Selamat datang di KnK Land. Mari menguasai dunia bersama kami. Disini kalian bisa menemukan ratusan postingan berbahaya dari penulis-penulis kami. Selamat menikmati situs yang hidup ini.




Wednesday, September 26, 2018

Start Point - Chapter 20 : Sebuah Pesan

Sebelum membaca novel ini, sangat disarankan untuk membaca chapter sebelumnya terlebih dahulu.

Waduh sori, telat update lagi wkwkwkwkwk.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Start Point


 

4 hari telah berlalu sejak saat itu. Aku terus mengurung diri di rumahku dan tak pernah keluar sekalipun. Tanpa tahu apa yang harus kulakukan.

Televisi terus menyala hampir 24 jam. Meski sudah 4 hari berlalu, tapi berita yang ditampilkan masihlah sama. Akibat dari pengumuman dari Shadow Player 5 hari yang lalu, terjadi demo hampir di seluruh kota. Bahkan di ibukotapun, terjadi demo yang menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah ini. Kericuhan hampir terjadi di mana-mana. Jalanan macet karena banyaknya pengungsi yang berusaha kabur dari kota tersebut. Bahkan, stasiun kereta dan transportasi lainnya penuh karena pengungsi.
Tentu saja, pemerintah takkan tinggal diam. 3 hari yang lalu, pemerintah telah mengirim pasukan khusus dari ERASER yang bertugas untuk mencari tempat persembunyian Shadow Player dan organisasinya. Namun, keputusan itu tak membuat kericuhan maupun demo mereda. Tuntutan dari masyarakan semakin meningkat tiap harinya.
Kota ini, sudah berakhir.

