Selamat datang di KnK Land. Mari menguasai dunia bersama kami. Disini kalian bisa menemukan ratusan postingan berbahaya dari penulis-penulis kami. Selamat menikmati situs yang hidup ini.




Tuesday, October 9, 2018

Start Point - Chapter 21 : Beruntung

Sebelum membaca novel ini, sangat disarankan untuk membaca chapter sebelumnya terlebih dahulu.

Sori minggu kemarin gak bisa update karena banyaknya kesibukan di RL. Chapter kali ini bakal menutupi plot hole yang tercipta di chapter-chapter awal. jadi, bacalah perlahan lahan.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Start Point

Keesokan harinya.
Dua hari lagi adalah hari dimana Shadow Player berjanji untuk membunuh semua manusia yang ada di kota ini. Kondisi kota yang semakin sepi dan semakin sepi tiap harinya selalu membuatku merasa tak nyaman. Bahkan aku tak bisa melihat ada satupun orang dewasa yang melintas ataupun anak-anak yang bermain di jalan.
         Kota ini benar-benar sudah berubah seperti kota mati. Komplek perumahan yang biasanya ramai di pagi hari, sekarang hanyalah kenangan belaka. Jalanan benar-benar tidak terurus. Ada banyak sampah berserakan dimana-mana. Bahkan ada beberapa mobil rusak yang terbengkalai di pinggir jalan.
Langit cerah tertutup awan. Awan kelabu yang siap menurunkan air kapanpun ia mau. Angin berhembus kencang, suara hembusannya bisa terdengar dengan jelas. Bahkan jaket yang kukenakkan tak cukup tebal untuk bisa menghangatkanku dari hembusan angin tersebut.
“Baiklah....”
Aku menatap lurus toko roti milik Paman Tedi yang masih buka. Meski Paman Tedi tahu kalau takkan ada satupun orang yang mengunjungi toko tersebut di saat-saat seperti ini, dia tetap saja membuka toko miliknya. Begitu menyedihkan saat aku menengok kekanan dan kekiri—melihat toko-toko lainnya yang sudah dalam keadaan tertutup dan terbengkalai. Bahkan ada salah satu toko yang kacanya pecah seperti baru saja dirampok oleh seseorang.
“Assalamualaikum....” Sembari mengucap salam, aku membuka pintu dan mendongkakkan wajahku kedalam toko untuk melihat ke dalam toko. Bukannya balasan salam, yang kudapati hanyalah keheningan tiada batas. Dalam toko nampak gelap dan juga sepi.
Ku berjalan memasuki toko. Perlahan melangkahkan kakiku, selangkah demi selangkah. Ku tutup pintu lalu kutaruh payung yang kubawa di samping pintu.
“Halo...? Paman Tedi...? Zaki...? Apa ada orang disini?” Aku menghampiri sakelar lampu yang ada di tembok ruang tamu lalu menyalakan lampu. Aku tidak tahu mengapa saat ini Paman Tedi tak ada di toko, ditambah lagi, pintu depannya sama sekali tidak dikunci. “Kemana perginya mereka?” Setelah selesai memeriksa seluruh ruangan yang ada, aku kembali berjalan menuju ke pintu depan lalu hendak akan keluar.
Disaat aku hendak akan mengambil payung dan akan keluar, aku melihat Sindy dan Leila yang berjalan bersama menuju ke arah dimana rumah kontainer—rumah lamaku. Aku bertanya-tanya mengapa mereka hendak pergi ke sana. Pasti ada alasan yang kuat.
Tanpa berpikir dua kali, aku perlahan berjalan membututi mereka. Dengan hati-hati dan perlahan, aku melangkahkan kakiku agar mereka tak mendengar suara langkah kakiku.
Saat mereka menyeberang jalan untuk ke rumah lamaku, aku bersembunyi di balik sebuah pohon. Setelah kurasa aman, aku kembali berjalan mengikuti mereka.
“Zaki..?”
