski helipad ini hancur, cermin itu sama sekali tak tergores. Tapi ada yang aneh dari cermin itu. Sejak matahari tenggelam, cermin itu sama sekali tak memantulkan cahaya. Shadow Player turun kembali dari langit lalu menghampiri cermin itu.
“Lihatlah baik-baik.” Katanya. Tak lama, cermin itu mulai melayang. Perlahan demi perlahan, benda itu semakin memanjat langit. Saat sudah cukup tinggi, mulai muncul retakan di tengah-tengah cermin itu. Retakan itu dengan cepatnya menyebar ke seluruh cermin. Cahaya keluar dari celah retakan itu. Perlahan cahaya yang keluar semakin banyak dan semakin cerah. Cerahnya bagaikan rembulan malam hari yang menerangi bumi. Semakin cerah cahaya yang keluar, semakin besar juga celah diantara retakan-retakan itu.
Crash.
Cermin itu hancur. Dari dalamnya, seorang gadis berambut setengah hitam setengah putih muncul. Sayap hitamnya membentang luas dengan bulu-bulunya yang berwarna hitam. Di tangan kirinya, terdapat sebuah sabit yang gagangnya sama panjangnya dengan tinggi gadis itu. Perlahan, dia membuka mata hijaunya yang indah dan elegan. Dia menatap ke bawah bagaikan menatap serangga menjijikan. Tatapannya penuh kebencian dan juga dendam.
“Anita?” Gumamku saat menatapnya. Anita melesat terbang ke bawah. Bulu-bulu hitam berguguran saat dia mengepakkan sayapnya. Angin yang terbawa oleh sayapnya berhembus begitu kencang saat dia mendarat di helipad. Sesaat setelah mendarat, dia katupkan sayapnya. Perlahan, aku kembali berdiri sambil bertumpu pada pedangku “Ani—” Pada awalnya aku berniat memanggilnya, namun aku merasa ada yang ganjil. Tatapannya—tatapan Anita benar-benar kosong. Seakan tak mempunyai jiwa. Dan lagi, caranya dia menatap ke sini saat di atas tadi benar-benar aneh.  Lalu, dia berdiam diri saat Shadow Player berusaha mendekatinya.
Pokoknya, saat ini segala sesuatu tentangnya saatlah aneh. Dia bukanlah Anita yang kukenal. Sesuatu, pasti Shadow Player telah melakukan sesuatu padanya saat di cermin tadi.
Aku berkedip. Apa— Tunggu, apa—
Anita muncul tepat di hadapanku lalu mengayunkan sabitnya kearahku. Sontak, aku langsung reflek menepis sabit itu dengan pedangku. Namun dia tak berhenti begitu saja, saat aku berusaha menghentikan serangannya yang selanjutnya, tiba-tiba tubuhku tak bisa bergerak.
Gawat, kalau begini, bisa-bisa sabit itu menusukku.
“Open the Seal : Moonglight Shard – Moonlight Speed.” Dengan cepat seperti penyanyi rap, aku melafalkan mantra itu. Sekuat tenaga, aku berusaha menggerakkan tanganku untuk menangkis serangannya. “(Bergeraklah...!)” Tanganku mulai bergetar, setelah itu secara ajaib aku berhasil menggerakkannya lalu berhasil menangkisnya tepat sesaat sebelum sabit itu menyentuh pakaianku.
“Anita, sadarlah! Ini aku! Aku tak mau melawanmu!” Ujarku sambil menahan serangan itu. Anita hanya terdiam mengabaikanku. Dorongan sabitnya malah semakin kuat dan semakin kuat tiap detiknya. “Akh, sial!” Aku mendorong balik sabitnya lalu langsung berlari mundur menjauhinya dengan Moonlight Speed. Sementara itu, Anita mengayunkan sabitnya lalu kembali menatap lurus kearahku.
Gawat, apa yang harus kulakukan? Aku tak mau melawan Anita. Disaat yang bersamaan, aku juga tak bisa terus membiarkannya begini.
