Selamat datang di KnK Land. Mari menguasai dunia bersama kami. Disini kalian bisa menemukan ratusan postingan berbahaya dari penulis-penulis kami. Selamat menikmati situs yang hidup ini.




Monday, August 13, 2018

Start Point - Chapter 15 : Keputusanku

Sebelum membaca novel ini, sangat disarankan untuk membaca chapter sebelumnya terlebih dahulu.

Oke, mulai dari sini ceritanya bakalan serius. Jadi lebih baik bacanya pelan-pelan biar gak ada poin yang kelewat.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------




Start Point


Dua hari kemudian.
Alarm berbunyi dengan kencang. Suaranya terdengar hingga diseluruh area sekolah. Suara yang memekakkan telinga dan membuat siapa saja yang mendengarnya menjadi panik. Suara yang takkan membawa kabar baik.
Ini adalah sistem pertahanan yang dibuat oleh tim ERASER yang terpasang hampir diseluruh sekolah di Indonesia. Alarm ini akan berbunyi jika ada satu atau lebih monster yang memasuki area sekolah. Disaat alarm ini berbunyi, maka data kedatangan monster akan terkirim ke markas pusat ERASER dan sebuah divisi akan dikirim untuk menumpas monster-monster tersebut sebelum hal yang tak diinginkan terjadi.

Di setiap sekolah, akan terdapat sebuah tempat perlindungan atau yang biasa disebut shelter. Shelter berfungsi sebagai tempat pengungsian bagi seluruh warga sekolah jika terjadi serangan monster di sekolah. Shelter dilengkapi dengan persediaan makanan untuk seminggu atau lebih dan sebuah sistem perisai pelindung yang membuat monster-monster takkan bisa menerobos area tersebut.
Dalam kasus kami, gedung shelter adalah gedung olahraga sekolah kami.
Diberitahukan kepada seluruh warga sekolah, diharapkan untuk segera meninggalkan aktivitas masing-masing dan segera bergegas menuju ke gedung olahraga dengan tertib.
Pengumuman berbunyi tak lama setelah berhentinya suara alarm. Sebuah pengumuman yang diulangi selama dua kali itu, membuat suasana kelas yang sebelumnya ramai karena paniknya semua orang setelah mendengar suara alarm menjadi sirna. Semuanya dengan tenang menuruti perintah lalu mulai berbaris dan berjalan menuju ke gedung olahraga. Meski begitu, tentu ada beberapa orang yang masih merasa panik dan ketakutan. Ada juga yang terus bertanya-tanya mengenai makna dari alarm tadi dan alasan dibalik semua ini.
“Hai, hei, lihat, sekolah kita sampai masuk berita.”
Aku melihat salah seorang murid perempuan yang sedang menonton acara berita hari ini melalui smartphone bersama teman-temannya. Aku menghampiri mereka lalu sedikit melirik berita yang sedang mereka tonton. Berita itu adalah sebuah siaran langsung dari halaman depan sekolah kami dimana ada tiga monster yang berusaha untuk memasuki sekolah.
Sementara itu, aku tak melihat tanda-tanda adanya salah satu divisi ERASER yang telah tiba di TKP. Disaat aku sedang menonton, tiba-tiba Zaki menghampiriku lalu mulai berbisik kepadaku.
“Hei Dimo, aku ragu untuk bertanya mengenai ini tapi.... Rasanya, aku tidak melihat Anita sejak tadi.” Dia berbisik sembari menengok kesegala arah untuk mencari gadis berambut putih itu di kerumunan murid yang sedang berjalan menuju gedung olahraga. Anehnya, dia sama sekali tidak bisa menemukan Anita.
Saat kusadari, aku juga sama sekali tidak bisa menemukan Anita. Aku sudah menengok kesana-kemari untuk mencari lalu berlari meninggalkan Zaki untuk mencarinya sembari memanggil namanya, namun aku tidak bisa menemukannya. Seharusnya  gadis berambut putih seperti Anita akan nampak sangat mencolok disaat-saat seperti ini. Namun aku maupun Zaki tidak bisa menemukannya.
“Dimo, aku sudah mengirim pesan kepada Leila dan Sindy untuk mencari Anita, mereka pasti akan menghubungiku jika sudah menemukannya.” Zaki mematikan smartphonenya lalu memasukannya kedalam kantung celananya.
“Gawat, sejak tadi... kita tidak bisa menemukannya. Bagaimana  jika terjadi apa-apa terhadapnya.” Aku menggaruk rambutku sembari kembali menengok mencari Anita, namun percuma, aku masih tidak bisa menemukannya sejak tadi.
Tunggu dulu, sejak tadi? Lebih tepatnya sejak kapan aku— tidak, sejak kapan Zaki tidak melihatnya. Dialah orang yang pertama kali menyadari hilangnya Anita.