Disaat aku hendak akan membuntuti mereka, aku melihat Zaki yang sedang duduk  di depan teras rumah lamaku. Melihat kedatangan Sindy dan Leila, diapun berdiri dan menyambut kehadiran mereka. Tak lama kemudian, Sindy mengeluarkan smartphone miliknya dari kantung celananya lalu menunjukkannya kepada Zaki. Setelah membaca pesan tersebut, Zaki mengangguk lalu mengambil sebuah kunci dari dalam kantung belakang celananya.
“(Kunci itu... bukankah itu kunci duplikat untuk rumah lamaku?)” Aku bersembunyi dibalik bagian samping dari kontainer. Tak lama kemudian, Zaki menghampiri pintu depan kontainer lalu memasukkan kunci tersebut kedalam kenop pintu dan membuka pintu.
Sesaat setelah mereka masuk ke dalam, aku berjalan mengendap menuju ke pintu depan lalu aku melompat menaiki teras agar aku cukup tinggi untuk mengintip melalui jendela depan.
Tapi, ini saja tidak cukup. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
Disaat aku mencari cara untuk mendengar percakapan mereka, aku tak sengaja melihat celah di pintu depanku. Untungnya, Zaki tak menutup pintu ini dengan rapat sehingga aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
***
“Jadi, mengapa kau memanggil kami kemari?” Tanya Sindy penuh serius. Zaki hanya terdiam sembari tertunduk. Tangannya mengepal dan dia sedikit menggigit bibirnya. Dahinya mengkerut serta sorot matanya yang penuh keraguan.
Tak lama kemudian, Zaki menghela napas sembari memejamkan matanya. Dia melepaskan kepalan tangannya lalu menatap lurus kepada Leila dan Sindy. “Hei, apa kalian tahu mengapa dari sekian banyak orang dari seluruh Indonesia yang mendaftarkan diri untuk mengikuti turnamen Start Point, kitalah yang terpilih?” Mendengar pertanyaan Zaki, Leila dan Sindy terdiam sembari menatap satu sama lain lalu kembali menengok kearah Zaki.
“Bukankah itu kebetulan saja?” Tanya Leila.
“Memang sih, kalau dipikir lagi, itu memang aneh...” Sindy berjalan mundar-mandi. Wajahnya tertunduk dan tangan kanannya yang memegang dagu berpangku di tangan kirinya. Dia nampak seperti sedang memikirkan dan berusaha mencerna alasan dibalik pertanyaan Zaki. “...bagaimana mungkin, dari sekian banyak orang, kita berempat—Aku, Leila, Zaki dan Dimo, orang yang berasal dari satu kota yang sama, bisa masuk kedalam turnamen tersebut. Apa mungkin ada sesuatu—” Sambungnya menjelaskan.
“Itu mungkin saja.” Potong Zaki. Spontan, Sindy berhenti dan menengok kearah Zaki. “Sebenarnya, ini semua adalah salahku. Akulah yang menyeret kalian kedalam semua masalah ini.”
“Apa maksudmu?” Leila menghampiri Zaki dengan penuh pertanyaan.
“Saat itu, aku... aku merasa bersalah. Seharusnya, saat itu aku menghentikan Dimo. Padahal aku tahu apa yang akan dia lakukan, tapi aku malah tidak menghentikannya.... Salahku juga, Dimo bisa mendapatkan ide untuk menghasilkan uang dari bakat bermain gamenya.” Zaki kembali tertunduk.
Aku yang mengintip melalui jendela, tak dapat berkata-kata. Yang kulihat dan kudengar saat ini adalah kenyataan, dan itu sudah pasti.
***
Beberapa minggu sebelum turnamen Start Point dimulai.
Saat itu jam istirahat.
Didalam ruang kelas yang ramai dan begitu hidup, Zaki diajak oleh teman-temannya untuk mengikuti tanding futsal bersama mereka. Zaki yang tentu saja takkan bisa menolak permintaan itu, langsung mengiyakan tanpa berpikir panjang.