Aku mematikan televisi lalu berjalan menuju ke dapur. Cahaya kekuningan terpancar dengan cerah menembus kaca jendela. Nampak silau dan juga indah, namun dilain sisi, begitu menyedihkan karena cahaya ini menunjukkan bahwa waktu terus berjalan dan hari dimana Shadow Player berniat untuk membunuh kami semua, semakin mendekat.
Perlahan, aku berjalan menghampiri kulkas lalu membukanya. Udara dingin yang ada di dalam langsung menyebar keluar. Berpadu dengan cahaya kekuningan yang hangat. Aku menghela napas panjang. Aku membuka kulkas tersebut tanpa adanya alasan yang jelas. Kutatap kulkas yang kosong tersebut. Meski aku tahu tidak ada apa-apa di dalam kulkas tersebut.
Kugaruk rambutku sembari menghela napas. Aku kembali menutup kulkas. “Baiklah....” Aku mengambil sebuah cangkir lalu menuangkan air panas kedalamnya. Kuseduh teh celup kedalam air panas tersebut lalu memasukkan gula kedalamnya. Satu sendok, dua sendok, secukup mungkin. Setelah selesai, aku mengaduk teh tersebut dengan sendok yang kugunakkan untuk mengambil gula tadi. Setelah selesai, mengambil cangkir tersebut lalu pergi.
Aku perlahan melangkahkan kakiku menaiki tangga menuju ke lantai dua—menuju teras dimana aku bisa bersantai sembari meminum teh ini. Kuhampiri pagar teras lalu bersandar sembari meminum teh. Rasanya, komplek perumahan ini menjadi begitu sunyi dan sepi. Yah, wajar saja. Mengingat bahwa nyawa mereka sedang terancam.
Langit berwarna oranye yang indah. Bercampur dengan sedikit warna ungu dan juga bulan purnama yang perlahan semakin nampak. Saat aku hendak akan menyeruput teh tersebut, tiba-tiba aku mendengar suara seorang anak kecil.
“Apa kau, suka novel...?”
Suara tersebut langsung membuatku terdongkak. Akibatnya, teh yang tadi sedang kuminum langsung terlepas dari genggamanku dan jatuh—tumpah di lantai.
Aku menengok kesana kemari, mencari sumber suara tersebut. Tapi saat itu aku tahu betul, kalau aku benar-benar sendirian. Beberapa potongan kata tadi membuatku teringat dengan apa yang Anita tanyakan di malam itu. Malam sesaat setelah kami pulang dari Happy Land.
Disaat aku hendak akan mengambil kain pel dari lantai bawah, aku melintasi sebuah kamar yang ada di lantai dua. Aku terhenti. Aku terhenti setelah menyadari sebuah kejanggalan. Seingatku, terakhir kali aku ke lantai dua, pintu dari kamar ini tidaklah terbuka. Namun saat ini, pintu tersebut terbuka dengan lebar.
“Kalau tidak salah...” Ya, Anita pernah bilang kalau ia pernah tinggal di rumah ini selama beberapa minggu karena rumahnya hancur akibat insiden dentuman besar. Dia tinggal di sini, di kamar yang berada tepat di hadapanku. Tapi, bagaimana mungkin pintu ini bisa terbuka. Padahal aku pernah memastikan kalau pintu ini terkunci rapat.
“Jangan-jangan... Anita...” Aku menelan air liurku lalu kumasuki kamar tersebut. Kamar tersebut masih nampak rapih dan bersih, nampak tidak tersentuh. Sebuah kamar kosong yang hanya terdapat kasur dan lemari kecil di sebelahnya. Diatas lemari kecil tersebut terdapat sebuah smartphone dan sebuah amplop. Aku mengambil smartphone tersebut. Sebuah smartphone yang masih nampak baru dan juga bagus. Namun, smartphone tersebut dalam kondisi mati.
Kucoba menekan tombol power dari smartphone tersebut untuk menyalakannya. Setelah kunyalakan, aku tak menduga kalau smartphone itu sama sekali tidaklah terkunci menggunakkan kunci model pola atau semacamnya. Hanya sebuah kunci sederhana yang bisa dibuka hanya dengan mengusap layar smartphone tersebut. Kuusap layar keatas—membuka kunci layar tersebut yang langsung mengarah ke menu utama. Menu yang ada di smartphone tersebut sangatlah kosong tanpa ada aplikasi lain sama sekali. Yang ada hanya menu bawaan dari smartphone tersebut. Ditambah lagi, tak ada media seperti video atau berkas lainnya yang penting. Aku terus memeriksa smartphone tersebut sampai akhirnya aku membuka menu galeri.
Didalam menu tersebut, terdapat sebuah foto—sebuah foto yang begitu kukenal. Foto yang belum lama ini kami ambil bersama-sama.
