Selamat datang di KnK Land. Mari menguasai dunia bersama kami. Disini kalian bisa menemukan ratusan postingan berbahaya dari penulis-penulis kami. Selamat menikmati situs yang hidup ini.




Monday, June 11, 2018

Start Point - Chapter 6 : Rasa Bersalah

Sebelum membaca novel ini, sangat disarankan untuk membaca chapter sebelumnya terlebih dahulu.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Start Point

Untuk pembuka, kurasa aku akan memperkenalkan diri

Berhari-hari sudah berlalu, dan sejak saat itu, Sindy selalu menghindari kami. Tak peduli seberapa keras usaha kami untuk menemuinya, dia terus saja menghindar. Satu hari, kami bertemu di kantin sekolah, namun walau kupanggil dia, dia tak menghiraukanku dan berjalan melewatiku.
“Kurasa, aku harus menemuinya....” Leila merasa bahwa dialah alasan mengapa Sindy menghindar dari mereka. Dia memintaku dan Zaki untuk menemuinya dikelas sepulang sekolah “Luka yang dialamiku saat itu, terasa sangat nyata..... kurasa Sindy juga menyadari itu, dan juga, kurasa dia menyalahkan dirinya sendiri karena itu.” Aku menarik tas dan berdiri dari kursiku.
“Tidak. Kurasa, akulah yang harus menemuinya.”
“Tapi Di—”
“Lagipula, aku adalah teman satu timnya.” Aku tersenyum dan berjalan keluar kelas.
“Ba-baiklah, ka-kau bisa menemuinya. Biasanya, dia akan ada ditaman setiap hari minggu. Kau bisa menemuinya disana.”
***
Hari ini adalah hari minggu. Rumahku dekat dengan taman, kurasa ini adalah sebuah kebetulan yang menguntungkan untukku. Rumahku dan taman hanya dipisahkan oleh sebuah jalan raya, sehingga aku bisa melihat aktivitas yang terjadi ditaman hanya dari depan rumah. Aku berjalan keluar rumah, dan menengok ketaman yang sudah ramai akan pengunjung.

Walau cuaca hari ini mendung, tapi taman masih saja penuh dengan pengunjung. Dari kalangan anak-anak sampai orang tua ada ditaman. Biasanya untuk menghabiskan waktu mereka, tapi tak kusangka, Sindy adalah salah satunya. Bukan berarti ini adalah hal yang buruk. Biasanya, taman akan dipenuhi oleh orang yang sedang melakukan jogging di pagi harinya. Di siang hari, taman akan dipenuhi oleh anak-anak yang baru saja pulang sekolah, yang biasanya bermain pasir dan wahana seperti ayunan, perosotan, dan sebagainya. Sore harinya, biasa diisi oleh remaja-remaja yang sedang bersantai atau berkumpul. Sedangkan di malam harinya, taman biasa diisi oleh remaja-remaja yang sedang berpacaran atau hanya sedang mencari wifi gratis.
Tepat tengah hari, aku mulai melangkahkan kakiku menyebrang, dan berjalan-jalan ditaman sembari mencari Sindy. Setelah beberapa menit aku mencarinya, aku tak bisa menemuinya. Sampai akhirnya aku sampai disebuah jalan setapak. Jalan itu biasa aku dan Zaki lalui disaat kami sedang masih kecil. Kami biasa melewati jalan itu setiap kami akan memasuki taman.
Oh iya, kalau tidak salah, anak perempuan itu biasa duduk disana. Membaca buku yang sama.
Aku mulai menyusuri jalan itu. Sebuah jalan yang sudah lama tak aku lalui. Akhirnya, aku menemukannya. Sindy duduk disebuah kursi kayu, kursi tersebut agak berlumut ditelan jaman, namun masih menjaga bentuk aslinya. Dibawah sebuah pohon, dengan daun-daunnya yang berguguran. Membaca sebuah buku tua (Sebuah novel?) Kedua matanya terfokus ketubuh buku tersebut, membaca setiap tulisan yang ada. Aku merasa bahwa aku tak ingin mengganggunya, tapi mau bagaimana lagi.
Aku harus menemuinya.