Disaat dia hendak akan keluar kelas, dia tak sengaja melihat Dimo yang hanya duduk sendirian di kelas tanpa ada satupun teman yang mengajaknya bermain. Merasa gak enakan, Zakipun menghampirinya dan berniat untuk mengajaknya ikut bermain bersama.
“Yo Dimo, mau ikut tidak bersama kami bermain futsal?” Zaki menarik sebuah kursi lalu duduk dihadapan Dimo. Meski Zaki sudah mengajaknya dengan penuh semangat, Dimo hanya terdiam seribu bahasa. Setelah selesai memasukkan kembali seluruh buku dan alat tulis yang sebelumnya ada di atas meja ke dalam tas, dia berdiri lalu pergi meninggalkan Zaki.
Akhir-akhir ini, Dimo memang semakin jarang bersosialisasi dan berhubungan maupun berteman dengan teman sekelasnya. Semua ini berawal saat dia mulai memasuki SMP. Lebih tepatnya, sejak meninggalnya Kak Mutia. Dia terus menutup dirinya dari orang lain, bahkan kepada sahabatnya sendiri. Sejak saat itu, Dimo terus menyalahkan dirinya atas kematian Kak Mutia. Dia bahkan pernah mengurung diri di kamarnya selama sebulan penuh pasca meninggalnya Kak Mutia.
Sejak saat itu, Dimo yang Zaki kenal sudah tiada.
Padahal, Zaki tahu betul bahwa itu sama sekali bukan salahnya. Zaki tahu betul kalau sebenarnya, dialah yang bertanggung jawab atas kejadian itu. Dia terus berandai-andai, jika saja saat itu dia menghentikkan Dimo yang akan mengambil amplop itu atau dia tak pernah menyarankan kepada Dimo kalau dia bisa menghasilkan uang dengan kemampuannya itu, apakah ini semua takkan terjadi?
Kesalahan besar jika mengatakan kalau Dimolah yang bersalah. Padahal sebenarnya, seseorang yang paling benci dan menyalahkan dirinya sendiri itu adalah dia, Zaki.
Zaki yang terus dihantui oleh perasaan bersalah itu, terus mencari cara untuk bisa menebus kesalahannya. Salah satunya adalah dengan mengajaknya kembali bermain game dan bersosial dengan orang disekitarnya.
Meski terus mendapat penolakkan, Zaki terus mengajaknya bermain.
Suatu hari, disaat Zaki sedang mencoba sebuah permainan di sebuah warung internet. Zaki bertemu dengan seseorang yang memainkan permainan yang sama. Tanpa pikir panjang, orang tersebut mengajaknya duel. Seorang laki-laki tinggi berambut sedikit gondrong dengan kacamatanya yang menonjol. Jaket berwarna hijaunya dan celana jeans berwarna hitam.
Karena Zaki tak mempunyai alasan untuk menolak ajakan tersebut, diapun menerimanya dengan senang hati.
Berjam-jam telah berlalu, dan mereka terus-menerus berduel satu sama lain. Namun, tak sekalipun Zaki dapat mengalahkan lawannya tersebut.
“Ya ampun, kenapa kau ini kuat sekali?” Zaki mengeluh sembari meregangkan tubuhnya yang lelah karena bermain seharian. “Dan juga, kenapa kau begitu sombong saat berada didalam permainan. Sikapmu begitu berbeda saat bermain game dan saat di dunia nyata.” Dia melepas headphonennya lalu menengok kearah orang tersebut.
“Maaf, maaf... aku sama sekali tak berniat untuk menyombongkan diri. Aku hanya melakukan itu agar kau tak segan saat melawanku.” Orang itu tertawa sembari menggaruk rambutnya lalu melepas headphonenya. “Oh ya, sejak tadi kita terus bermain, tapi kita sama sekali belum berkenalan.” Lanjutnya sembari bangun dari kursi lalu menghampiri Zaki.
“Oh ya, aku baru sadar! Namaku, Zakarya Maulana.” Zaki sontak langsung bangun dari kursinya lalu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Orang itu kembali tertawa lalu membalas jabat tangan Zaki “Namaku Adi Rahmawadi. Senang bisa berkenalan denganmu.”