Itu adalah foto, sesaat sebelum kami meninggalkan Happyland. Sebuah foto yang begitu hidup dan penuh keceriaan serta kebersamaan. Aku yang menertawakan Zaki yang hendak terpeleset kulit pisang sesaat setelah dia membeli sebuah es krim, Sindy yang berpose dengan mengedipkan salah satu matanya di sebelahku, Leila yang tertawa penuh riang saat mengambil foto dan Anita, yang dengan malunya hanya berdiri di belakang dengan wajah yang merona karena malu.
Saat itu, kami mengambil foto tersebut menggunakkan smartphone milik Anita.
Kalau begitu, tidak salah lagi... Amplop dan smartphone ini milik Anita....
Tapi, kenapa smartphone ini bisa ada di sini?
Dengan bingung dan penuh rasa penasaran, aku menaruh smartphone tersebut kembali ke atas lemari lalu menengok ke amplop yang tepat ada di sebelahnya.
Sebuah amplop yang masih nampak baru dan tertata rapih. Setelah kulihat baik-baik, terdapat sebuah tulisan. Kuhampiri amplop tersebut dan mengambilnya.
Kepada Dimo.
Tulisan yang ditulis menggunakkan pena hitam tersebut sudah pasti dari Anita. Aku tak bisa memikirkan kemungkinan lain selain dirinya. “Kapan dia menulis surat ini? Apa jangan-jangan... sesaat sebelum pertemuan di taman 5 hari yang lalu? Tapi mengapa?“ Dengan semua pertanyaan yang ada, aku membuka amplop itu. Kuambil surat-surat yang ada didalamnya. Sembari mengeluarkan 4 lembar surat tersebut, aku duduk di lantai. Entah mengapa, tubuh dan pikiranku enggan untuk duduk di atas kasur dimana Anita tidur sebelumnya.
Apa ini? Apa ini rasa bersalahku?
Perlahan, aku mulai menmbacanya, huruf demi huruf, kata demi kata, baris demi baris. Kata-kata yang tersusun rapih dengan tulisan tangan yang indah.
Kepada Dimo, dari Anita.
Hai Dimo, ini aku, Anita. Ini pertama kalinya aku menulis sebuah surat untuk seseorang apalagi orang yang dekat denganku. Aku merasa begitu deg-degan saat aku menulis surat ini, bagaimana jika kau tidak menyukai tulisan tanganku, atau bagaimana jika kata-kataku kurang sopan. Pokoknya, saat ini perasaanku begitu bercampur aduk. Entah harus senang atau harus khawatir, aku tidak tahu.
Ehem, baiklah, maaf atas pesan di atas. Aku akan mulai dari bawah ini.
Untuk yang pertama, maaf. Maaf karena aku sudah berbohong kepadamu.
Kedua, jika kau membaca tulisan ini, mungkin aku sudah di tangkap oleh mereka.
Tunggu, apa? Apa maksudnya dengan itu? Bagaimana dia tahu kalau dia akan di tangkap?
Terkejut? Hehe, maaf karena aku tidak memberitahumu sebelumnya. Aku begitu meminta maaf. Rasanya begitu sakit untuk berbohong kepada seseorang. Apalagi, orang tersebut adalah orang yang kusayangi dan orang yang paling penting bagiku.
Benar, aku berbohong kepadamu.
Aku sudah tahu sejak dulu mengenai mata ini. Dan kenyataan kalau waktuku sudah tidak lama lagi. Aku mendapatkan mata ini saat insiden dentuman besar. Saat itu aku baru saja pulang dari les. Saat itu aku, mengalami sebuah kecelakaan.
Kecelakaan? Apa yang sebenarnya dia bicarakan? Apa ini....
Jalanan begitu sepi dan tak ada orang sama sekali. Saat itu mobil yang membawaku menabrak seorang gadis berwarna putih. Tubuhnya berwarna putih dan bercahaya. Dari ujung rambut hingga ujung kukunya. Dia juga mengenakan gaun berwarna putih. Gadis itu mengaku dia terpental akibat berusaha menghentikan sebuah makhluk berwarna hitam bernama Shadow Player yang menjadi penyebab semua ini.
Aku menyebutnya White. White adalah sebuah sistem keamanan dari permainan Start Point yang tercipta saat Shadow Player menyatukan dimensi. Menurutnya, Shadow Player adalah sebuah virus komputer baru yang hanya bisa tercipta di dalam permainan Start Point. White masihlah terlalu lemah untuk bisa melenyapkan Shadow Player. Dia masih membutuhkan waktu untuk bisa semakin kuat untuk bisa melenyapkan virus tersebut. Namun, dengan kondisinya yang sedang buruk seperti itu, dia akan lenyap dalam waktu beberapa menit.
Saat itulah, dia bertemu dengan seorang gadis. Gadis yang sedang terlentang lemas tersebut terluka dan tak sadarkan diri akibat kecelakaan yang baru dialaminya. Ya, gadis itu adalah aku.
