Selamat datang di KnK Land. Mari menguasai dunia bersama kami. Disini kalian bisa menemukan ratusan postingan berbahaya dari penulis-penulis kami. Selamat menikmati situs yang hidup ini.




Monday, September 10, 2018

Start Point - Chapter 18 : SALAHKU, SALAHKU, SALAHKU.... INI SEMUA SALAHKU!


Sebelum membaca novel ini, sangat disarankan untuk membaca chapter sebelumnya terlebih dahulu.

Chapter ini adalah akhir dari Arc masa lalu Dimo.
Minggu depan kita akan memasuki final arc :)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Start Point


Sejak hari itu, aku mulai bekerja di toko roti milik Paman Tedi. Pekerjaannya tak bisa di bilang sulit, tapi juga tak bisa di bilang mudah. Tugasnya adalah menjaga toko sementara Paman Tedi pergi mengantar roti pesanan. Awalnya, aku bekerja sebagai kurir pengantar roti. Tapi karena aku mengidap amnesia, aku menjadi agak buta arah meski sudah di beri alamat.
Di hari pertama aku menjadi kurir, aku berangkat mengantar roti dan baru kembali ke toko saat sore harinya. Itu juga dengan pakaianku yang sedikit sobek dan kotor.
Karena itulah, Paman Tedi langsung berinisiatif untuk menjadikanku penjaga toko. Biasanya, aku menjaga toko ini bersama Kak Mutia. Setiap hari dia bekerja di toko ini demi mendapat uang tambahan. Dia jugalah yang biasanya melayani pelanggan sembari mengajariku caranya.
Namun entah mengapa, hari ini dia tidak datang.

Aku menunggunya dan terus menunggunya. Sembari terduduk di sebuah kursi plastik yang menghadap langsung ke kaca jendela besar toko, aku terus menengok kesana-kemari memperhatikan setiap orang yang melintas melewati toko. Sesekali aku melirik kearah jam. “(Sudah hampir jam tiga siang, tapi Kakak belum juga tiba...)”  Pikirku saat melihat jarum jam panjang yang terus-menerus berputar.
Tak lama kemudian, Paman akhirnya tiba. Sementara dia memarkirkan motor skuter miliknya, aku dengan cepatnya langsung berlari ke arahnya untuk menanyakan kapan Kak Mutia akan tiba. “Mutia? Oh dia...” Balas Paman Tedi melepas helmnya lalu sedikit membuang pandangannya. Dia memegang dagunya sembari tertunduk selama beberapa detik seperti sedang berusaha mengingat sesuatu. “....oh ya, aku ingat. Saat ini dia sedang libur.”
“Libur?” Balasku dengan polosnya.
Paman Tedi berjalan melewatiku lalu menghampiri pintu, saat memegang kenop pintu, Paman terhenti. “Saat ini dia sedang sibuk. Karena sebentar lagi dia akan menghadapi ujian sekolah.” Paman menengok kearahku sembari tersenyum dan menyipitkan matanya. Setelah aku mengangguk, Paman Tedi mulai membuka pintu lalu memasuki toko.
Beberapa hari telah berlalu. Meski aku tahu Kak Mutia masih libur karena sedang menghadapi ujian sekolah, aku merasa kesepian. Di toko juga membosankan, seharian ini sangat sepi pembeli, saking sepinya sampai-sampai membuatku mengantuk.
Tiba-tiba telepon berbunyi. Aku yang sebelumnya berada dalam keadaan setengah tertidur, langsung melompat karena terkejut saat mendengar suara telepon yang berdering. “Gawat.” Aku langsung berkeliling untuk mencari Paman Tedi, namun aku tak bisa menemukannya. Akupun teringat bahwa tadi ia baru saja pergi berangkat untuk mengantarkan salah satu pesanan. “Yah, mau bagaimana lagi...” Akupun mengangkat teleponnya. Itu adalah seorang pelanggan yang ingin memesan roti.
Aku terus membalas telepon dari pelanggan itu tanpa pikir panjang. Sampai akhirnya dia selesai memesan.
Tapi, aku telah melakukan kesalahan. Karena suatu alasan yang mendesak, pelanggan ingin pesanan tersebut untuk segera di antar.  Bahkan aku lupa untuk mencatat apa yang pelanggan itu pesan. “(Apa aku harus menelpon Paman Tedi dan memberitahunya?)”Aku kembali menghampiri telepon rumah yang tadi kugunakan dan hendak berniat untuk menelpon Paman Tedi. Tapi, saat kusadari, Paman Tedi lupa untuk membawa telepon genggamnya. Aku melihat telepon tersebut tergeletak di atas meja. ”(Oh ya, Kak Mutia. Aku bisa meminta bantuannya.)” Aku mulai mengangkat gagang telepon dan mendekatkannya ke telingaku. Disaat aku akan berniat untuk menekon tombol telepon untuk memasukkan angka, aku teringat bahwa aku tidak tahu nomor telepon Kak Mutia.