“Kumohon Anita, sadarlah! Aku benar-benar tak ingin bertarung denganmu!” Gertakku sekali lagi. Disaat aku sedang dibingungkan dengan situasi ini, hawa panas perlahan menjalar ke belakang tubuhku. Aku bertanya-tanya dari mana asalnya hawa panas itu. Sampai aku berbalik dan melihat asap hitam tebal yang berasal dari api biru yang menjilat-jilat keluar ruangan. Aku berjalan menghampiri pinggiran helipad dan melihat ke bawah. Api biru yang berkobar di lantai di bawah itu terus menjalar keatas gedung. Menurut perkiraanku, jarak antara kami dengan api itu sekitar tiga atau empat lantai.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Saat ini muncul begitu banyak pertanyaan di kepalaku. Namun pertanyaan itulah yang bisa menyimpulkan seluruh pertanyaan yang ada. Aku mendengar suara tawa yang berat juga suara tepukan tangan.
“Tenang saja, kau tak perlu mencari jawabannya. Karena setelah aku menghabisimu, aku akan menggunakkan kekuatan Cursed Eye dan menghentikan napas semua orang yang ada di kota ini.” Dia nampaknya sangat senang dengan kekacauan yang ada. Aku dapat melihat dengan jelas dari senyuman di wajahnya yang semakin melebar.
“Heh. Kenapa kau harus menghabisiku dulu sebelum menggunakkan kekuatan Anita?” Tanyaku sambil kembali berjalan menjauhi pinggir helipad.
“Kau lah yang seharusnya paling tahu siapa orang yang paling disukai Anita.” Jawabnya dengan sombong. “Dengan kehilangan satu-satunya orang itu, dia akan kehilangan sesuatu yang biasa di sebut ‘harapan’. Dengan begitu keputus-asaan akan terus menghantui dirinya.” Sambungnya.
Aku tersentak. Perkataannya barusan membuatku teringat kembali dengan pesan yang diberikan Anita kepadaku. Aku termenung sesaat, lalu kembali menatap lurus kearah Anita yang perlahan berjalan menghampiriku sambil mengayunkan sabitnya. “Harapan, ya....” Gumamku.
“Harapan yang dimiliki Anita, aku?” Aku tertawa kecil. “Yang benar saja, aku, satu-satunya teman baginya, yang telah menghilang dari kehidupannya selama bertahun-tahun adalah harapannya?” Dengan senyuman geli, aku mengangkat pedangku lalu menggenggamnya erat-erat. Anita mendorong pijakkannya dengan sekuat mungkin hingga membuat beton yang dipijaknya retak. Dengan cepat ia melompat kearahku lalu mengayunkan sabitnya kearahku. Aku sudah menunggu serangan itu datang. Kutahan serangannya dengan Super Moonlight Sword. Aku bertanya-tanya mengapa dia tak menggunakkan kekuatan matanya sekali lagi, apakah ada sistem cooldown atau semacamnya?
Sementara aku sedang berpikir, seakan tak kehabisan ide, Anita menyerangku dengan menggunakkan sayapnya. Aku terpental tapi langsung menghentikkan tubuhku dengan mendorong tubuhku ke atas. Saat aku sedang melambung tingi di udara, Anita muncul di belakangku lalu lagi-lagi memukulku dengan sayap hitamnya. Pukulannya saat di udara berbeda dengan saat berada di daratan. Lebih kuat hingga membuatku melesat menukik ke helipad. Asap dan debu keluar dari beton yang hancur akibat daya hancur dari diriku yang jatuh.
Saat kubuka kembali mataku, Anita sudah di hadapanku dan mengayunkan sabitnya tepat kearah perutku. Sontak, aku langsung menepis serangannya lalu melompat menjauhinya. Anita kembali terbang, dia lempar sabitnya kearahku. Sabit yang terlempar itu berputar-putar seperti baling-baling helikopter. Dengan ajaibnya benda itu bisa berbelok tepat kearahku. Bahkan putarannya terlalu cepat untuk bisa kutangkis. “Open the Seal : Moonlight Shard – Moonlight Speed.” Dengan cepat aku menghindar. Saat sabit itu tidak mengenaiku, benda itu kembali berbelok kearah Anita seperti sebuah bumerang.