***
Zaki meminum jus jeruk yang baru di belinya lalu kembali bermain. “Oh ya, kenapa Paman bermain disini? Bukankah biasanya orang dewasa bekerja di jam segini?” Zaki mengambil smartphonenya lalu memeriksa jam.
“Oh aku? Gimana ya, aku belum ada permintaan dari client, jadinya nganggur deh.” Balas Adi yang masih fokus bermain.
Client? Memangnya apa pekerjaan paman?”
“Membobol sistem, mengubah isinya, mengambil data seseorang, dan masih banyak lagi. Versi singkatnya... aku ini seorang Hacker.”
“Hacker?! Jadi kau ini seorang kriminal?” Dengan spontan, Zaki langsung menengok tanpa menyadari bahwa karakternya sudah berhasil dikalahkan.
“Ahaha, yah... bisa dibilang seperti itu. Tapi, selain menjadi hacker, aku suka bermain permainan yang membuatku merasa tertantang.”
“(Aku sama sekali tidak mengerti dengan cara berpikir orang ini...)” Zaki tertawa kecil. Dia sedikit membuang pandangannya dari layar monitor lalu kembali meminum jus jeruk.
“Tapi yah, akhir-akhir ini aku semakin menjadi bosan karena aku tidak bisa menemukan lawan tanding yang bisa membuatku bersemangat.” Adi melepas headphonenya lalu bersandar di kursinya sembari menatap keatas—menatap plafon bersawang yang nampak agak usang. “Karena itulah, aku mencoba mendaftarkan diriku kedalam turnamen Start Point yang akan diadakan beberapa hari lagi. Yah, walaupun aku tahu kalau aku pasti akan masuk kedalam turnamen tersebut.” Dia kembali tertunduk lemas sambil sedikit menguap.
“Tunggu dulu, Start Point yang kau maksud itu, yang itu? Dan apa maksud paman dengan pasti masuk?” Tanya Zaki penuh penasaran.
“Yah.... aku bisa menerobos sistem keamanan serta database mereka dan memasukkan data diriku kedalam daftar orang yang akan menjadi peserta turnamen.” Adi tertawa sambil mengelus belakang lehernya.
“Kalau begitu, bisakah kau mendaftarkanku dan temanku untuk masuk kedalam permainan?”
Adi menengok dengan polosnya. Dia sempat terdiam sesaat lalu mulai membuka mulutnya “Yah, bisa saja selagi kau bisa membayarku.”
“Bayar? Hmm...” Zaki terdiam. Dia sedikit menoleh kearah monitor. Dia tahu benar kalau saat ini dia sama sekali tak memiliki uang. Disaat dia sedang berpikir—mencari cara untuk bisa membayar, dia teringat dengan perkataan Adi sebelumnya yang menyatakan bahwa dia sudah mulai bosan karena tak bisa menemukan lawan yang kuat. “Bagaimana jika aku membayarmu dengan menawarkan lawan yang kuat dan bisa membuatmu bersemangat?” Kata Zaki dengan penuh semangat.
“Lawan ya....” Adi sedikit menundukkan wajahnya sembari memegang dagunya. Sesekali dia menggaruk rambut serta pipinya saat dia sedang berpikir. Itu adalah sebuah keheningan sesaat yang membuat Zaki tak bisa berpikir sama sekali. Karena jika penawaran ini gagal, mungkin salah satu kesempatan besarnya untuk bisa membuat Dimo kembali mendapatkan teman akan hilang. Tak lama kemudian, Adi sedikit tersenyum lalu mulai menjulurkan tangannya kearah Zaki “Baiklah, aku terima penawaranmu.”
Sementara itu, Zaki yang masih belum bisa percaya dengan apa yang baru saja dialaminya langsung membalas jabat tangan dari Adi “Ya, terima kasih.”