Tanpa adanya orang dewasa di toko maupun bantuan lainnya, hanya aku yang bisa mengantar pesanan ini.
“Ya sudahlah. Tak ada pilihan lain. Lalu pesanannya, kalau tak salah....” Aku mengambil sebuah kantung plastik lalu mulai memasukkan semua pesanan yang sekiranya kuingat.
“Oh ya, roti rasa strawbeli itu yang mana ya...? Ah! Mungkin yang ini.”
***
Keesokan harinya.
“Sudah kubilang bukan, jangan pergi begitu saja! Kalau kau tersesat,’kan bisa bahaya.”
Kak Mutia membuka pintu. Dengan perasaan yang riang dan damai setelah beberapa hari mengikuti ujian sekolah, dia membuka pintunya. Saat itu adalah hari libur sehingga Kak Mutia datang pagi-pagi sekali. Namun, hal pertama yang ia lihat setelah sekian lama adalah diriku yang sedang dimarahi oleh Paman Tedi.  Aku dimarahi karena kemarin aku dengan seenaknya saja mengantar pesanan tanpa memikirkan kondisiku sama sekali. Ditambah lagi, aku salah memberikan pesanan kepada pelanggan. Aku memang salah karena tidak mencatat pesanan dan hanya bergantung pada apa yang kuingat.
Aku memang tak berniat untuk memberi tahu Paman Tedi mengenai hal ini, tapi dia mengetahuinya setelah pelanggan kemarin menelponnya dan meminta ganti rugi karena roti yang kuantar salah.
“Masih pagi tapi sudah marah-marah, pantas saja Paman tak pernah bisa menikah.” Kak Mutia perlahan berjalan menuju ke belakang Paman Tedi lalu mengelus-elus pundaknya seakan Paman Tedilah yang saat itu menjadi korban.
Paman Tedi berbalik lalu membalas “Habisnya, Dimo dengan seenaknya saja pergi tanpa memberi tahuku. Bagaimana jika dia tersesat dan terjadi hal buruk kepadanya?” Dia menggaruk-garuk rambutnya sembari memejamkan kedua matanya dan berdecap kesal.
“Iya, iya, aku mengerti maksud Paman itu baik. Tapi saat ini Dimo baik-baik saja,’kan? Paman tak perlu marah sampai sebegitunya kepada Dimo.” Kak Mutia kembali mengelus pundak Paman Tedi lalu menghampiriku. “Kau juga, kau’kan bisa meminta bantuanku atau menunggu Paman Tedi untuk pulang terlebih dahulu.” Kak Mutia sedikit menunduk lalu menyentil dahiku.
“Maaf, aku memang salah...” Aku membuang muka sembari mengelus-elus dahiku yang masih terasa sakit. “...Lagipula, aku sama sekali tidak tahu di mana rumah Kakak, dan lagi aku tak tahu kapan Paman Tedi akan tiba.”
“Oh iya, maaf, aku lupa.” Kak Mutia tersenyum malu sembari mengelus-elus rambutnya lalu tertawa kecil. Kak Mutia kembali berdiri tegak lalu menengok kearah pintu—menatap seorang anak yang nampaknya sebaya denganku. Kalau diingat-ingat dan dilihat dari penampilannya, dia adalah anak yang sama dengan anak yang kulihat saat pertama kali aku terbangun di tempat ini. Rambutnya berwarna cokelat, matanya yang nampak begitu ceria dan ramah, ekspresinya yang selalu tersenyum tanpa sebab, serta perilakunya yang begitu enerjik. Tak salah lagi, dia adalah orang yang sama. Dan kalau dilihat baik-baik, dia mirip dengan Kak Mutia. “Kenapa kau masih di luar? Kemarilah, Zakarya.” Kak Mutia menghampiri pintu lalu membukanya.
“Oh! Aku sudah boleh masuk?” Anak itu dengan cepatnya langsung berlari memasuki toko. Dengan polosnya, dia menghampiriku lalu mengulurkan tangannya kearahku—berniat untuk berjabat tangan denganku. “Perkenalkan, namaku Zakarya Maulana. Namamu siapa?”
Kesan pertamaku kepadanya adalah seseorang yang berisik dan nampak aneh. Aku bahkan sama sekali tidak mengerti apa isi pikirannya. Namun, meski begitu dia terlihat seperti seseorang yang bisa bergaul dan berteman dengan siapa saja, sangat berbeda denganku.
“Dimo, Dimo Ramadhan...” Meski awalnya agak ragu, aku membalas jabat tangannya. Dengan semangatnya, dia mengayun-ayunkan jabatan tangan itu.
“Kalau begitu, semoga kita bisa berteman, Dimo!”
“Ya, Za... Za... Zaki!”