Aku berbalik lalu memegang pundak Zaki. Dengan cepatnya, aku membalik arah tubuh Zaki yang sebelumnya membelakangiku menjadi menghadap kepadaku. Dia yang masih terkejut dengan apa yang baru saja kulakukan kepadanya membalas perlakuanku dengan memberikan ekspresi penuh kebingungannya “Zaki, lebih tepatnya sejak kapan kau tidak melihat Anita?”
Dengan nada datarnya dia menjawab “Sejak kita meninggalkan ruang kelas.” Dia menunjuk sembari menengok kearah dimana kami sebelumnya berasal, ruang kelas. Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari meninggalkannya dan menerobos melawan barisan murid-murid menuju ke ruang kelas. Sementara itu, Zaki yang masih belum paham langsung berlari mengikutiku. “Hei Dimo, mau kemana kau? Kenapa kau malah meninggalkan barisan? Bukankah kita sedang mencari Anita?”
“Karena itulah, kita harus kembali!”
“Apa maksudmu?”
“Nanti juga kau akan mengerti!” Aku berbelok memasuki ruang kelas lalu menengok ke segala arah—mencari Anita. Kulihat dirinya sedang terbaring lemas tak sadarkan diri tak jauh dari lokasi dimana mejanya berada.
“Anita!” Aku berlari menghampirinya lalu memeriksa keadaanya. Tubuhnya terlihat pucat dan lemas, seakan ada sesuatu yang baru saja menghisap tenaganya. Napasnya tak beraturan dan tubuhnya terasa sedikit dingin.
“Dimo, aku masih tidak menger—” Zaki langsung mengurungkan niatnya untuk mengeluh sesaat setelah melihatku dan Anita yang tak sadarkan diri. Seakan dia langsung saja mengerti apa maksudku dan menutup mulutnya.
“Zaki, cepat bantu aku.” Aku menunjuk Anita menggunakkan gerakan kepalaku lalu berjongkok. Dia langsung mengerti apa maksudku dan berjalan menghampiriku untuk mengankat tubuh Anita dan membuatnya kugendong. Kemudian Zaki menghubungi Leila dan Sindy untuk memberitahu mereka bahwa Anita telah berhasil ditemukan.
Tiba-tiba, terjadi sebuah getaran. Seiring berjalannya waktu, getaran itu semakin kencang dan kencang. Aku kembali berdiri dengan kondisi sedang menggendong Anita. Firasat buruk langsung menghampiriku. Firasat itu mengatakan kepadaku untuk langsung lari dari tempat itu apapun yang terjadi.
Benar firasatku.
Seekor monster badak datang dan menghancurkan tembok yang tepat berada dihadapan kami. Monster besar itu dapat menghancurkan tembok dengan mudahnya.
“Zaki, kita harus lari!”
“Kau duluan saja! Aku akan menahannya sebisa mungkin!” Zaki menarik pundakku lalu mendorongku menuju kearah pintu keluar sementara dia melakukan login dan menghampiri monster badak tersebut. Aku menuruti perintahnya dan mulai berlari meninggalkan ruangan sembari menggendong Anita.
Menyadari kepergianku, monster badak itu memundurkan badannya sehingga keluar dari ruang kelas lalu berbelok kearahku dan bersiap untuk mengejarku.
“Takkan semudah itu!” Zaki berlari kehadapannya lalu mengambil perisainya yang tergantung di punggungnya “Open the Seal : Fire Element – Fire Shelter.” Dengan cepat perisainya berubah menjadi api dan tersebar mengelilingi monster badak. Walau begitu, api tersebut sama sekali tidak membakar benda yang ada di sekitarnya. Bahkan sama sekali tak menyisakan jejak gosong.
Namun, akibat penggunaan skill ini, Zaki tidak bisa banyak bergerak karena harus mempertahankan keseimbangan dari api miliknya. Jika salah sedikit saja, maka dia akan membuat api tersebut membakar yang ada di sekitarnya dan mungkin bahkan bisa mengakibatkan skill ini menjadi lenyap.
Tapi, tanpa dia duga terdapat dua monster besar lainnya yang melintas melewatinya dan pergi menuju ke arah Dimo berada. “Gawat—” Tanpa pikir panjang, Zaki langsung menengok kearah kedua monster tersebut. Akibatnya, dia menjadi lengah dan skill miliknya menjadi lenyap. Api-api tersebut kembali terkumpul menjadi satu dan kembali mendekati lengan Zaki sesaat sebelum berubah kembali menjadi perisai “Gawat—” Zaki kembali berbalik keposisi awal dan menyadari bahwa monster badak tersebut sudah terbebas.
