Selamat datang di KnK Land. Mari menguasai dunia bersama kami. Disini kalian bisa menemukan ratusan postingan berbahaya dari penulis-penulis kami. Selamat menikmati situs yang hidup ini.




Tuesday, September 18, 2018

Start Point - Chapter 19 : Percuma Saja

Sebelum membaca novel ini, sangat disarankan untuk membaca chapter sebelumnya terlebih dahulu.

Sori telat updatenya wkwkwkkw, kemarin malah lupa.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Start Point


“Hei...”
“Dimo....”
“Dimo....!”
Aku terbangun dari lamunanku. Sambil berjongkok memegang sebuah ranting yang sebelumnya kugunakkan untuk menggambar di tanah. Saat kusadari, aku sedang berada di sebuah taman kecil yang dihiasi oleh pemandangan indah dari seluruh kota.  Akupun berdiri dan mendekati sebuah pagar yang terbuat dari kawat-kawat besi yang terikat. Dibalik kawat-kawat besi tersebut, terbentang pemandangan indah dari seluruh kota. Pemandangan yang dihiasi oleh langit jingga dengan sedikit ungu dan matahari yang mulai terbenam.
“Apa kau, suka novel...?”

Kutengok dia. Seorang gadis berambut putih yang tersenyum tulus kepadaku. Gadis itu duduk dengan manis sembari berpegangan pada tali yang mengikat ayunan.
“Kenapa, kau tiba-tiba menanyakan itu?” Balasku.
“Ini mungkin terdengar aneh tapi... suatu hari nanti, aku pasti akan menjadi novelis!” Balasnya. Gadis itu mulai mengayunkan ayunannya dengan penuh semangat. Rambut putihnya ikut terbawa angin bersamaan dengan ayunannya yang terus berayun.
“Novelis? Tapi, kau’kan...”
“Tenang saja.” Dia tertawa. Ayunannya yang sebelumnya berayun dengan kencang, perlahan mulai melambat. Sesaat setelah ayunannyaa berhenti, dia kembali tersenyum kepadaku sembari sedikit memiringkan kepalanya “Tenang saja, karena ada kau... Dimo.”
“Aku...?”
Apa maksudnya?
Aku tidak mengerti...
***
Aku terbangun. Menatap plafon yang sudah kukenal sejak 6 tahun yang lalu. Aku duduk di sofa berwarna merah yang sudah nampak usang dengan kepalaku yang sedikit terasa sakit.
Kalau tidak salah, tadi aku pingsan saat berusaha melawan Seno untuk menyelamatkan Anita. Aku menantangnya, lalu aku kalah darinya.
Tiba-tiba aku mendengar suara seseorang. Suara yang berasal dari ruangan sebelah. Aku menghampiri ruangan dengan pintunya yang sedikit terbuka. Aku sedikit mengintip melalui celah tersebut. Aku melihat Paman Tedi, Zaki, Leila, Sindy, Pak Bum, Kak Indra dan Mbak Dinda yang sedang duduk di sofa. Dari luar ruangan, samar-samar aku bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Mereka nampaknya sedang membicarakan suatu hal yang sangat serius. Seketika aku teringat  bahwa Anita tidak ada di sana.
Meski pikiranku masih kosong dan bingung, aku membuka pintu. Seketika, pembicaraan semuanya langsung terhenti dan menatap kearahku. Perlahan, aku melangkah menghampiri mereka “Anita.... di mana dia?” Setelah mendengar pertanyaanku, semuanya langsung menunduk penuh keputusasaan. Tak ada satupun yang menjawab pertanyaanku dan hanya menunduk kosong.
“Begitu... jadi kita gagal menyelamatkannya.” Aku mundur dengan lemasnya hingga menabrak tembok di belakangku. Kujatuhkan tubuhku lalu terduduk lemas.
Pak Bum melepas kacamatanya lalu membersihkan kedua lensa kacamatanya dengan saputangan yang dia miliki. “Kemarin, Shadow Player meretas saluran tv nasional dan mengumumkan bahwa dia akan melenyapkan semua manusia yang ada di kota ini.” Beliau memakai kacamatanya kembali lalu menengok kearahku “Dia memberi kita—semua orang yang ada di kota ini waktu selama seminggu untuk tunduk padanya atau mati di tangannya.” Setelah menyelesaikan kata-katanya, Pak Bum memejamkan matanya sembari tertunduk.
Dari penjelasannya, aku bisa menyimpulkan bahwa aku telah pingsan sejak kemarin sore. Ditambah lagi, Shadow Player itu... apa yang direncanakan makhluk itu? Membunuh setiap manusia yang ada di kota ini, apa itu mungkin?