“Eeeh?? Bukan Zaki, tapi Zakarya.” Zaki berhenti berayun lalu melepas jabatan tangannya. Dengan cepat, dia langsung memegang pundakku dan mengayun-ayunkan tubuhku.
“Zakarya itu ribet dan susah diucapkan, Zaki lebih singkat!” Balasku dengan nada suara yang bergetar karena terayun-ayunkan.
***
Dua minggu kemudian.
Sejak minggu lalu, aku mulai memasuki sekolah dasar sebagai murid baru. Tentu saja, dengan Paman Tedi sebagai waliku. Sekolah benar-benar tempat yang menyenangkan. Aku mendapat banyak teman dan dapat bermain bersama mereka. Yah, walau ada banyak tugas dan PR. Meski awalnya aku sempat takut dan gugup saat baru memasuki sekolah, ternyata sekolah tak semenakutkan yang kukira.
Tapi, hari pertama di sekolah begitu memalukan. Aku begitu gugup dan takut disaat aku diperintahkan oleh Ibu Guru untuk memperkenalkan diri di hadapan seluruh teman sekelas. Maksudku, bagaimana jika mereka tak menyukai caraku berbicara, bagaimana jika mereka menganggap rambutku yang seperti buah apel ini aneh dan bagaimana jika mereka menjauhiku karena ini.
Karena pemikiran itulah, aku dengan gagapnya memperkenalkan diri. Aku bahkan langsung berlari bersembunyi di bawah meja karena rasa malu yang kurasakan. Di saat itu, semuanya tertawa. Zaki bahkan keheranan dengan tingkah lakuku.
Saat itu, kupikir semuanya sudah berakhir, tapi ternyata semuanya sangat ramah dan bersahabat. Sangat berbeda dengan apa yang kupikirkan selama ini.
Sudah seminggu berlalu sejak saat itu. Seperti biasa, aku pulang bersama Zaki. Kami biasa pulang melalui sebuah jalan lurus yang tertuju langsung ke taman. Saat itu aku melihat Zaki yang sedang sibuk memainkan sebuah permainan yang ada di PSP miliknya. Aku yang penasaran dengan apa yang sedang di mainkannya-pun mendekatinya.
“Apa yang sedang kau mainkan?” Tanyaku.
Zaki tanpa melirik sedikitpun dan masih memainkan permainan tersebut menjawab “Super Kario Brothers, ini game yang baru saja di rilis oleh perusahaan Rimtendo.”
“Sepertinya menarik, boleh kupinjam?” Aku mengulurkan tangan.
Zaki menekan tombol pause lalu menegok kearahku sebentar dan menyerahkan PSP miliknya “Baiklah...” Melihatku yang mulai memainkan permainan itu, Zaki tertawa kecil lalu memejamkan matanya “...yah, itu adalah permainan yang sulit karena setiap nyawamu habis, kau harus memulainya dari awal lagi. Jika kau mau, aku bisa memberikanmu beberapa saran.”
Tapi, tiba-tiba Zaki sama sekali tak mendengar suara dari permainan itu. Karena penasaran, diapun membuka matanya dan mendapati diriku yang sudah mempause permainan tersebut dan mengulurkan tangan—menyerahkan PSP itu kembali “Nih, sudah hampir level bos dan sedikit lagi bisa menyelamatkan sang tuan putri.”
Zaki yang tidak percaya dengan perkataanku langsung mengambil kembali PSP miliknya dan memeriksa permainan tersebut “Mana mungkin—ah, benar, sudah hampir level bos.” Zaki yang masih belum percaya dengan pencapaianku, berdiri membatu sementara aku berjalan pergi begitu saja. Dia masih terkena syok karena dirinya yang sudah memainkan permainan itu berhari-hari kalah dengan seorang pemula yang baru saja mulai bermain selama beberapa menit. “Tunggu dulu, bagaimana kau melakukannya?” Zaki berlari menghampiriku lalu menghadangku.
“Bagaimana...? Ya, aku hanya bermain seperti biasa...” Aku menengok keatas sembari memegang daguku. Setelah kupikir-pikir, aku memang bermain seperti biasa dan tak menggunakkan trik sama sekali.
“Mana mungkin seperti itu!? Memangnya kau ini titisan Kirito? Atau jangan-jangan kau adalah seorang dokter sekaligus gamer yang berinisial ‘M’?”
“Siapa itu?” Balasku dengan penuh bingung.
“Pokoknya, yang baru saja kau lakukan itu hebat. Kau mungkin bisa mendapatkan uang dengan bakatmu itu, Dimo. Coba sekali lagi kau mainkan, kali ini coba kau kalahkan bosnya!” Zaki dengan semangatnya menghampiriku dan berniat menyerahkan PSP itu, namun aku sudah tak tertarik lagi dan ingin segera pulang.