Makhluk itu menyeruduk kearah Zaki tanpa ragu. Zaki mengangkat perisainya dan berniat untuk menahan serudukan badak itu. Namun tanpa dia duga badak itu juga mengabaikannya dan lebih memilih untuk pergi kearahku.
“Sial, mereka mengabaikanku begitu saja. Kenapa mereka begitu ngotot mengejar Dimo dan Anita?” Zaki berbalik lalu mengejar monster-monster itu. Merasa bahwa dia takkan bisa mengejar monster-monster itu, Zaki berhenti lalu menaruh perisainya tepat di hadapannya. “Sebenarnya aku tidak mau meniru tehnik miliknya, tapi aku tidak punya pilihan lain.” Tak lama kemudian, dia tapakkan kedua tangannya ke tanah “Open the Seal : Fire Element – Fire Wall.” Perisainya kembali berubah menjadi api dan dengan cepatnya merambat menuju kehadapan monster-monster.
Terciptalah tembok api yang mengelilingi monster-monster tersebut. Sementara itu, Zaki dengan mudahnya melewati mereka bertiga dan berhasil menyusulku. Aku menyadari kedatangan Zaki lalu menengok kearahnya “Zaki, kau baik-baik saja?”

“Ya, yang lebih penting, nampaknya yang menjadi incaran mereka adalah kau.”
“Apa? Tapi kenapa?”
“Entahlah, pokoknya sekarang kita harus segera pergi ke gedung olahraga secepatnya.”
Tak lama kemudian, tiba-tiba perisai miliknya kembali. “Gawat, nampaknya aku kehabisan mana.” Zaki melakukan log out lalu menengok ke belakang untuk memeriksa monster-monster tersebut. Sesuai dugaannya, tembok api yang sebelumnya mengurung mereka telah lenyap. “Dimo, awas!” Dia langsung mendorongku menggunakkan dengan kencang sehingga membuatku dan Anita terlempar ke sebuah lorong yang cukup sempit. Akibat bantuannya, aku dan Anitapun berhasil selamat dari tabrakan monster badak, namun nampaknya Zakilah yang harus menanggung tabrakan itu.
Juga, nampaknya lorong yang sempit membuat monster badak itu menjadi sulit untuk mengejarku.
Aku kembali berdiri lalu memanggilnya “Zaki kau tidak apa?”
“Ya, aku memang terkena tabrakannya, tapi syukurlah tak ada satupun tulangku yang patah. Nampaknya aku masih selamat karena tadi sempat melakukan login dan menahan tabrakannya menggunakkan perisaiku.” Zaki menjawabku dengan santainya sembari sedikit tertawa. Dia terbaring lemas di lantai sembari menatap plafon koridor lalu terlogout “Tapi sepertinya aku sudah terlalu lelah.”
“Baiklah, kau beristirahat saja untuk saat ini. Jangan paksakan dirimu.” Aku kembali menggendong Anita. Karena kondisi Zaki yang tak memungkinkanku untuk meminta bantuan kepadanya, aku jadi butuh waktu lebih lama dari sebelumnya untuk membuatnya berhasil kugendong.
Di ujung lorong, terdapat sebuah gudang. Di gudang ini terdapat meja-meja dan kursi yang sudah usang dan tidak terpakai. Untungnya, pintu dari gudang tidaklah dikunci dan ini adalah tempat yang cocok untuk mempertahankan diri. Ditambah lagi, jika aku memotong jalan dengan melalui gudang ini, maka kami akan menjadi lebih dekat dengan gedung olahraga. Namun, di gudang ini hanya terdapat satu pintu masuk dan keluar. Jadi aku harus memecahkan kaca jendela atau menghancurkan tembok untuk bisa memotong melewati tempat ini.
Tapi sekarang bukanlah saatnya untuk memikirkan hal itu.
Aku langsung memasuki gudang dan menurunkan Anita di pojok ruangan. Lalu kututup pintu gudang dan menghalau pintu tersebut menggunakkan meja dan kursi yang ada sebanyak mungkin.
“Kurasa sekarang sudah cukup aman.” Aku mengusap keringat yang membasahi dahiku lalu melepas switer miliku. Kugunakkan switer itu untuk mengusap keringat dan kujadikan sebagai kipas.
Kuikatkan switer itu kepinggangku lalu kuambil salah satu kursi dan kuhantamkan ke jendela. Aku sudah berusaha membenturkannya beberapa kali, namun aku tetap tak bisa menghancurkan kaca jendela tersebut.
“(Gawat, tenagaku sudah terkuras untuk memindahkan kursi dan meja tersebut sehingga aku sudah tidak punya cukup tenaga untuk menghancurkan kaca jendela ini.)”