Anita dapat dengan mudah menangkap sabit tersebut. Dengan cepat ia terbang melesat kearahku bagaikan elang yang hendak menerkam mangsanya. Aku tersenyum kecut lalu menahan serangannya. Aku bisa melihat dengan jelas, percikan api yang tercipta saat pedangku dan mata pisau sabitnya beradu satu sama lain.
“Orang sepertiku lebih pantas disebut sebagai pembawa keputusasaan. Selama ini, yang kulakukan hanyalah membuat semua orang yang ada di sekitarku merasa sedih dan putus asa. Lagi dan lagi, aku tak pernah belajar dari kesalahanku di masa lalu dan terus mengulangi kesalahan yang sama. Aku terus menyalahkan diriku sendiri, tanpa pernah membuat perubahan. Aku membuat orang yang kuanggap sebagai kakakku—keluargaku celaka, membuat teman baikku khawatir, bahkan aku mengabaikan semua orang yang peduli kepadaku dan memilih untuk berdiam diri. Karena itulah...” Perlahan, kulepas genggamanku—membiarkan pedangku jatuh dan membiarkan pertahananku terbuka lebar. Aku tersenyum tulus sambil menatapnya “...Karena itulah, aku tak ingin melawanmu....”
Jleb.
Suara tusukan saat sabit itu menusukku dapat kudengar dengan jelas. Besi hitam yang runcing nan tajam itu menusuk pinggangku. Sakit, rasanya begitu sakit. Begitu sakit hingga membuatku ingin berteriak kesakitan. Aku bisa melihat hp-barku yang perlahan semakin menipis. Tubuhku terasa lemas, bahkan aku tak punya tenaga untuk bisa mengepalkan tanganku. Tak kenal ampun, meski sudah tertusuk, sabit itu terus menerus didorong hingga semakin menusuk lebih dalam.
Iya. Begini saja tak apa.
“Dasar kau ini, jika kau ingin menembak sesorang, katakanlah langsung.” Gumamku dengan suara tertahan. Perlahan kugerakkan tangan kananku mengenggam pundak Anita. Dengan segala rasa sakit yang ada, aku kerahkan senyum lebarku, sehangat yang kubisa.
“Ayo pulang, Anita....”
Air mata itu mengalir deras menjatuhi pipinya. Keluar dari matanya yang berkaca-kaca. Anita menangis meraung seperti seorang anak kecil, menangis begitu kencang. Dari bibirnya yang bergetar, ia meraung. Setiap air mata, suara, serta ekspresi yang dikeluarkannya mewakili banyaknya perasaan yang mengalir. Seakan perasaan itu tak mengizinkannya untuk membendungnya. Suaranya, tangisannya begitu tulus. Bahkan tak bisa diungkapkan dalam kata-kata.
Kusadari kalau sabit yang menusukku telah lenyap. Sayap hitam itu mulai menghilang. Bulu demi bulu, perlahan rontok lalu lenyap seperti debu. Rambut hitamnya memudar, kembali ke warna aslinya.
Dalam tangisnya, Anita perlahan menghampiriku lalu memelukku. Pelukkannya begitu kencang hingga membuatku agak sulit bernapas. Air matanya jatuh membasahi pakaianku. Meski tubuhku masih terasa lemas, aku membalas pelukannya. Aku bisa melihat dengan jelas, dia menangis dan meraung.
Namun tak apa. Asalkan seperti ini, itu tak apa.
Gadis berambut putih itu menangis.
Meraung.
Menumpahkan segala perasaan yang sudah lama ia pendam.
Anita yang selama ini kulihat—senyumannya yang riang yang selama ini selalu kulihat. Berubah menjadi sebuah tangisan tulus, tangisan yang seperti anak kecil.
***
“Anita, kau tak apa-apa?” Tanyaku yang terduduk lemas sambil menekan luka di pinggangku. Sudah beberapa menit sejak Anita menangis, saat ini dia sudah mulai kembali tenang.