Aku langsung menghindar darinya dan berlari menuju ke rumah. Agar lebih cepat sampai, aku memotong jalan dengan melewati taman. Taman adalah tempat yang ramai dan juga menyenangkan, atmosfirnya yang khas dapat memacu perasaan ini untuk terus bermain. Aku berlari melewati jalan conblok dengan suara jangkrik serta burung yang memekakkan telingaku, rumput-rumput yang subuh di sekitarnya serta pohon-pohon tinggi yang teduh. Keteduhannya membuatmu ingin membaringkan tubuhmu di rumput dan merasakan tiupan angin yang sejuk.
Di saat aku sedang berlari, aku melihat seorang perempuan yang sebaya denganku. Rambut hitamnya yang panjang serta tatapan tajamnya yang hanya terfokus kepada buku novel yang sedang di bacanya, namun aku bisa melihat betapa berbinarnya matanya saat membaca setiap baris dari buku tersebut. Dia duduk sendirian di sebuah kursi kayu, kursi tersebut nampak baru, bahkan catnya masihlah cerah. Dibawah sebuah pohon, dengan daun-daun hijaunya yang berguguran. Tanpa memperdulikan orang yang berlalu-lalang, dia terus membaca bukunya.
Dia bahkan nampak tak menyadari diriku yang telah berlari di hadapannya. Sesekali dia merapihkan rambutnya tiap kali tertiup angin. Tiap lembar—tiap baris—tiap huruf yang dia baca tak pernah membuatnya bosan. Entah mengapa aku ingin menemuinya, namun aku tak mempunyai keberanian untuk melakukan itu.
Disaat aku terhenti karenanya, aku teringat dengan Zaki yang saat ini sedang mengejarku. Aku menengok ke belakang dan melihat Zaki yang sudah semakin dekat. Tanpa pikir panjang, akupun mulai kembali melangkahkan kedua kakiku dan berlari.

***
Tak terasa, sudah tiga tahun berlalu sejak aku mengenal Kak Mutia, Paman Tedi dan Zaki. Aku sudah kelas 6 SD dan aku juga sudah melalui UN. Dengan kata lain, dua minggu lagi aku akan lulus dari Sekolah Dasar.
Saat itu waktuku kosong karena toko sedang tutup, Zaki juga hilang entah kemana. Setelah tiga tahun tinggal di sini, rasanya buta arahku sudah mulai hilang. Aku juga sudah biasa pergi sendirian tanpa takut tersesat. Namun, sudah tiga tahun berlalu, tapi ingatanku sama sekali tidaklah pulih.
Disaat aku sedang berjalan sembari menendang sebuah batu kecil yang berbentuk agak bulat, aku tak sengaja melihat sebuah warung internet. Nampaknya warung internet itu masihlah baru.  Aku menengok kesana-kemari, melihat jalan yang sepi tanpa ada satupun pejalan kaki. Disaat aku berpikir untuk pergi, entah mengapa, firasatku mengatakan bahwa aku harus memasuki warung internet tersebut.
“Baiklah...” Perlahan aku mulai kembali berjalan memasuki warung internet tersebut. Meski terbilang baru, namun warung internet ini sudah ramai akan pengunjung. Lagipula warung internet ini cukuplah besar dan luas, ditambah dengan adanya lantai dua. Setiap komputer dipisahkan oleh sebuah papan kayu yang tingginya sedikit lebih tinggi dari monitor komputer, kursi yang ada terbuat dari kayu, dan internetnya juga tak terlalu kencang.  Di saat aku sedang berjalan melewati komputer-komputer yang ada, aku mendengar suara dari sebuah pertengkaran. Entah mengapa, tak ada satupun orang yang tergerak saat mendengar pertengkaran ini. Mereka nampak tenang seakan telah terbiasa dengan pertengkaran itu. Aku menghela napas. Tanpa pikir panjang, akupun berlari mendekati sumber suara dan berniat untuk melerai pertengkaran tersebut.
Tapi, saat aku melihat siapa yang sedang bertengkar, aku membeku. Meski sudah tiga tahun berlalu, aku masih belum melupakannya. Matanya yang berbinar serta rambut hitamnya yang panjang nan lebat. Entah ini adalah roda takdir atau hanya kebetulan semata, namun ada satu hal yang pasti.
Aku ingin menemuinya.
Anak-anak laki yang memarahinya terus-menerus menyalahkan perempuan itu atas kekalahan tim mereka. Entah itu benar atau tidak. Aku memang ingin melerai mereka, namun aku tidak tahu dimana pokok permasalahanya. Namun, jika dilihat atas reaksi anak-anak laki kepada perempuan itu, bisa dilihat bahwa perempuan itulah yang telah melakukan kesalahan.
Tapi, perasaan apa ini? Akau merasa tidak terima. Mereka terus menerus mengejek dan mencemooh perempuan itu tanpa memikirkan perasaannya sama sekali.
Aku sama sekali tidak terima...
Aku langsung berjalan menghampiri mereka dan berdiri di tengah—diantara keduanya. Melihat kehadiranku, anak-anak laki nampak lebih kesal dari sebelumnya. “Hei, dia memang salah, tapi bukankah ini sudah terlalu berlebihan?” tanyaku.