“Dimo...?” Anita yang nampaknya sudah siuman melihatku yang sedang berusaha menghancurkan sebuah kursi. “Apa yang sedang kau lakukan? Ini... dimana?” Dia berdiri sembari menengok kesana kemari, nampak pikirannya sangat kebingungan. Ekspresi wajahnya dan tingkah lakunya tak bisa berbohong.
“Anita, syukurlah. Akhirnya kau siuman juga.” Aku kembali menaruh kursi tersebut lalu menghampirinya. “Oh ya, saat ini kita sedang berada di gudang sekolah. Alasan mengapa kita berada di tempat ini adalah karena adanya monster-monster yang saat ini mengejar kita.” Aku menunjuk sembari menengok kearah pintu keluar yang sudah terhalang oleh tumpukan meja dan kursi.
“Monster....?”
“Ya, tenang saja. Saat ini—” Tiba-tiba, Anita mendorongku dan mundur menjauh dariku “Anita? Ada apa?” Anita nampak tertekan dan sedih. Dia terus saja menunduk dengan tangannya yang mengepal. Nampak kesedihan terpancar di wajahnya. Ia menggigit bibirnya sembari memejamkan kedua matanya. Ini pertama kalinya aku melihat dirinya seperti ini. Aku juga tidak tahu apa yang membuatnya hingga nampak seperti ini.
“Maafkan aku.... Padahal aku sudah tahu bahwa akan menjadi seperti ini, tapi aku malah mendatangimu....”
“Apa maksudmu? Ini bukanlah salahmu.”
“Ini salahku!” Bentaknya. Aku begitu terkejut hingga membuatku secara tak sadar melangkah mundur satu langkah darinya. “Monster-monster itu datang untukku. Sebelum aku pingsan, aku sudah bertemu dengannya. Sejak awal seharusnya aku tidak melakukan ini!” Anita semakin mengepalkan kedua tangannya lalu dengan lemasnya menengok kesamping. Dia nampak dengan enggannya menatap wajahku—tidak, dia terlihat takut untuk menatapku karena rasa bersalahnya. “Jika saja sejak awal aku tidak mementingkan egoku untuk bisa menemuimu, pasti hal ini takkan pernah terjadi!” Dia terjatuh dengan lemasnya lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aku bisa mendengar dengan jelas isak tangis miliknya yang berusaha dia sembunyikan.
Entah apa yang dikatakannya itu benar atau tidak. Dia pasti punya alasan yang kuat sehingga dia bisa mengatakan hal itu. Tapi entahlah. Aku mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi aku tak bisa menemukannya. Aku sama sekali tak tahu.
Satu-satunya kesimpulan yang kudapatkan adalah.....
“Yang seperti itu, aku sama sekali tidak peduli.”
Anita langsung mengangkat wajahnya yang basah karena air mata. Dia lagi-lagi menatapku penuh kebingungan seakan tak percaya dengan apa yang sudah kukatakan sebelumnya. Sementara itu aku yang masih berusaha untuk menghancurkan kaca jendela menggunakkan kursi.
“Aku tidak peduli siapa maupun apa yang menyebabkan insiden ini. Saat ini, yang kupedulikan hanyalah keselamatan teman-temanku.”
Aku melemparkan kursi itu dengan segenap tenaga dan akhirnya berhasil menghancurkan kaca jendela tersebut. Aku menengok kearah Anita lalu kuulurkan tangan kananku kearahnya “Hanya itu.”
“Tapi aku—karena aku.....” Anita kembali menutup kedua matanya sembari membuang pandangannya dariku “Tinggalkanlah aku disini dan pergilah selamatkan dirimu sendiri, Dimo!”
“Sudahlah, ikut saja!” Aku menghampirinya lalu menangkap tangan kirinya. Dengan terkejutnya, Anita ikut bersamaku menuju ke jendela dan hendak akan keluar bersamaku.
“Membosankan. Kukira akan ada drama atau semacamnya sehingga aku sudah menyiapkan popcorn, tapi nampaknya cuma drama picisan.”
Tiba-tiba tercipta sebuat tembok batu yang menghalangi jalan kami. Tak lama kemudian, Monster badak berhasil menghancurkan pintu masuk diikuti oleh dua monster lainnya. Asap yang tercipta akibat hancurnya pintu beserta meja dan kursi yang sebelumnya menghalanginya begitu tebal dan banyak sehingga membuatku dan Anita terpisah.
“Aku juga sudah repot-repot menyiapkan sebuah kembang api.”
Tak lama kemudian, salah satu monster meledak sesaat setelah memasuki gudang. Sebuah ledakan yang cukup besar sehingga membuat gudang menjadi hancur. Juga membuatku dan Anita menjadi semakin jauh berpisah.