Saat itu aku benar-benar ada dalam kondisi yang kritis. Aku kehilangan banyak darah akibat luka yang kualami. Bahkan mungkin aku takkan selamat jika saat itu aku tidak bertemu dengan White. Melihat kondisiku yang parah, White sangat ingin menyelamatkanku. Namun, ia juga tak memiliki energi yang cukup untuk bisa menyelamatkanku.
Karena itulah, saat itu dia memutuskan untuk melakukan satu hal. Satu hal yang bisa menyelamatkan kami berdua.
Yaitu, dengan bersatu.
Bersatu? Tunggu dulu, bagaimana mungkin Anita—tidak, ini semakin membuatku bingung. Sebaiknya aku kembali membaca suratnya.
Sejak saat itu, White bersemayam di tubuhku. Sejak itu kami adalah dua orang di satu tubuh. Kami berbagi ingatan, emosi, kepribadian dan perasaan. Bisa dibilang, sekarang kami adalah dua orang yang sama. Sejak saat itu pula, aku mendapatkan mata ini.
Banyak dari kalian yang salah paham mengenai mata ini. Mata ini memang mirip dengan Cursed Eye, tapi sebenarnya ini adalah sesuatu yang berbeda. Mata dan kekuatan ini milik White. Aku juga tahu mengenai waktu hidupku yang tinggal sedikit. White-lah yang memberitahuku. White juga memberitahuku, meski ia sangat ingin menyelamatkanku, dia tak bisa melakukan apa-apa. Karena makhluk sepertinya tak bisa selamanya bersemayam di tubuh manusia.
Kami bekerja sama dalam mencari cara untuk melenyapkan Shadow Player. Bahkan kami sampai bergabung kedalam organisasi mereka hanya untuk memata-matai mereka dan mencari kelemahan Shadow Player. Aku terus menyamar dan terus menyamar hingga aku mendapatkan posisi sebagai seorang petinggi. Mereka bahkan memanggilku Ratu Putih.
Saat itulah aku bertemu dengannya. Ya, seperti yang kau tahu, Dimo Radhika. Saat pertama kali melihatnya dan kedua orang tuanya yang dtawan, aku benar-benar terkejut. Bahkan aku sampai salah kira kalau kau dan kedua orang tuamu masih hidup.
Saat itu, tanpa pikir panjang, aku langsung berlari kearahnya dan hendak memeluknya penuh syukur. Namun, waktu itu aku sama sekali tak tahu kalau itu bukanlah kau.
Meski penampilan kalian sama, namun kalian benar-benar dua orang yang berbeda. Dibandingkan dirimu, Radhika lebih sering diam untuk berpikir, lebih tenang dan lebih berjiwa kepemimpinan. Namun, ada satu hal yang tak Radhika miliki darimu, yaitu teman yang selalu bersamamu.
Setelah sekian lama, aku pertama kali bertemu denganmu saat kau dan yang lainnya memata-matai gedung dimana Shadow Player menawan anggota ERASER dan juga kedua orang tuanya Radhika. Saat itu aku benar-benar bersyukur karena bisa bertemu denganmu lagi. Aku benar-benar bersyukur. Untuk sekali lagi, bisa bertemu dengan dirimu sebelum waktuku habis.
Namun, tiap hari aku semakin sadar, kalau waktuku dan White semakin menyempit. Shadow Player juga semakin kuat tiap harinya. Karena itulah, aku menulis surat ini.
Sebuah surat perpisahan.
Aku sudah tahu kalau hari ini, mereka akan menangkapku. Aku akan membiarkan mereka menangkapku, agar aku bisa mengakhiri ini secepat mungkin.
Sebagai Anti Virus, sudah kewajiban bagiku untuk melenyapkan virus sepertinya. Makhluk itu hanya bisa menciptakan masalah dan juga petaka. Jika dia terus dibiarkan, entah apa yang akan dia lakukan terhadap dunia ini. Jika dia sudah tiada, maka semua ini akan berakhir.
Karena itulah, aku akan menghancirkannya, bersama dengan diriku.
Aku berharap, agar kau dan yang lainnya segera mengungsi ke tempat yang aman.
Untuk yang terakhir, kurasa.... Aku...
Baiklah Anita, kau pasti bisa melakukan ini.
Dimo, menurutmu aku ini seperti apa? Apakah aku sudah menjadi teman yang baik bagimu? Apakah aku sudah menjadi orang yang dewasa, atau aku masihlah manja seperti dulu? Bagaimana menurutmu? Apa aku bisa—meski hanya selangkah—memasuki hatimu?
Ahaha, jika tak ingin, kau tak perlu menjawabnya kok. Asalkan kau sudah membaca surat ini saja, aku sudah bahagia.
Saat aku bertemu denganmu, rasanya begitu bercampur aduk. Entah harus bagaimana aku menyebutnya. Jantungku berdegup dengan kencang, rasanya begitu bahagia. Aku tak tahu apa namanya ini. Tapi banyak orang yang mengatakan kalau perasaan ini, yang dinamakan dengan... jatuh cinta.
Untuk yang terakhir, aku akan mengatakannya kepadamu.
Aku, jatuh cinta kepadamu.
 