“Memangnya kenapa? Lagipula, dia memang salah.”
Aku menengok kearah perempuan itu sembari memegang dagu. Disaat aku menengok kearahnya, dia malah membuang pandangannya dan sama sekali tak menatapku. Kurasa dia takut kalau dia akan disalahkan lagi. Aku tersenyum lalu kembali berbalik menghadap anak-anak laki “Begitu ya, dia yang salah... Kalau begitu, bagaimana jika aku juga ikut bermain. Kalian bebas menentukan di tim mana aku akan ikut bermain.”
Mereka sempat berkumpul sebentar seakan membicarakan sesuatu, lalu kembali menghadapku. Sembari menyeringai, merekapun setuju untuk mengajakku bermain.
Setelah beberapa saat bermain, aku berhasil mengalahkan mereka dan ternyata benar, kemampuan bermain anak perempuan itu memanglah payah. Aku penasaran, mengapa dia sebegitu ngototnya ingin bermain game.
Sejak saat itu, aku mulai mencium adanya bau persekongkolan di antara mereka. Mereka bahkan sampai menempatkan di sebuah tim yang hanya terdapat aku dan perempuan itu. Mereka tahu bahwa saat kau mencampurkan kue dan garam, rasa yang dihasilkan akan mengerikan. Aku bahkan tahu betul bahwa alasan mereka membuat tim yang berat sebelah seperti ini adalah untuk mencari alasan untuk membully-ku.
Dan pada akhirnya, aku kalah.
”Kenapa kau tak menyalahkanku? Padahal, karena aku kita menjadi kalah....” Anak perempuan itu menghampiriku dengan lesunya. Dia merasa bahwa kekalahan tadi benar-benar kesalahannya.
Aku menggaruk rambutku lalu tersenyum polos nan santai, aku membalas “Kenapa aku harus menyalahkanmu? Lagipula, ini hanyalah sebuah game.” Mendengar jawabanku, perempuan itu hanya terdiam. Matanya berbinar dengan indahnya serta wajahnya yang memerah merona. Dia tertunduk sesaat lalu dengan perlahan mulai membuka mulutnya.
“Kau...”
“Jadi itulah... jawabanku.” Aku mengecek jamku dan menyadari bahwa sudah hampir dua jam aku pergi. Akupun mematikan komputer lalu mulai melangkah pergi dari sana. Sesaat sebelum aku tiba di pintu keluar, perempuan itu menghampiriku dan menangkap tanganku.
Berbeda dari sebelumnya, kali ini perempuan itu menghapus mendung di wajahnya dan tersenyum tulus “Boleh aku tahu, siapa namamu?” Aku sempat terdiam sebentar. Menurut pengalamanku di sekolah, aku selalu diejek dengan nama ‘Dimosaurus’ karena namaku yang dekat sekali dengan ‘Dino’, karena itulah aku memutuskan untuk menggunakkan nama belakangku agar itu tak terulang kembali. Aku sedikit tertawa lalu membalas senyumannya.
“Panggil saja aku Rama.”
***
Beberapa hari sebelum kelulusan, aku terus-menerus kepikiran akan satu hal. Selama ini, Kak Mutia, Paman Tedi dan Zaki selalu memberi kepadaku. Tempat tinggal, pekerjaan, seorang teman dan yang paling penting, figur sebuah keluarga. Aku terus berpikir ‘Apa tak ada satupun hal yang tak bisa kuberikan kepada mereka?’ Aku bahkan terjaga hingga larut malam karena pemikiran ini. Aku menengok menatap sebuah jam dinding, melihat jarum-jarumnya yang bergerak melewati detik, menit maupun jam. Saat aku hendak akan menutup mataku untuk tidur, tiba-tiba aku teringat dengan apa yang Zaki katakan saat dia menyatakan bahwa aku berbakat dalam dalam bermain game.
“(Aku bisa menghasilkan uang dengan menggunakkan bakatku ini, ya....)”
Satu hari sebelum hari kelulusan, akhirnya aku berhasil mendapatkannya. Satu hal yang bisa kuberikan kepada mereka. Perjuanganku selama berhari-hari tak sia-sia. Meski aku hanya menduduki posisi ke-3, tapi hadiah uang yang kudapatkan, cukup banyak. Hari itu, diam-diam aku menyelipkan amplop tersebut ke bawah kasurku.
“Dimo?”
Aku menengok ke belakang—kearah Zaki yang dengan santainya sedang memakan permen karet. Dia terus mengunyah permen karet tersebut lalu sesekali membuat balon hingga besar dan pecah. “Amplop apa itu? Jangan-jangan...”
Gawat, aku ketahuan “Ini—”
“Jangan-jangan majalah JUMP edisi terbaru ya?” Potong Zaki sembari menghampiri kasurku lalu mengambil amplopnya.