Kedua mata yang awalnya hanya terfokus kebuku tersebut, seketika langsung berpaling tak lama setelah aku tak sengaja menginjak sebuah ranting dan membuatnya patah. Sepertinya dia mendengar suara dari ranting yang patah itu. Dia melirikku sebentar, memastikan siapa yang menginjak ranting itu, dan kembali membaca bukunya. Sepertinya dia tak ingin menghindariku kali ini. Aku berjalan menghampirinya, duduk disebelahnya, lalu mencoba berbasa-basi dengannya. Aku mencari bahan untuk berbasa-basi dengannya, dengan mencari tahu apa yang dia suka untuk dibicarakan saat ini.
“He-hei, kau sedang membaca apa?”
Sindy menaruh sebuah bulu unggas (angsa?) diantara kedua halaman yang sedang dia baca, dan menutup bukuny lalu menengok kearahku dengan tatapannya yang nampak sangat dingin “Kau sendiri sedang apa?”. Gawat, aku tak menduga bahwa dia akan balik bertanya kepadaku.
“Yah... itu.... ke-kebetulan saja rumahku dekat dengan taman. Jadi kupikir akan menyenangkan jika berjalan ditaman dihari minggu begini....” Aku mencoba mengeluarkan sebuah senyuman, tapi nampaknya dia tahu bahwa itu hanyalah sebuah senyuman palsu.
“Oh.....” Sindy kembali mengalihkan pandangannya kebukunya, dan membukanya. Awan mendung mulai mengeluarkan isinya. Air hujan yang dingin mulai jatuh membasahi taman. Membuat rumput, daun, dan segala yang ada bersamanya menjadi basah. Udara berubah menjadi semakin dingin dan semakin dingin. Aku bisa melihat pengunjung taman langsung pergi berteduh dan pulang. Kami beruntung, daun-daun dari pohon yang ada tepat dibelakang kursi ini membuat air hujan tak dapat membasahi kursi beserta kami. Namun kelihatannya Sindy tak terlalu memikirkannya.
Dia terlihat tidak perduli jika dirinya harus basah karena hujan. Bahkan dia tak sedikitpun melirik kearah lain selain kepada bukunya. Benar-benar keadaan yang canggung. Disaat seperti ini, kurasa lebih baik jika aku langsung keinti pembicaraan saja.
“Sindy, sebenarnya ada yang ingin kutanyakan kepadamu. Kenapa sejak saat insiden itu, kau bertingkah seakan-akan kau menghindariku, Zaki dan Leila?” Sindy langsung tertegun. Jarinya yang awalnya sedang mengganti halaman seketika terhenti ditengah setelah mendengar pertanyaanku.
“Tidak, aku sama sekali tidak menghindari kalian.” Dengan suara yang datar dan pelan, dia memalingkan wajahnya dariku, melanjutkan bacanya. Jarinya yang terhenti kembali bergerak, mengganti halaman yang lama dengan yang baru.
“Begitu ya. Tidak, Hanya saja, kurasa kau terus menerus menghindari kami sejak kejadian itu.”
“Bukankah itu bagus? Kau tak perlu menemui orang sepertiku lagi.”
“Tunggu dulu, apa maksudmu?”
“Bukankah kalian membenciku? Karena akulah, Leila menjadi seperti itu.”
“Tidak, ini bukanlah salahmu ataupun salah siapapun. Tak satupun dari kami yang menyala—”
“Jangan berbohong! Kalian pasti membenciku,’kan? Karena akulah, Leila menjadi terluka!” Sindy langsung menutup kedua bukunya tanpa pikir panjang dan menatapku dengan tatapan tajam. Dia menarik bajuku dan dengan cengkraman yang kuat, lalu melepaskannya tak lama. “Karena akulah.... Leila menjadi terluka..... Jika saja aku tak ikut.... jika saja aku tidak egois....” Sindy menaruh bukunya disebelahnya, lalu menatapnya. “Aku ini egois.... dari dulu, maupun sekarang.... aku tak pernah berubah....”
***
Beberapa Tahun yang lalu
“Gara-gara kau, kita jadi kalah!” Disebuah warung internet, Sindy kecil dimarahi sekumpulan anak laki-laki. Setiap komputer dipisahkan oleh sebuah papan kayu yang tingginya sedikit lebih tinggi dari monitor komputer, kursi yang ada terbuat dari kayu, dan internetnya juga tak terlalu kencang. Anak-anak itu menyalahkannya atas kekalahan tim mereka disebuah pertandingan game online.