Aku hanya terdiam lemas dikamarnya. Melamun dengan perasaan yang campur aduk setelah membaca pesan ini. Dadaku terasa sangat panas. Rasanya seperti ingin meledak. Entah reaksi seperti apa yang seharusnya kukeluarkan. Perasaan ini, apa namanya....
Setelah semua yang sebelumnya telah kukatakan. Semua yang sudah kulakukan. Aku yang sudah mengabaikan dirinya. Keputusanku yang saat itu kubuat.
“Apa ini....”
Air mata menetes membasahi lembaran-lembaran kertas ini. Membuat tulisan tangan dari tinta pena itu memudar. Kucengkram surat yang sedikit basah tersebut lalu mendekatkan wajahku kepada surat itu. Kupejamkan mataku, berharap agar air yang keluar ini terhenti. Namun, perasaan ini nyata. Perasaan bersalah ini, nyata. Dan aku sama sekali tak bisa membantahnya.
“Apa yang sudah kulakukan...”
Waktu didunia ini bagaikan terhenti. Rasanya, hanya aku sendirian. Kesepian, tanpa punya siapa-siapa. Aku membuang semuanya seakan hanya akulah yang berhak untuk melakukan itu.
Tapi pada akhirnya, siapa aku?
Jawabannya hanyalah satu, aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanyalah sampah yang bisa kau temukan dimanapun dan kapanpun. Aku bukanlah siapa-siapa tanpa mereka.
Zaki yang selalu ada sebagai teman.
Leila yang selalu ceria dan malu-malu saat bersamaku.
Sindy yang pendiam namun selalu peduli kepada semua orang.
Radhika, yang merupakan cerminan dari sosok diriku yang naif ini.
Kak Indra, yang sudah sering menyelamatkanku dan membelaku meski aku sudah dinyatakan sebagai tersangka.
Mbak Dinda yang baik dan juga anggun terhadap semuanya.
Pak Bum yang selalu berpikir kritis dan mencoba mencari keputusan yang terbaik bagi semua orang.
Mbak Anna, yang awalnya nampak menyeramkan bagiku, namun sebenarnya dia adalah seorang gadis yang baik dan sangat tangguh.
Paman Tedi yang sudah merawatku dan menganggapku seperti putranya sendiri.
Kak Mutia yang sudah mengajariku banyak hal dan figur seorang kakak bagiku.
Dan Anita, yang merupakan temanku, dan orang yang selalu peduli akan keadaanku. Juga, seorang gadis yang menyukaiku.
Sedangkan aku, Dimo Ramadhan, seseorang yang takkan bisa melakukan apa-apa tanpa adanya kehadiran mereka dikehidupanku.


 ~BERSAMBUNG~

No comments:

Post a Comment