“Mana mungkin.” Celetukku
“Begitu ya, jadi kau mengikuti sebuah turnamen game dan mendapat juara ke-3.” Setelah penjelasan panjang, Zaki menjatuhkan tubuhnya ke kasur lalu berbaring dengan lemasnya. Aku yang terduduk di sebelahnya, hanya bisa terdiam seribu bahasa. Menatap bayangan gelap dari diriku yang tercipta dari cahaya sore hari yang terpancar melalui jendela. Aku tak menyangka, aku yang awalnya ingin menyembunyikan ini malah ketahuan oleh seseorang yang suka berbicara.
“Jadi, bagaimana menurutmu...?” Sembari mencengkram amplop berisi uang yang tadi di keluarkan Zaki dari kasurku, aku mendongkak keatas, menatap plafon kosong yang dihiasi dengan sebuah sawang yang lebar.
“Menurutku? Menurutku sih, kau tak perlu memaksakan dirimu.” Dengan spontan aku langsung menengok kearahnya. Aku sama sekali tak menduga bahwa jawaban seperti itu akan keluar dari seseorang seperti Zaki. Kukira dia akan mengeluarkan sebuah candaan receh seperti biasanya. Zaki kembali bangun dan berdiri. Dia berjalan menghampiri pintu lalu menggenggam kenop pintu. “Lagipula, sejak awal kami sama sekali tak menginginkan imbalan sepeserpun darimu,’kok.” Dia menengok kearahku sembari tersenyum lebar. “Oh ya, satu lagi. Kau tak perlu khawatir, aku takkan sedikitpun memberitahu mereka mengenai hal ini.” Zaki membuka pintu lalu keluar dari dalam kamarku.
Aku tertawa. Entah mengapa aku malah tertawa. Dari semua candaan receh yang keluar darinya, aku sama sekali tak menduga bahwa hal inilah yang malah membuatku tertawa “Dasar bodoh, kenapa juga aku meminta pendapat dari stand up komedian gadungan sepertinya.” Aku terhenti tertawa. Meski hanya sebentar, tawa barusan benar-benar telah membawa pergi semua beban yang ada di pundakku. Aku baringkan tubuhku di kasur lalu menutup mataku.
***
Keesokan harinya.
Sekolah begitu ramai hari ini. Meski masih pagi, namun sekolah sudah ramai dan penuh dengan adanya murid dan wali murid, pedagang, serta guru. Ada banyak pedagang berjualan di halaman sekolah. Mulai dari pedagang kaki lima hingga pedagang keliling. Atmosfir yang begitu penuh suka cita. Langit biru yang cerah serta terhampar luas dengan awan tipis. Memang hari ini terdapat perkiraan cuaca di setiap stasiun tv bahwa akan terjadi hujan lebat, tapi kurasa aku tak perlu mengkhawatirkan itu.
Bukan hanya pembagian rapot saja yang diadakan hari ini. Tapi juga ada acara tari tradisional dan juga pentas drama yang dimana pesertanya adalah murid kelas 5 hingga kelas 3. Acara dimulai dengan adanya pidato dari Ibu Kepala Sekolah lalu dilanjutkan dengan adanya tari tradisional. Tarian yang dipentaskan begitu indah dan juga menakjubkan, perpaduan antara gerakan dan juga irama musik menciptakan sebuah harmoni yang indah. Pentas dramanya juga bagus, meski sempat ada beberapa kali kesalahan kecil.
Sementara pentas berlangsung, murid kelas 6 danwali murid dipersilahkan untuk menonton di kursi-kursi yang sudah di sediakan. Kursi-kursi yang terletak tepat di hadapan panggung tersebut sangatlah teduh karena terdapat tenda besar yang menauinginya.
Karena Zaki sedang melakukan wisata kuliner dengan menggunakkan uang yang sudah dia kumpulkan setiap hari hanya demi hari ini, saat ini yang sedang duduk hanyalah aku, Paman Tedi dan Kak Mutia. Kami duduk di kursi paling depan agar dapat melihat pertunjukkan dengan lebih jelas.
Di tengah pertunjukkan, Kak Mutia meminta untuk berbagi air minum milikku yang ada di tasku karena air minum miliknya telah habis. Sesaat setelah aku membuka rel sleting tas dan hendak berniat untuk mengambil botol air minum yang ada di dalam tasku, aku menyadari bahwa aku telah lupa membawa amplop itu. Aku yang mulai panik, langsung mendekatkan tas tersebut ke kepalaku agar aku dapat melihat isi tas tersebut dengan lebih jelas. Sayangnya, di dalam tas hanya terdapat dua buah buku serta sebuah botol air mineral.
Keringat mulai membawahi dahiku, mataku terbelalak karena masih belum bisa percaya. “Dimo, ada apa?” Kak Mutia mulai menyadari bahwa ada yang aneh dari tingkah lakuku.