“Harusnya aku yang bertanya begitu. Lagipula, kenapa kau datang kemari? Bukankah aku sudah memintamu dan yang lainnya berevakuasi?” Balas Anita judes. Aku tertawa canggung. Dia mengulurkan tangannya ke arah luka di pinggangku, memejamkan matanya lalu perlahan cahaya hangat berwarna putih muncul di sekitar tangannya. Entah bagaimana, cahaya itu menyembuhkan luka di pinggangku. Hp barku juga ikut pulih bersamaan dengan lukaku yang sembuh. “Dengan begini kau akan baik-baik saja.” Anita kembali membuka matanya lalu menyeka keringat di dahinya.
Prok, prok, prok.
Suara tepukan tangannya. “Wah wah wah, tak kusangka kau bisa melepas pengaruhku. Tapi, tadi itu sungguh drama yang menyentuh.” Shadow Player berbaring di helipad bagaikan seseorang yang sedang bersantai di pantai. Tak lama kemudian dia melompat berdiri “Tapi, meskipun rencanaku telah gagal. Aku pasti akan tetap melenyapkan kalian semua.” Dia angkat tangan kanannya yang bentuknya sudah berubah menjadi seperti pedang. Perlahan, cahaya berwarna hitam dengan aura berwarna merah mulai menyelimuti pedang tersebut.
“Takkan kubiarkan!” Aku ayunkan pedangku yang sudah terlapisi Moonlight Shard. Kulemparkan cahaya yang berbentuk seperti serpihan cahaya bulan kearahnya.
Shadow Player hanya tertawa melihat satu-persatu seranganku menembus tubuhnya. Tawanya semakin kencang bersama dengan energi di tangannya yang semakin membesar.
Slash
“Apa?!”
Tiba-tiba, serangannya terganggu. Energi yang sudah terkumpul di tangan kanannya tercerai-berai disaat serangan terakhirku tiba-tiba mengenai tubuhnya. Dia terdorong akibat hempasan seranganku lalu berlutut sambil menekan luka di perutnya. Senyum lebar di wajahnya terhapus menyisakan wajah hitam kosong tanpa wujud sama sekali. “Ini... efek anti-virus.... bagaimana bisa...?” Tanyanya sambil kembali berdiri.
“Benar sekali.” Ujar Anita membenarkan dugaan Shadow Player. Dia ambil sebuah serpihan cermin yang berserakan di helipad lalu tersenyum puas. Di cermin tersebut, terpantul sosok Shadow Player. “Sesaat yang lalu, aku memasukkan anti-virus kedalam sistemmu saat kau berada di dalam cermin.” Sambungnya sambil melempar cermin tersebut kearah Shadow Player. Cermin itu sempat beberapa kali terpantul sampai akhirnya mendarat tepat di bawah Shadow Player.
“Selama ini, kau kira aku berada di dalam genggamanmu, namun kenyataannya, kau lah yang terjebak.” Sambung Anita dengan senyum mengejek sambil menunjuk Shadow Player.
Shadow Player hanya terdiam, lalu menginjak cermin itu hingga hancur berkeping-keping “Ke-keparat kau! White...!!!” Teriaknya penuh emosi. Emosinya memuncak, sebuah pola berwarna merah di wajahnya tercipta, bentuknya seperti gigi taring. Atmosfir di sekitarnya menjadi berat, aura berwarna merah darah menyelimuti dirinya. Bahkan sulit bagiku untuk bernapas.
“Dengan begini aku bisa menyerangmu!” Aku berlari kearahnya lalu mengayunkan Super Moonlight Sword-ku. Masih kesal, Shadow Player menepis seranganku lalu melompat mundur.
“Ya. Sekarang kesempatan kami untuk bisa mengalahkanmu bukanlah 0% lagi.” Dengan senyum penuh percaya diri, Anita berjalan menghampiriku. Shadow Player bimbang, dia terdiam seribu bahasa.
“Khu- hahahaha” Tawa lepas keluar dari Shadow Player. “Baiklah. Kau benar-benar sudah mempermainkanku, White. Tapi jangan merasa puas terlebih dahulu, karena aku masih belum menyerah.” Dia ayunkan kedua tangannya ke samping lalu mengubahnya menjadi pedang yang begitu panjang dan juga runcing. Aura yang di keluarkannya membuat pijakkannya retak, hembusan angin yang begitu kencang berhembus darinya “Majulah!”