Aku keluar dari asap sembari terbatuk-batuk. Saat kusadari, aku sudah berada di luar gudang, lebih tepatnya berada di jalan antar koridor. Nampaknya, monster-monster yang sebelumnya mengejarku sudah lenyap akibat ledakan tadi. Ditambah lagi, tepat dihadapanku, berdiri seseorang dengan memakai sebuah topeng batu.
Pakaiannya serba hitam, dan topengnya nampak aneh. Dia menyilangkan tangannya yang nampak menggunakkan sarung tangan berwarna putih.
Aku tidak tahu siapa dia, tapi aku mendapat firasat buruk hanya dengan melihat dirinya.
“Dimo, apa kau baik-baik saja?” Tiba-tiba Zaki keluar dari dalam asap sembari mengkibas-kibaskan tangannya untuk menghilangkan asap yang ada di sekitarnya.
“Sudah kubilang untuk tidak memaksakan dirimu,’kan.” Aku kembali berdiri sembari membersihkan pakaianku lalu menengok kebelakang—kearah Zaki.
“Yah, aku tidak mungkin bisa berdiam diri saja setelah mendengar ledakan ta—” Zaki terhenti. Mulutnya langsung terdiam bersamaan dengan tangannya, ekspresinya yang sebelumnya nampak santai langsung berubah menjadi serius sesaat setelah melihat seseorang bertopeng batu yang tepat berada di hadapanku.
“Halo, Dek Zaki, Apa kabar? Oh ya, aku tidak melihat Sindy, dimana dia?” Seno menengok kesana-kemari lalu bergeleng-geleng.
Sementara itu, aku perlahan mundur mendekati Zaki lalu berbisik kepadanya “Kau mengenalnya, Zaki?”
“Tidak bisa dibilang kenal juga, sih. Aku, Sindy dan Leila bertemu dengannya saat operasi penyelamatan terjadi.” Balas Zaki dengan cara yang sama yaitu berbisik. “Kali ini, apa maumu, The Mask?” Zaki langsung merogoh kantung celananya untuk mengambil login device.
“Oi, oi, sudah kubilang untuk memanggilku Seno, bukan? Yah, yasudahlah. Karena pertunjukan tadi kurang menghibur, bagaimana jika kau yang menghiburku? Lagipula, aku sudah jauh-jauh datang kemari.”
“Baiklah jika itu maumu. Lagipula, kurasa ini saatnya bagiku untuk membalas kekalahanku saat itu.” Zaki dengan percaya dirinya melangkah maju sembari mengeluarkan login device dan hendak akan menggunakannya.
Tapi, aku menghampirinya lalu memegang pundaknya dan sedikit mendorongnya kebelakang “Tidak, kurasa lebih baik aku saja yang melawannya. Kau juga sudah kelelahan bukan? Biar kupinjam sebentar login devicemu, kau cepat carilah Anita.”
“Oke.” Zaki melemparkan login device miliknya lalu kutangkap dengan mudahnya. “Pokoknya, berhati-hatilah. Dia adalah seorang alkemis dan skill miliknya begitu merepotkan.” Dia berbalik lalu kembali memasuki asap untuk mencari Anita.
Sementara aku melakukan login dan mengambil pedangku, Seno menapakan kedua tangannya ke tanah. “Open the Seal : Craft – Stone Gloves.” Dengan cepatnya, tanah merambat hingga ke sikunya dan berubah menjadi batu yang terlihat begitu keras. Dia menarik tangannya kembali dan batu itu mulai berubah mengikuti bentuk tangannya. Bagaikan sebuah sarung tangan.
“(Benar kata Zaki, kemampuannya terbilang menyusahkan.)” Aku mengeluarkan pedangku dari dalam sarung lalu melenyapkan sarung pedangku. “Open the Seal : Super Moonlight Shard – Super Moonlight Sword.” Aku melompat menerjang dengan pedangku yang sudah bercahaya. Saat itu, aku berniat untuk langsung menghabisinya dengan satu serangan. Karena, aku tidak punya waktu untuk berurusan dengannya dan harus segera mengungsi bersama Zaki dan Anita.
Namun, dia dengan mudahnya menangkap pedangku dengan kedua tangannya. Dia berhasil menahan Super Moonlight Sword milikku. Meski begitu, tanah yang dipijaknya dan yang ada disekitarnya menjadi retak akibat tekanan yang berasal dari Super Moonlight Shard milikku.
“(Gawat, aku tidak menyangka bahwa batunya lebih keras dari perkiraanku.)”
Dia mencengkram pedangku lalu mengayunkannya bersama diriku yang masih menggenggam pedang itu dan melemparkannya ke arah tembok dari ruangan dibelakangnya.
Sebuah batu besar dilemparkan kearahku. Aku awalnya berniat untuk menghindar dengan cara melompat, namun dia menangkapku dengan mengikat kedua kakiku dengan batu miliknya.