“Ti-tidak, bukan apa-apa.” Aku tersenyum palsu lalu mengeluarkan botol air mineral dari dalam tasku. “A-Aku permisi ke toilet dulu ya, Kak.” Sembari berbicara, aku melirik kearah toilet. Tentu saja, aku tak benar-benar berniat untuk ke toilet, tujuanku yang utama adalah mencari celah untuk bisa kembali ke rumah tanpa dicurigai sedikitpun.
Saat sudah dekat di toilet, aku langsung berbelok dan pergi menuju kembali ke rumah. Untungnya, lokasi toilet bertolak belakang dengan lokasi di mana kami duduk sebelumnya sehingga memudahkanku pergi.
Aku berlari. Aku berlari secepat mungkin agar aku bisa sesegera mungkin tiba di rumah. Aku menengok keatas, menatap langit yang awalnya cerah mulai berubah menjadi gelap. Awan hitam yang menutupi langit perlahan demi perlahan semakin banyak. Aku teringat dengan ramalan cuaca hari ini, tak kusangka ramalan cuaca itu benar-benar terjadi.
 “Dimo? Kenapa dia pergi? Jangan-jangan....” Zaki yang baru saja selesai membeli es serut, melihatku yang dengan cepatnya berlari meninggalkan sekolah. Dia hanya melihatku pergi tanpa melakukan apa-apa karena dia tahu betul dengan apa yang sedang aku lakukan.
Hujanpun turun. Meski perlahan, setiap tetesan yang turun dari langit mulai membasahi jalan. Jalanan yang mulai becek dan berlumpur, air hujan yang terasa dingin membasahi pakaianku dan juga rambut serta tubuhku. Meski harus basah kuyup sekalipun, aku akan terus berlari tanpa berhenti selanngkahpun.
Cuaca cerah di pagi hari telah berubah menjadi gelap. Aroma hujan yang menyengat dan lembab. Juga air yang terus terserap di sepatuku. Aku terus berlari dan terus berlari, sampai aku tiba.
“Kalau tidak salah...” Aku mengangkat salah satu pot yang terdapat di depan toko. Seingatku, Paman Tedi pernah bilang bahwa dia selalu menyiapkan sebuah kunci cadangan yang dia taruh di bawah pot tanaman. Kunci tersebut disiapkan agar aku bisa masuk ke dalam rumah saat Paman Tedi tidak ada di rumah. “Ini dia.” Aku mengambil kunci yang tergeletak di lantai, lalu memasukkan kunci tersebut ke kenop pintu. Aku membuka kunci lalu membuka pintu depan. Setelah menaruh kembali kunci tersebut dengan posisi yang sama seperti sebelumnya lalu menutupnya dengan pot.
Aku langsung memasuki rumah dan bergegas menuju ke kamarku. Rasanya rumah begitu sepi tanpa siapapun. Begitu hening dan gelap, ditambah lagi saat ini sedang hujan lebat.
Setelah berhasil mengambil amplop berisi uang, aku mengeringkan rambutku dengan handuk lalu mengambil sebuah payung. Aku selipkan amplop tersebut di balik kemejaku dan keluar rumah. Kutaruh payung tersebut lalu kembali mengambil kunci. Setelah menutup pintu dan menguncinya kembali serta menaruh kunci seperti semula, aku membuka payung.
Meski aku sudah membawa dan menggunakkan payung, aku tak bisa berjalan santai begitu saja. Jika aku tak bergegas, maka mereka akan curiga karena aku sudah cukup lama pergi.
***
“Rasanya, Dimo lama sekali ya...” Paman Tedi berdiri lalu menengok kearah toilet.
Akibat terjadinya hujan, dengan terpaksa pertunjukkan tari dan juga pentas drama di tunda hingga hujan reda atau berhenti. “Ada apa?” Zaki yang mulutnya masih penuh akibat memakan batagor yang baru saja dia beli, menghampiri Pama Tedi dan Kak Mutia.
“Dimo tadi ke toilet dan sampai sekarang belum kembali.” Kakak Mutia ikut berdiri. Dia begitu khawatir dengan kondisiku. Ekspresi di wajahnya begitu menunjukkan itu. Alisnya yang mengkerut, bibirnya yang sedikit ia gigit dan gerak-geriknya yang nampak tergesa-gesa.
Dia langsung bergegas berniat untuk menerobos hujan dan berjalan menuju ke toilet. Namun, langkahnya terhenti karena Zaki yang menangkap tangannya “Tunggu dulu, sekarang ini masihlah hujan. Setidaknya tunggulah hingga reda.” Zaki yang telah menghabiskan batagor, langsung membuang sampah plastik bekas batagor ke tempat sampah lalu melepaskan genggamannya dari Kak Mutia.
“Tapi, Dimo...” Kak Mutia kembali menengok kearah toilet dimana dia pikir aku berada.