“Karena itulah, kita harus mengambil tindakan tegas dan segera melenyapkan Shadow Player beserta seluruh pengikutnya.” Lanjut Pak Bum.
“Kami juga telah menemukan kemungkinan, kalau Shadow Player berniat untuk menggunakkan kekuatan dari Cursed Eye.” Kak Indra menghampiriku lalu mengulurkan tangannya kepadaku dan mencoba untuk membantuku berdiri.
“Cursed Eye? Kalau begitu—” Aku menangkap uluran tangannya dan kembali berdiri.
“Ya, tidak salah lagi. Kemungkinan, itulah alasan mengapa dia menangkap Anita.” Setelah membantuku berdiri, Kak Indra dan aku duduk di sebuah sofa dimana Mbak Dinda berada.
“Tapi, apakah itu mungkin? Maksudku, apakah mungkin Cursed Eye dapat membunuh setiap manusia yang ada di kota—“
“Mungkin saja. Kau pikir, makhluk yang telah menyebrangi dimensi dan membawa manusia dari dunia paralel takkan sanggup melakukan itu?” Potong Pak Bum. Tangannya mengepal dan alisnya berkerut kesal.
“Setelah di pikir lagi, kurasa Anda benar...” Aku menunduk lemas. Mengingat kalau makhluk itu dapat melakukan hal-hal gila diluar logika, begitu membuat perasaanku bercampur aduk. Tapi, selain itu, masih ada hal lain yang lebih kupedulikan “Anita.... kalau begitu kita harus menyelamatkan Anita sesegera mungkin!”
“Itu, tidak mungkin.” Balas Pak Bum dengan tegas. “Saat ini, kita masih belum memiliki teknologi untuk memisahkan Cursed Eye dari gadis itu. Meski kita berhasil menyelamatkannya, masih ada kemungkinan bahwa Shadow Player akan berhasil untuk menculiknya lagi.”
“Tap pak—” Tanpa kusadari, tubuhku bergerak dengan sendirinya. Aku berdiri tegak dengan tanganku yang mengepal. Bodohnya aku.
“Kita tak bisa mengambil risiko untuk mengabaikan dunia hanya untuk menyelamatkan satu orang gadis!!”
Setelah mendengar setiap kata-kata beliau, aku membeku. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Tatapan dan pikiranku yang mulai kosong kembali, membawaku tenggelam. Aku menjatuhkan tubuhku dan kembali duduk di sofa sembari tertunduk lemas. Aku menengok kearah semua orang. Zaki, Leila, Sindy, Paman Tedi, Kak Indra dan Mbak Dinda hanya tertunduk meratapi situasi yang kacau ini.
Saat itu aku berpikir;
Kurasa, yang beliau katakan benar... Kita tak bisa membahayakan seluruh negeri hanya karena seorang gadis.
“Sebelum minggu depan, kuharap kalian segera meninggalkan kota ini dan mengungsi ke tempat yang aman.” Pak Bum memundurkan kursi rodanya lalu langsung keluar dari ruangan.
Tak lama kemudian, Kak Indra berdiri dari sofa “Maaf, andai saja ada yang bisa kami lakukan...” Dia membuang muka lalu berjalan keluar diikuti dengan Mbak Dinda yang hanya bisa tertunduk diam.
Semuanya terdiam. Tanpa tahu apa yang harus dikatakan maupun dilakukan. Ruangan menjadi begitu sepi dan sunyi tanpa ada suara sedikitpun. Setelah dipukul oleh kenyataan yang mendadak itu, kurasa wajar bagi kami untuk bereaksi seperti ini.
“Kurasa, aku akan pergi menutup toko.” Paman Tedi bangun dari sofanya lalu berjalan keluar dari ruangan dan menuju ke bagian depan toko.
Lagi-lagi kesunyian dan keheningan yang ada. Tak ada yang bersuara dan tak ada yang mau mengeluarkan suara.
Keheningan sesaat yang begitu canggung dan juga kosong. Harapanku—harapan kami semua telah lenyap tanpa sisa. Tanpa tahu apa yang harus dilakukan ataupun yang tidak harus dilakukan.
Semuanya, bingung.
Tiba-tiba, Zaki berdiri. Dia berdiri menatap kami semua sambil mengambil napas dalam-dalam lalu meneriakkan “Okee, ayo kita bersiap.” Mendengar teriakan Zaki yang begitu tiba-tiba, Sindy dan Leila yang awalnya tertunduk langsung menatap Zaki dengan bingungnya.
“Bersiap? Untuk apa?” Leila yang masih bingung, berdiri.