Mereka beranggapan, bahwa Sindylah yang membuat tim mereka menjadi kalah. Bahkan anak-anak tersebut mengejeknya dan memerintahkannya untuk bermain masak-masakan sama halnya dengan apa yang biasa dilakukan oleh anak perempuan. Sindy kecil tahu bahwa kekalahan ini bukan sepenuhnya salahnya, namun dia tak mengerti, kenapa semua kesalahan itu sepenuhnya dilimpahkan kepadanya.
Kemampuannya dalam bermain game memang payah. Bahkan dia pernah tak sengaja menjatuhkan karakternya kedalam jurang. Namun dia sangat suka bermain game. Karena itulah, dia terus menerus bersikeras untuk tetap bermain, walau selalu saja disalahkan. Dia yakin bahwa semakin dia bermain, maka kemampuan payah yang dimilikinya pasti akan membaik.
Dia mencoba untuk berpindah dari satu tim ke tim lainnya. Namun, dimanapun dia berada, dia selalu saja diusir dari tim tersebut karena kemampuannya yang payah. Sedemikian sering dia ikut bermain, semakin banyak ejekan yang diterimanya. Sampai akhirnya tak ada lagi tim yang mau menerimanya. Sekeras apapun dia memohon, tak ada lagi tim yang mau menerimanya. Dia mulai menyadari, bahwa semuanya sudah kesal terhadapnya. Hal ini membuatnya mulai kehilangan kepercayaan dirinya. Dia mulai percaya bahwa dialah penyebab dari semua ini terjadi. Keegoisannyalah yang membuat ini terjadi. Dia mulai berpikir bahwa jika dia mendengarkan anak-anak itu dan berhenti bermain game, maka mereka takkan membencinya.
Tetapi suatu hari, muncul seorang anak laki-laki. Tak satupun ada anak yang mengenalnya. Seorang anak aneh, yang tiba-tiba muncul dan seenaknya ikut bermain bersama mereka. Kemampuan bermainnya sangatlah menakjubkan. Kemampuan bermainnya yang menakjubkan itu, mulai membuat anak lainnya menjadi iri kepadanya. Merekapun bersekongkol membuat anak itu menjadi satu tim bersama Sindy yang sangat payah saat bermain game. Mereka tahu bahwa saat kau mencampurkan kue dan garam, rasa yang dihasilkan akan mengerikan. Tujuan sebenarnya dari mereka adalah untuk menciptakan sebuah alasan untuk membully anak laki-laki itu. Mereka memanfaatkan kemampuan Sindy yang payah untuk membuat anak itu menjadi kalah. Dengan kekalahan itu, mereka mempunyai sebuah alasan untuk membullynya.
Sindy bingung, kenapa anak itu tidak membela dirinya sendiri dengan melimpahkan semua kesalahan kepadanya. Padahal sudah jelas bahwa kekalahan mereka disebabkan olehnya. ”Kenapa kau tak menyalahkanku? Padahal, karena aku kita menjadi kalah....” Namun, dengan senyuman polos nan santai anak itu membalas.
“Kenapa aku harus menyalahkanmu? Lagipula, ini hanyalah sebuah game.”
“Kau... (Ini hanyalah... game...?)”
“Jadi itulah.... jawabanku.” Anak itu mengecek jamnya, dan menyadari bahwa dia harus segera pergi dari sana. Maka, diapun mematikan komputer dan berjalan melangkahkan kakinya menuju ke pintu keluar. Sebelum dia sampai ke pintu keluar, Sindy menghampirinya dan menangkap tangannya.
Berbeda dari sebelumnya, kali ini Sindy menghapus mendung di wajahnya dan tersenyum tulus “Boleh aku tahu, siapa namamu?” Anak laki-laki itu sempat terdiam sebentar. Nampak seperti sedang berpikir.
“Panggil saja aku Rama.” Diapun keluar tak lama setelah memberitahu namanya. Sejak saat itu, diwaktu yang sama, Rama selalu datang ke warung internet dimana Sindy bermain. Anak-anak lainnya masih bersekongkol untuk membully Rama dengan cara membuatnya satu tim bersama Sindy. Selama itu, akibat kedatangan Rama, Sindy mulai kembali mendapatkan kepercayaan dirinya. Dia mulai kembali percaya bahwa masih ada harapan baginya untuk tetap bermain game. Untuk tetap bermain hal yang disukainya.