“Gawat! Open the Seal : Moonlight Shard.” Aku melemparkan moonlight shard milikku kearah batu tersebut dan berhasil menghancurkannya. Namun, dibelakangnya terdapat batu-batu lainnya yang juga terlempar kearahku. Aku terus menerus menahan batu-batu tersebut menggunakkan moonlight shard milikku.
Tapi pada akhirnya terdapat sebuah batu besar yang mengarah kearahku. Dengan batu sebesar itu, aku takkan sempat menghancurkannya dengan moonlight shard sebelum batu tersebut mengenaiku. Ditambah lagi, aku akan kehabisan manaku jika aku terus seperti ini.
Batupun menghantam. Seno dengan santainya berjalan kearah batu tersebut mendarat—kearahku untuk memeriksa kondisiku. Namun dia tak begitu terkejut saat tidak menemukan tubuhku di balik batu besar tersebut.
“Hoo, aku mengerti.” Seno berbalik dan menemukanku yang sedang terududuk lelah. “Jadi kau memilik skill yang seperti itu, ya.” Dia memegang dagunya lalu menengok keatas. Tak lama kemudian dia bergeleng-geleng “Tapi, masih belum....”
Tiba-tiba dia sudah tepat dihadapanku dan dalam keadaan siap meninjuku kapan saja. Kecepatannya yang luar biasa membuatku tak bisa bergeming.
”...ini masih belum cukup untuk menghiburku.”
Aku yang begitu terkejut langsung melompat mundur. Namun dibelakangku sudah terdapat sebuah tembok batu yang menghadang diriku. Selama sesaat aku menengok kebelakang lalu menengok kedepan—tinju darinya yang sudah tepat berada dihadapan kedua mataku.
Saat itu kusadari bahwa, pedangku sudah patah menjadi dua.
Tanpa pikir panjang, aku langsung mencoba menahan pukulannya menggunakan pedang milikku. Kupikir aku akan selamat, namun pedangku malah patah menjadi dua.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itulah ungkapan yang cocok untuk menggambarkan kondisiku saat ini—tidak, kurasa lebih dari itu.
Aku terpental akibat pukulannya, bahkan tembok yang ada dibelakangku hancur akibat tubuhku yang terpental. Tubuhku melesat begitu saja menuju tanah bagaikan anak panah yang baru saja ditembakkan dari busurnya. Saat itu aku juga sadar bahwa aku sudah kalah.
Kutengok pedangku yang tergeletak di rumput hijau nan indah. Serpihan pedang tersebut memantulkan cahaya dengan cerahnya. Cahaya yang dipantulkannya menyorot langsung kekedua mataku. Entah mengapa saat itu terlintas satu kata.
“Indahnya.”
Tak lama kemudian pedang tersebut mulai bercahaya dan lenyap. Aku kembali menengok kedepan, menghadapi kenyataan pahit yang mendatangiku. Dengan tangan kirinya yang sudah terlepas dari sarung tangan batu, dia mencengkram jaketku dan mengangkatku ke udara.
“Apa? Ternyata kemampuanmu hanya segini? Yah, yang kudengar dari adikku, kau lebih dari ini.” Dia menarik tangan kanannya dan hendak akan memukulku.
Ah, apa aku akan mati?
“Hentikan!!!”
Tiba-tiba tangannya terhenti sesaat sebelum berhasil menyentuh diriku. Aku bisa melihat dengan jelas bahwa tangannya bergetar seakan masih berusaha untuk memukul diriku. Tapi seakan ada sesuatu yang menahan tangannya sehingga tidak bisa memukul diriku. Dengan terpatah-patah, dia berusaha untuk menengok kesumber suara tersebut, begitu pula aku.
Anita berdiri dengan tegapnya. Dia berdiri tepat dibelakang Seno sembari memegang sebuah bongkahan batu yang dimana salah satu ujungnya lancip. Meski samar, seakan aku bisa melihat sedikit bercak darah di pipinya. Bercak darah itu masih baru dan seperti baru saja diusap. “Hentikan, atau....” Dia mendekatkan bagian lancip dari batu tersebut ke punggung Seno untuk mengancamnya agar tidak macam-macam.
“Baiklah-baiklah, aku mengerti.” Dengan perlahan, dia menjatuhkanku lalu mengangkat kedua tangannya keudara. Entah mengapa, setiap gerakan yang dilakukannya terlihat terpatah-patah dan seakan dia berusaha sekuat tenaga untuk melakukannya.
“Pergilah dari sini!”
“Sayang sekali, aku—”
“Aku tidak peduli apapun alasanmu!” Anita semakin mendekatkan bagian lancipnya ke punggung Seno dan mungkin telah merobek pakaiannya.