“Tenang saja, Dimo pasti baik-baik saja. Mungkin saat ini dia sedang berteduh, jadi jangan khawatir.” Zaki tersenyum. Meski senyumnya sedikit dia paksakan, namun dia begitu khawatir dengan apa yang akan terjadi jika kakaknya nekat menerobos hujan yang deras ini.
***
Beberapa menit telah berlalu. Dan hujannya semakin deras. Udara dingin juga sudah mulai mempengaruhiku. Aku mulai bersin-bersin dan tubuhku mulai terasa hangat. Bahkan rasanya berat saat melangkah menggunakkan payung saat hujan deras seperti ini.
Aku berhenti—berteduh di sebuah halte bus yang letaknya tepat berada di hadapan sekolah. Sekolah dan Halte bus yang sederhana ini di pisahkan oleh sebuah jalan. Jalan tersebut tak begitu sempit dan juga tak begitu luas. Jalan ini juga biasa di lewati kendaraan beroda 4 ataupun beroda 2. Sayangnya, tak ada jembatan penyebrangan antara halte bus ini dengan sekolah.
Sedikit lagi... sampai....
Sudah beberapa menit berlalu sejak aku singgah di sini, namun sama sekali tak ada tanda-tanda kalau hujannya akan mereda. Aku sudah pergi terlalu lama, semoga saja saat ini mereka belum mulai mencariku. Aku menelan ludahku “Lakukan, atau tidak sama sekali.” Kutatap jalan becek yang licin dan juga sedikit berlumpur yang ada di depanku. Aku membuka payungku dan tanpa pikir panjang, aku mulai berlari menyebrang.
Itu sebuah kesalahan.
Tanpa memperhatikan jalan atau area di sekitarnya, aku berlari.
Seorang bocah bodoh dan juga naif itu berlari seorang diri—menyebrang melewati jalan tersebut tanpa memastikan adanya kendaraan yang akan melintas. Bocah itu tidak sadar, kalau saat itu roda takdir telah terhenti.
Tiba-tiba, terdengar suara klakson mobil dari arah kananku. Aku begitu terkejut setelah mendengar suara klakson yang kencang dan juga bising. Akibatnya, bocah itu terpeleset dan terjatuh tepat di hadapan mobil tersebut. Payungnya terlepas dari tangannya yang basah karena air hujan, amplop berisi uang yang aku selipkan sebelumnya ikut terjatuh bersamaan dengan diriku yang terlepeleset.
Saat itu, bisa kurasakan harapan yang sirna dan keputusasaan yang tiba menjemputku. Aku seperti ikan yang terkail oleh pancing demi mendapat cacing untuk di makan. Kututup kedua mataku sembari menangkap—melindungi amplop yang sudah basah dan juga berlumpur itu.
Saat itu pikiranku benar-benar kosong. Bukan penyesalan yang kuingat, tapi hari-hari yang sudah kuhabiskan bersama Paman Tedi, Kak Mutia dan Zaki.
Aku bersyukur karena bertemu dengan mereka.
Dimo!!
Aku membuka kembali mataku. Aliran air hujan yang menggenang di jalan, ada cairan berwarna merah yang perlahan mulai bercampur. Cairan berwarna merah yang membasahi telapak tanganku itu terus mengalir keluar. Tiada henti....
Di hadapanku terdapat kacamatanya yang rusak dan pecah.
Aku, tidak, bukan ini yang kuinginkan. Ini pasti bohong, mataku pasti berbohong. Benar, semua ini pasti hanyalah mimpi. Jika aku mencubit pipiku, maka aku akan terbangun dari mimpi buruk ini.
Lho? Kenapa aku tidak terbangun? Ini....
Air mata mengalir keluar dari mataku. Dadaku—hatiku terasa sesak. Rasanya begitu hancur hingga tak bisa kuungkapkan dalam kata-kata. Aku ingin berteriak sekencang yang kubisa. Namun entah mengapa, aku tak bisa.
Aku menatap cairan berwarna merah yang mengalir dari jalan. Perlahan, aku merangkak menghampiri tubuhnya yang terkapar lemas tak sadarkan diri. Cairan berwarna merah itu terus mengalir keluar dari dahinya. Aku terduduk lemas di sebelahnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Air hujan yang terus membasahi wajahku, bercampur dengan air mataku. Dengan tatapan yang kosong, aku menatapnya.
Saat itu aku tersadar, bahwa ia telah mendorongku dan menyelamatkanku. Akibatnya aku dan amplop inipun selamat.
Tapi mengapa...
Mengapa aku sama sekali tidak merasa senang....
“Kak Mutia!!!”
Tidak, aku tak ingin ini terjadi....
Ini salahku.... Ini murni kesalahanku...
Andai saja... andai saja aku tidak bermain game dan mendapatkan uang itu, maka ini takkan terjadi...
Ini semua salahku....
Ini karena aku bermain....
Sehingga ini bisa terjadi....
 

 ~BERSAMBUNG~


No comments:

Post a Comment