Namun suatu hari, beberapa hari setelah hari kelulusan di SDnya Sindy, Rama tak kunjung bermain di warung internet biasa dia bermain. Sindy berasumsi bahwa Rama sakit, karena akhir-akhir ini hujan sering turun. Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya Rama kembali bermain. Tetapi, dia nampak berbeda dari biasanya. Rama tampak lemas dan lesu, rambutnya yang seperti apel sangat kacau. Bahkan, cara bermainnya sangat berbeda dari biasanya. Seakan-akan, dia sudah tak memiliki semangat untuk kembali bermain. Sindy yang khawatir atas kondisi Rama, langsung menanyakan kondisinya. Namun, kekhawatiran itu hanya dibalas dengan satu kata.
“Maaf, tolong jauhi aku....” Sindy tertegun. Tak biasanya Rama mengatakan hal aneh seperti ini. Seperti ada sesuatu yang sangat buruk telah menimpanya.
“Rama... Ka-kalau ada masalah, tolong ceritakan kepadaku.... barang kali, aku mungkin bisa membantumu...” Sindy mengambil sebuah kursi, dan duduk disebelahnya. Rama hanya terdiam, menunduk tanpa memperhatikan layar monitor sedikitpun. Tak ada satupun tombol keybord yang dia tekan, dan mouse yang dia pegang, tak dia gerakkan seincipun.
“Kemarin... Aku....” Rama mengangkat kedua tangannya dari keybord dan mouse, lalu menjatuhkan tangannya “Maaf, aku tak bisa mengatakannya. Maaf....”
Rama langsung bangun dari kursinya dan berlari keluar warung internet meninggalkan Sindy. Sindy mencoba mengejarnya, namun dia sudah pergi. Dibelakangnya, anak-anak yang lainnya mulai membicarakannya.
“Lihat, anak laki-laki yang biasa bersama Sindy pergi meninggalkannya”
“Tentu saja, pasti dia sudah lelah menjadi satu tim dengannya. Sindy’kan sangat payah saat bermain.”
“Benar juga.”
Disaat mereka tertawa lepas, Sindy langsung berlari keluar mencari Rama. “Jangan pikirkan... jangan pikirkan kata-kata mereka....” Sindy mencoba menutup telinga akan apa yang sudah dia dengar tadi dan mencoba fokus untuk mencari Rama, namun dia tak tahu harus mulai mencari dimana. Kalau dipikir-pikir lagi, Sindy tak pernah tahu dimana Rama tinggal. Setiap hari, dia hanya bertemu dengan Rama di warung internet biasa mereka bermain. Namun, walau begitu, Sindy tak boleh menyerah. Dia harus tetap fokus untuk mencari Rama.
 Untuk permulaan, dia memutuskan untuk mencari di taman. Mencari di setiap area yang ada. Namun, dia tak bisa menemukannya. Sindy mulai bertanya-tanya, apakah semua ini salahnya. Apakah yang dikatakan yang lainnya itu benar bahwa dialah penyebab mengapa Rama pergi. Apakah dikarenakan keegoisannyalah dia mulai kehilangan teman-temannya. Apakah karena keegoisannyalah dia dibenci. Apakah karena kelemahannyalah dia dibenci. “Apakah semuanya membenciku karena keegoisanku ini...?”
Sejak saat itu, Rama tak pernah datang lagi ketempat dimana Sindy bermain. Seberapa lama Sindy menunggu, Rama tak pernah datang kembali. Namun, walau begitu, Sindy tak ingin kehilangan temannya lagi. Maka dari itu, Sindy mulai mencoba untuk menghilangkan egonya dan mulai mencoba untuk bermain bersama, mencoba untuk bekerja sama, walau seberapa kalipun dia diejek, dia terus dan terus mencoba bermain lebih baik dari sebelumnya. Karena dia berjanji, agar saat Rama datang kembali. Jika saat dia bertemu lagi dengannya, dia akan menjadi seorang teman yang lebih baik dan partner tim yang lebih baik.
***
Masa kini
Setetes air mengalir keluar dari matanya, sebuah air yang terasa hangat yang membasahi pipinya. Entah itu sebuah air mata, atau sebuah tetesan hujan, aku tak tahu. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah memberikannya sebuah sapu tangan untuknya mengelap wajah. Sindy dengan perlahan menerima sapu tangan itu dan mengusap wajahnya yang sedikit basah. Itu adalah sebuah keheningan sesaat yang tak pernah kualami sebelumnya. Tidak, kurasa tak cocok jika disebut sebuah keheningan sesaat. Kurasa, aku hanya terlarut oleh aroma hujan.