***
Masa kini.
Hujan mulai menetes membasahi bahuku dan jaketku. Aku menoleh keatas—melihat air hujan yang setetes demi setetes mengguyur diriku. Kubuka payungku lalu kembali mengintip serta mendengar percakapan mereka melalui celah di pintu.
Aku tidak tahu apa yang sudah dikatakannya itu benar atau tidak. Aku juga tidak tahu lagi apa yang kulakukan ini benar atau tidak. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah melihat dan menghadapi kenyataan.
“....Dengan begitulah, aku mendaftarkan diriku dan Dimo kedalam turnamen Start Point.” Zaki mengusap wajahnya lalu dilanjutkan dengan menggaruk rambutnya. “Beberapa hari kemudian, Adi mengirimku daftar orang yang telah terdaftar sebagai peserta dan orang yang berkemungkinan untuk menjadi peserta.”
“Saat itulah, aku melihat nama kalian berdua.” Lanjut Zaki yang semakin menunduk. “Ketika aku melihat nama kalian berdua, aku mendapatkan ide bahwa mungkin kalian bisa membantuku—menjadi teman Dimo. Dan itu... berhasil.” Disaat Zaki menjelaskan, Sindy dan Leila hanya bisa terdiam seribu bahasa. Entah apa yang mereka pikirkan maupun rasakan setelah mendengar itu.
Zaki kembali mengangkat wajahnya lalu berjalan ketepian “Sejak itu, kukira aku akan merasa lega dan terbebas dari rasa bersalah ini. Ternyata aku salah. Yang kulakukan selama ini.... bukanlah kebaikan. Namun hanya keegoisanku semata.” Zaki yang geram dengan dirinya sendiri langsung memukul tembok besi kontainer yang ada di sebelahnya. Suara pukulannya begitu kencang sampai tak kalah kencang dengan suara turunnya hujan. “Aku tahu aku memang tak pantas mendapatkan maaf dari kalian tapi—maafkan aku....” Dengan lemasnya, Zaki bersandar di tembok besi tersebut.
“Yang kau lakukan tidaklah salah.”
Zaki mengantkat wajahnya. Kata-kata yang dikeluarkan oleh Leila membuat dirinya hanya bisa terdiam. “Maulana tidaklah salah... Jika saja, jika saja kau tak mendaftarkanku kedalam turnamen tersebut, aku pasti takkan pernah bisa mendapatkan biaya untuk operasi nenekku.” Leila menghampirinya lalu mengulurkan tangannya untuk membantu Zaki kembali berdiri tegak.
“Leila benar. Tidak semuanya salahmu.” Sindy tersenyum tulus. “Jika kau tidak melakukan itu, mungkin aku takkan pernah bertemu dengan Dimo, Leila dan juga kau. Aku pasti akan tetap menjadi seseorang yang pendiam dan juga dingin.” Sindy menghampiri Zaki dan Leila sembari tersenyum tulus dan juga manis.
Pernyataan mereka telah merubah atmosfir yang ada. Seakan hujan yang sedang terjadi saat ini begitu hangat dan tidak dingin.
Begitu pula denganku. Aku sadar, jika Zaki sama sekali tidak berusaha untuk membantuku, aku takkan pernah bisa bertemu dengan mereka. Aku pasti takkan pernah bisa bertemu dengan Leila, Sindy, Anita, Mbak Dinda, Pak Bum, Kak Indra dan juga Mbak Anna. Aku sungguh bersyukur bisa mempunyai teman dan sahabat sepertinya.
Seharusnya aku berterima kasih kepada mereka semua dan bukannya mengabaikan dan mementingkan egoku semata.
Saat aku hendak akan berjalan meninggalkan tempat itu, secara tidak sengaja aku melihat bayangan wajahku yang terpantul di genangan air. Saat itu aku sadar, bahwa aku sedang tersenyum. Ku tertawa “Kurasa, aku memang beruntung.”
 

 ~BERSAMBUNG~

No comments:

Post a Comment