“Tentu saja, menyelamatkan Anita.” Balas Zaki dengan spontan. Dengan penuh semangat dan percaya diri, dia menengok kearah Leila.
“Kalau begitu, aku akan ikut denganmu.” Sindy ikut berdiri lalu tersenyum tulus. Senyuman yang begitu tulus yang pernah kulihat darinya.
“Oke.” Zaki menengok kearahnya sembari tersenyum lebar. Tak lama kemudian, dia menengok kearahku yang masih tertunduk lemas “Bagaimana denganmu, Dimo? Kau pasti setuju’kan?”
Aku tertawa. Tawa penuh keputusasaan yang belum pernah kukeluarkan sebelumnya. “Konyol, kenapa juga aku harus melakukan itu?” Aku berdiri lalu hendak berjalan menuju pintu keluar.
“Hoi, apa maksudmu?” Tanya Zaki dengan nada serius. Tak seperti biasanya, Zaki tak mengeluarkan nada guyonan dan bertanya kepadaku dengan begitu serius.
Aku sedikit menengok lalu berkata “Maksudku, Pak Bum benar. Kita tak bisa mengorbankan semua orang hanya demi menyelamatkan Anita.”
“Apa kau bilang?” Zaki menghampiriku dengan penuh kesal lalu memegang pundakku dengan kencang.
“Apa kau tidak dengar? Percuma saja—” Zaki terbakar amarah setelah mendengar jawabanku. Dia langsung membalik tubuhku lalu memukul wajahku dengan kencang hingga membuatku terpental dan menabrak tembok.
“Jangan bercanda, Dimo! Apa kau sama sekali tidak peduli dengan apa yang akan terjadi pada Anita?”
Aku kembali mencoba berdiri dengan berpegangan kepada tembok di belakangku sembari menekan pipiku yang barusaja ditonjok olehnya “Tidak, tidak sama sekali. Pikirlah baik-baik, lebih penting mana; nyawa banyak orang atau nyawa satu orang?”
“Kau....!” Zaki menghampiriku lalu menarik kerah kausku. “Anita, Anita sudah menghabiskan sisa hidupnya untuk mencarimu dan ini yang kau katakan?”
“Jangan bodoh. Aku tentu sangat berterima kasih padanya. Namun, aku sama sekali tidak memintanya untuk mencari—” Sebelum aku sempat menyelesaikan kata-kataku, Zaki langsung menendang perutku dengan lututnya. Dengan perutku yang masih terasa sakit akibat tendangannya, aku benturkan kepalaku dengan kepalanya hingga membuat kami berdua terpisah dan terjatuh.
Sementara Zaki yang masih terjatuh, aku langsung berdiri dan berlari kearahnya untuk membalas pukulannya, tapi...
“Sudah cukup....”
Aku ditampar. Kubuka mataku. Zaki yang hanya bisa terduduk diam menatap kami berdua tanpa melakukan apapun. Seakan dia telah melupakan semua amarahnya. Leila yang menghampiri Zaki dan mencoba membantunya kembali bangun. Dan Sindy, yang berdiri tepat di hadapanku.
“Sudah... hentikan...”
Saat itu aku sadar, bahwa meski aku membuka mataku, aku telah buta akan segala hal.
Aku yang tertunduk, bisa melihat dengan jelas tetesan-tetesan air mata yang terus berjatuhan membasahi lantai. Perlahan, aku mengangkat wajahku. Pipinya yang memerah dan matanya yang terus mengeluarkan air mata, alisnya berkerut penuh khawatir dan tatapannya yang lurus menatapku. “Dimo yang kukenal—Rama yang kukenal, takkan melakukan hal seperti ini...”
Entah mengapa, aku mundur perlahan hingga menabrak tembok lalu dengan lemasnya menjatuhkan tubuhku dengan perlahan lalu duduk. Aku menunduk. Enggan untuk menatap matanya yang berlinang air mata. Tak lama setelah itu, Leila mengantar Sindy untuk keluar dari ruangan dan meninggalkanku.
Lalu, Zaki mulai berjalan menghampiri pintu “Kau tahu, sejak dulu aku selalu membenci sikapmu yang suka menyalahkan dirimu sendiri itu. Bahkan setelah 3 tahun berlalu sejak kematian kakak, kau masih saja sama.” Perlahan, Zaki menengok kearahku “Tapi, tak bisa dipungkiri kalau kau adalah sahabatku. Sebagai seseorang yang telah mengenalmu begitu lama, aku tak bisa membiarkanmu terus seperti itu.”
Aku hanya tertunduk diam seperti batu. Tak berkutik sedikitpun. Setelah terdiam sesaat, dia—Zaki menghela napasnya lalu berjalan keluar.
 

 ~BERSAMBUNG~

No comments:

Post a Comment