“Te-terima kasih.....” Sindy memberikan kembali saputangan itu kepadaku. Aku menyimpannya kembali kedalam saku celanaku lalu berdiri. Aku berjalan mendekati tetesan-tetesan hujan, lalu aku mengangkat tanganku meraih tetesan-tetesan itu. Merasakannya membasahi telapak tanganku dan mengalir diatasnya.
“Dengar, aku mungkin tidak tahu apapun tentangmu ataupun masalahmu. Tetapi, ada satu hal yang kutahu. Kau adalah temanku. Kau adalah Sindy Adhelani, seorang cewek yang sangat mahir bermain game.” Aku berbalik menghampirinya, dan kembali duduk disampingnya. “Kalau tidak salah, dulu aku juga punya teman, sama sepertimu, dia sangat suka bermain game online. Tetapi dia agak payah dalam bermain. Yah, sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya, kuharap dia sehat-sehat saja.”
“Apa kau ingin bertemu dengannya?”
“Tentu saja, aku pasti akan melakukan apapun agar bisa bertemu lagi dengannya. Tetapi aku tak tahu dia tinggal dimana. Aku juga sama sekali tak punya petunjuk dimana dia tinggal saat ini.”
“Begitu....”
“Dibandingkan dengannya, kurasa cara bermainmu sangat berbeda dengannya. Caramu bermain sangatlah hebat, bahkan pemain terhebat yang pernah kutemui.”
“Te-terima kasih.”
Aku tersenyum dan berdiri lalu aku menggaruk rambutku. Saat kusadari, hujan sudah berhenti dan cahaya matahari yang awalnya tertutup oleh awan-awan berwarna kelabu mulai menerangi taman sampai ketempat tergelappun. Udara dingin yang ada mulai pudar dan berganti dengan hangatnya cahaya mentari di sore hari. Langit biru juga mulai menampakkan dirinya bersamaan dengan sinar matahari. Aku  berjalan keluar dari teduhan pohon dan memeriksa cuaca, apakah masih ada hujan atau tidak. Tetapi, syukurlah, hujan benar-benar sudah berhenti “Jadi itulah, pendapaku tentangmu.” Sindy terdiam sesaat, mendengar sebuah kata-kata yang sudah lama tak dia dengar. Membawa sebuah atmosfir penuh dengan kenangan bersamannya.
“Kau.....” Dia berdiri dengan bukunya yang dia bawa, menghampiriku.
Tak lama kemudian, smartphoneku yang ada disaku celanaku mulai bergetar dan berdering. Mengeluarkan sebuah suara yang kencang. Aku merogoh sakuku untuk mengambilnya, saat kuperiksa, ternyata itu adalah sebuah telephone dari Zaki. Aku mengangkat telephone itu dan mendekatkannya ketelinga kananku “(Zaki? Tumben sekali....)”
“Halo, Dimo? Apa kau sedang bersama Sindy?”
“Ya, memangnya ada apa?”
“Kau dan Sindy cepatlah ke Bum Corp.! Aku dan Leila sudah duluan sampai.”
“Memangnya ada apa?”
“Ini penting! Ada hubungannya dengan insiden di class meeting kemarin!”
Sesampainya disana, aku dan Sindy menemui Zaki dan Leila di ruangan bekas turnamen kemarin. Zaki dan Leila sedang duduk disebuah kursi dipojok ruangan seperti sedang membicarakan sesuatu. Mereka berhenti berbicara tak lama setelah aku dan Sindy menyapa mereka. Dari tangga menuju ke lantai dua, Kak Indra datang menghampiri kami. Dia meminta kami untuk mengikutinya ke lantai dua, tempat dimana Pak Bum dan Mbak Dinda saat ini berada. Aku, Zaki, Leila dan Sindy berjalan menaiki satu-persatu anak tangga. Di ujung terdapat sebuah pintu kayu yang dikunci dengan sebuah sistem keamanan khusus. Kak Indra mengeluarkan sebuah kartu pengenal miliknya dari saku celananya, lalu dia menempelkan bagian depan kartu tersebut kepintu berwarna coklat itu. Dibagian depan kartu terdapat foto, nama, alamat, tanda tangan, dan sidik jari. Kartu tersebut juga terbuat dari sebuah bahan khusus yang membuatnya sulit untuk diduplikat.