“Baik, baik, aku mengerti.” Dia perlahan menapakan kedua tangannya kerumput dan membuat sebuah pilar tinggi yang lebarnya seukuran dengan tubuhnya. Pilar yang begitu tinggi itu melemparnya dan membuatnya takkan mungkin bisa kembali. Tak lama kemudian, Anita membuang bongkahan batu itu lalu berlari menghampiriku.
Wajahnya begitu khawatir dan nada bicaranya begitu rendah, bahkan mungkin aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas “Dimo, bertahanlah! Saat ini Zakarya sedang mencari anggota ERASER yang telah tiba.” Dia mengangkat kepalaku dan memangkuku.
Lagi-lagi, aku membuatnya menangis.
Air matanya menetes membasahi wajahku. Dengan keadaan tubuhku yang begitu lemas, kurasa aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku hanya terdiam sembari tersenyum. Kira-kira, sudah berapa kali aku sudah membuatnya menangis selama seminggu ini. Padahal aku baru saja bertemu dengannya dan banyak yang ingin kubicarakan dengannya. Aku juga ingin dia berteman akrab dengan Leila dan Sindy.
Duh, aku memang payah.
Aku pingsan.
***
Kubuka mataku. Kumelihat plafon dari sebuah ruangan yang nampak asing. Dinginnya pendingin ruangan dan juga cahaya kekuningan yang merambat memasuki ruangan melalui jendela.
“Yo, kau sudah bangun?”
Aku menengok kesebelah kiri. Zaki sedang duduk dengan santainya sembari mengambil mengambil sebuah apel dari kantung plastik yang dia bawa lalu memakannya sendiri. “Ini dimana?” Aku bangun sembari memegang kepalaku—mencoba untuk mengingat kembali alasan mengapa aku berada di sini.
“Ini di rumah sakit daerah, kalian berdua dibawa kesini setelah penyerangan kemarin.” Zaki mengambil kembali sebuah apel dari dalam kantung plastik dan melemparkannya kepadaku. Meski sedikit oleng, aku berhasil menangkap apel tersebut lalu mulai memakannya.
“Berdua?”
“Ya, tak lama setelah kau pingsan, kondisi tubuh Anita mulai memburuk dan diapun pingsan. Sejak kemarin, dia belum saja sadarkan diri.” Dia menunjuk ke belakangnya lalu lanjut memakan apel.
“Syukurlah, kau sudah bangun, Dimo.” Sindy dan Leila yang baru saja tiba langsung menghampiriku. Entah mengapa ekspresi mereka yang lega setelah melihat kondisiku justru malah membuatku ikut lega. Mereka mengambil dua buah kursi untuk masing-masing dari mereka lalu duduk di sebelah kanan diriku.
Sementara mereka bertiga berbincang-bincang, aku justru hanya terdiam dan berpikir. Sejak aku bangun, aku selalu terpikir dengan apa yang terjadi sebelumnya. Dengan maksud perkataan Anita dan mengapa Pria Bertopeng yang bernama Seno itu terhenti setelah Anita muncul. Padahal dengan kecepatannya itu, dia bisa saja membalikan keadaan.
“Dimo....”
“Dimo...”
“Hei, Dimo!”
Aku tertegun dan wajahku terdongkak. Tanpa kusadari, Zaki memanggilku sejak tadi dan sekarang semuanya menatapku dengan penuh penasaran. Dari tatapan mereka, aku bisa menyimpulkan bahwa saat ini mereka sedang bertanya-tanya mengapa aku hanya diam sejak tadi.
“Ada apa? Tumben sekali kau diam saja sejak tadi. Dan lagi, wajahmu begitu serius.” Zaki menghabiskan apelnya lalu melemparnya ketempat sampah. Aku menghela napas panjang lalu menjelaskan kepada mereka alasan mengapa aku terdiam, yaitu saat-saat dimana Seno terdiam saat Anita muncul. Ditambah lagi, saat Anita berkata bahwa dialah alasan mengapa penyerangan itu terjadi.
Selama aku bercerita, entah mengapa Sindy sempat nampak terkejut sekaligus serius disaat yang bersamaan saat aku menceritakan tentang kemunculan Seno.
“Begitu ya, begitu ya....” Zaki tertunduk sembari memejamkan kedua matanya. Dia pegang dagunya seakan sedang berpikir keras untuk mencerna ceritaku tadi.
“Tapi apa itu mungkin? Kau tahu, pada dasarnya monster akan menyerang siapa saja yang ada disekitarnya. Sulit untuk mempercayai bahwa monster bisa mengincar seseorang begitu saja.” Sindy menengok kebelakang dan sedikit mengintip dengan menggeser sedikit gorden lalu mengembalikannya seperti semula.