Apa ini, memangnya kedua tangannya itu Migi dari Parasyte?
***
“Kak Indra...! Kak!”
Suara yang memanggilnya telah membangunkan dirinya. Dirinya tersentak saat merasakan panasnya kobaran api biru yang melahap seluruh ruangan. Di hadapannya ada Zaki dan Leila yang nampak senang melihat dirinya telah tersadar. Namun, dibalik itu semua, Kak Indra menyadari kalau saat ini mereka sedang terjebak dikelilingi kobaran api.
“Syukurlah, akhirnya Kak Indra siuman juga....” Ujar Zaki tersenyum lega. Saat melihat kobaran api, Kak Indra teringat dengan apa yang terjadi sebelumnya. Dia-pun sontak langsung terduduk sambil menengok kesana kemari.
“Oh iya, Dinda... Dimana dia—” Tiba-tiba rasa sakit dan nyeri di tangan kanannya membuatnya tak bisa berkata-kata. Meski tangan kanannya sudah pulih seperti sedia kala—berkat obat penyembuh—dia sama sekali tak bisa merasakan tangan kanannya. Tangan kanannya terasa mati rasa, seakan tangan itu tak pernah ada sama sekali. Sambil kembali menekan rasa sakit di tangan kanannya, ia berusaha menyelesaikan kata-katanya “Dimana Dinda?”
“Sayangnya, kami tidak tahu.” Jawab Leila murung. “Dia menghilang sejak dia membawa pergi Anggun bersamanya.” Sambungnya sambil menengok kearah pintu keluar yang sebelumnya tertutup es namun sudah mencair.
“Sejak tadi kami berusaha menghilangkan api-api ini dengan menggunakkan elemen angin milik Leila, tapi itu malah membuat api yang ada semakin besar.” Zaki tertawa canggung sambil membuang wajahnya. Dia sadar betul kalau idenya tadi itu sangat bodoh dan malah memperburuk keadaan.
Kak Indra mencoba mengambil pedangnya dengan tangan kirinya lalu mencoba kembali berdiri dengan bertumpu pada benda itu. Sempat sesekali kehilangan keseimbangan sampai membuat Zaki dan Leila khawatir, namun pada akhirnya dia berhasil kembali berdiri. Kak Indra menengok kesana kemari, api biru membara sejauh mata memandang lalu menengok kearah tangan kanannya yang membuatnya teringat Dinda.
“Kalian mundurlah, aku akan memadamkan api ini dengan elemen air-ku.” Kak Indra mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, lalu hendak berniat untuk menancapkannya di lantai.
“Tu-tunggu dulu, Kak Indra tak perlu memaksakan diri. Lagipula, kondisimu’kan lagi seperti ini.” Zaki menyela perintah Kak Indra.
“Mundur saja!” Bentak Kak Indra. “Saat ini, prioritas utama kita adalah mencari keberadaan Dinda.” Melihat kesungguhan di mata Kak Indra yang menatap lurus kearah pintu keluar membuat Zaki hanya mengangguk setuju. “Open the Seal : Ice Territory.” Dia tancapkan pedang airnya ke lantai. Dengan cepat, air di pedangnya mengalir memasuki lantai dan mengubah lantai tersebut menjadi es. Es itu menyebar dengan cepat ke seluruh area di ruangan ini, memadamkan setiap api yang ada dan membuat semuanya menjadi es. Sambil menarik pedangnya keluar, Kak Indra menarik dan mengeluarkan napas dalam. Hembusan udara dingin yang keluar dari mulutnya nampak dengan jelas dikarenakan dinginnya ruangan.
“Ayo pergi....” Kak Indra mulai berjalan melangkah menuju ke pintu keluar diikuti Zaki dan Leila yang mengangguk setuju.
***



 ~TAMAT?~
BUAT KALIAN SEMUA, TERIMA KASIH SUDAH MAU MEMBACA :)

SAMPAI JUMPA TAHUN DEPAN? 

No comments:

Post a Comment