Tak lama, pintu kayu yang awalnya terkunci itu mulai terbuka. Menghubungkan ruangan di belakangnya dengan tangga dimana kami berada. Diruangan tersebut terdapat Pak Bum yang duduk di kursi rodanya didepan meja.  Dahinya berkerut dan matanya tertutup seperti sedang memikirkan sesuatu hal yang penting. Sedangkan Dinda yang sedang terduduk membaca sebuah berkas disebuah sofa dipojok ruangan. Menyadari kehadiran kami, dahi Pak Bum berhenti berkerut dan matanya kembali terbuka. Beliau sempat mengelap kacamatanya sebelum mempersilahkan kami berempat untuk duduk. Seusainya kami duduk, Pak Bum menggerakkan kursi rodanya menghampiri kami sementara Kak Indra menutup kembali pintu berkeamanan tingkat tinggi itu. “Seperti yang kalian ketahui, aku meminta kalian untuk hadir disini untuk membicarakan insiden yang terjadi kemarin.”
“Anu, apa bapak tahu, siapa dalang dari penyerangan waktu itu?” Zaki mengangkat tangan kanannya dengan cara yang nampak kaku dan formal.
“Ya, bisa dibilang begitu.” Kak Indra menghampiri kami dengan sebuah tablet. Dia memutar sebuah video rekaman dan menunjukkannya kepada kami. “Ini adalah, sebuah rekaman dari salah satu drone pada insiden kemarin.”
Video tersebut memunculkan salah satu kejadian dimana aku disergap oleh ogre. Namun, ada yang aneh dalam video tersebut. Disaat aku sedang sibuk melawan ogre yang menyergapku, drone menengok kearah lain seakan ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Dibalik pohon, muncullah sesuatu. Suatu makhluk yang wujudnya menyerupai manusia. Berwarna hitam kelam dengan aura berwarna merah gelap. Dia tak memiliki wajah, dan tak berekspresi. Menyadari keberadaannya telah diketahui oleh drone pengawas, makhluk itu menarik sebuah pedang berwarna hitam keluar dari tubuhnya. Dia hampiri drone tersebut, lalu menebasnya, membelahnya menjadi dua bersamaan denganku yang sedang menyerang ogre. Dia memanfaatkan suara tebasanku untuk menyamarkan suara tebasannya. Drone yang terbelah menjadi dua itu terjatuh kererumputan. Walau terbelah menjadi dua dan sistem perekam gambar dari drone tersebut sudah rusak, sistem perekam suara dari drone masihlah aktif dan menyala. Sekarang aku mengerti mengapa saat itu, drone itu menghilang begitu saja. Tak lama setelah aku pergi, drone tersebut kehabisan baterai dan mati.
“Sebenarnya, makhluk apa tadi itu?” Tanya Sindy.
Pak Bum menghela nafas, lalu merapihkan kaca matanya “Kami menyebutnya Shadow Player. Dia adalah makhluk yang tercipta akibat perbenturan antara dimensi dunia nyata dan dimensi dari game Start Point.” Kak Indra menaruh tablet tersebut kembali kemeja “Kami berhasil menangkapnya dan mengurungnya disistem keamanan terkuat dari game, tetapi, meski begitu, sampai sekarang kami masih belum mengetahui cara untuk menghapus makhluk tersebut.” Pak Bum menggerakkan kursi rodanya kembali kemejanya perlahan demi perlahan “Kalian mungkin sudah merasakannya, dia adalah makhluk yang sangat berbahaya. Saat kalian terkena serangan dari makhluk itu, rasa sakit yang didapat dari serangannya akan terasa nyata. Bahkan mungkin... dapat menyebabkan kematian.” Sindy dan Leila tertegun mendengarnya. Entah apa yang sedang mereka pikirkan, mereka hanya menunduk terdiam tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Mbak Dinda yang sudah selesai membaca berkas berdiri dan menaruh berkas itu kembali ke meja “Tapi, kami sudah berhasil mengatasinya, jadi kalian tak perlu khawatir lagi.”
“Apa bapak akan tetap merilis game ini?”
“Ya. Tetapi, akibat dari insiden ini, kurasa kami akan mengundur perilisan game ini sampai server kembali menjadi stabil.”
Dengan begini sudah jelas. Pelaku penyerangan yang terjadi saat class meeting, adalah Shadow Player. Sebuah makhluk misterius berwarna hitam yang sangat berbahaya. Entah sampai kapan dia akan terus berada di sistem kemanan dari game. Namun, akibat ini perilisan dari game Start Point harus diundur selama satu tahun. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, tak ada yang tahu.
~Bersambung~~

No comments:

Post a Comment