“Y-ya, Sindy benar. Tidak ada alasan bagi monster-monster itu untuk mengincar Anita.” Leila semakin menguatkan pendapat Sindy.
“Apalagi ceritamu tentang gerak-gerik Si Topeng Sialan yang mulai menjadi aneh sejak kemunculan Anita. Dan mengapa Anita berkata bahwa dialah penyebab utama mengapa insiden itu terjadi.”
“Aku tahu bahwa ini sulit untuk dipercayai, tapi itulah yang terjadi.”
“Kalau begitu, apa alasan bagi monster-monster tersebut hingga mengincar Anita?” Sindy dengan lemasnya berpangku dagu di kasurku sembari menengok kearahku. Sementara Zaki yang hanya bisa terdiam sembari memejamkan matanya dan sesekali kepalanya mendongkak keatas. Lalu Leila yang hanya terdiam kebingungan dengan wajahnya yang merona seperti biasa.
Saat itu kami sadar bahwa kami sudah mencapai kebuntuan.
Kujatuhkan tubuhku dan berbaring. Aku tengok apel yang sedang kugenggam di tangan kananku.
“Cursed Eye.”
Aku kembali bangun dan kamipun menengok kearah sumber suara. Ternyata itu adalah Pak Bum, Indra dan Dinda. Indra mengetuk pintu lalu diapun masuk. Sementara Dinda yang mendorong kursi roda Pak Bum sudah masuk terlebih dahulu “Itu adalah item jenis Super Rare yang paling langka. Dengan item itu, kau bisa menghentikan dan menetralisir serangan dan gerakan apapun. Dan kekuatan ini bersifat mutlak.” Pak Bum melepas kacamatanya lalu memejamkan kedua matanya “Meski begitu, item ini terlalu banyak menguras mana. Bahkan meski itu hanya satu detik pemakaian.” Setelah itu, dia mengelap kacamatanya dan mengenakannya kembali “Aku tidak tahu bagaimana item tersebut bisa berubah menjadi anggota tubuhnya.”
“Tunggu dulu, aku sama sekali tidak mengerti maksud perkataan bapak.”
Kami semua terdiam tanpa bisa berkata-kata. Mencoba untuk mencerna maksud perkataan Pak Bum.
“Aku sempat mencari tahu catatan medis milik gadis itu.”
“Lalu?”
“Dia tidak pernah melakukan operasi mata atau semacamnya.”
“Tunggu dulu, jadi maksud anda....” Aku langsung turun dari kasurku dan menghampiri Pak Bum.
“Ya, dia tak seharusnya bisa melihat dan mata yang saat ini dia gunakkan adalah Cursed Eye.”
Kami semua membeku. Kata-kata Pak Bum yang begitu lantang menunjukkan kepada kami bahwa saat ini beliau sedang tidak bercanda. Ditambah lagi Kak Indra dan Mbak Dinda yang hanya terdiam tanpa sedikitpun mengeluarkan ekspresi yang meragukan.
Semuanya terdiam sembari tertunduk, termasuk aku. Saat itu aku sudah tidak tahu lagi harus berkata apa. Rasanya sangat menyebalkan. Lagi-lagi muncul perasaan yang membuat diriku sangat ingin memukul diriku sendiri. Aku tertegun sejenak, aku teringat kembali dengan kata-katanya saat itu. Entah mengapa kali ini merasa bahwa ada sesuatu yang aneh dari perkataannya.
Kata-katanya yang tanpa kusadari memiliki makna lain. Seharusnya aku menyadari hal ini lebih awal lagi. Seharusnya aku menyadari bahwa ada yang ganjil dari kata-katanya saat di taman itu.
Tiba-tiba Zaki menepuk pundakku lalu berjalan melewatiku—menghampiri Pak Bum “Lalu bagaimana? Jika item itu bisa membuat monster mengincarnya, bukankah itu berbahaya? Apa anda tidak punya cara untuk melepas item tersebut?”
“Sayang sekali, namun saat ini kami masih belum mengetahui cara untuk melepas item tersebut.” Pak Bum menggeleng penuh keyakinan sembari menutup matanya.
“Saat ini...? Kalau begitu....”
“Ya. Sebenarnya, saat kami mengetahui kondisi Anita, kami langsung mencari cara untuk menyelesaikan masalah ini.” Kak Indra tersenyum kecut sembari mengusap belakang lehernya.
Mendengar pernyataan Kak Indra langsung membuat kami berempat dapat mengelus dada. Begitu pula aku. Dengan lemasnya aku mundur lalu duduk di kasur. Ku jatuhkan tubuhku dan menghela napas panjang.
(Untuk saat ini, ya.....)
Sudah kuputuskan.
~BERSAMBUNG~

No comments:

Post a Comment