Selamat datang di KnK Land. Mari menguasai dunia bersama kami. Disini kalian bisa menemukan ratusan postingan berbahaya dari penulis-penulis kami. Selamat menikmati situs yang hidup ini.




Monday, August 6, 2018

Start Point - Chapter 14 : Gadis Berambut Putih

Sebelum membaca novel ini, sangat disarankan untuk membaca chapter sebelumnya terlebih dahulu.

Hore, akhirnya vol.2 dari web novel ini dimulai juga. Mulai dari sini bakal ada banyak hal yang berhubungan dengan masa lalu Dimo, dengan kata lain vol.2 ini titik balik dimana Dimo bakal tau siapa dirinya ini.

 
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Start Point

68747470733a2f2f73332e616d617a6f6e617773
Hari itu sangat cerah.
Mungkin hari paling cerah di bulan november ini. Suhu udara tidak terlalu panas, juga tidak terlalu dingin. Langit begitu biru, dengan awan-awan putih bertebaran seperti seres. Mentari bersinar terang, seakan awan bukan hambatan baginya. Saat itu jam istirahat, dan aku berniat untuk memakan nasi uduk yang baru saja kubeli di kantin.

Kursi di kantin sudah penuh, dan aku sama sekali tidak merasakan keberadaan Zaki. Untungnya, aku memilih untuk membungkus nasi uduk ini dari pada memakannya langsung menggunakkan piring kantin.
Banyak orang berpikir bahwa bulan november identik dengan suasana dingin karena bulan november adalah satu bulan sebelum datangnya bulan desember—musim hujan. Tapi menurutku tidak begitu. Hanya karena bulan ini berada tepat di belakang bulan desember, bukan berarti bulan ini harus menjadi mendung setiap saat, bukan?
Yah, tapi itu hanya pendapatku semata. Aku tidak punya hak untuk memaksa orang lain untuk menyetujui pendapatku.
Meski begitu, aku tetap berharap ada seseorang yang berpikiran sama sepertiku.
***
Aku berjalan menghampiri sebuah kursi teduh yang letaknya tepat di bawah pohon. Entah mengapa tidak ada seorangpun yang duduk di kursi itu, padahal kursi itu berada di tempat yang cukup strategis dan juga teduh.
Setelah duduk, aku mulai melepas karet yang mengikat bungkus, membukanya, lalu mulai memakan nasi uduk tersebut. Sembari melihat orang-orang berlalu-lalang, aku memakan nasi uduk sedikit demi sedikit. Di jam istirahat yang hanya berlangsung selana 15 menit ini, aku bisa melihat berbagai macam orang. Ada yang sedang berlarian, ada yang sedang sibuk membaca buku sembari berjalan tanpa memperhatikan kearah mana dia akan berjalan, ada juga seorang yang membawa bola sepak bersama dengan teman-temannya yang mengejar dibelakang.
Nampaknya mereka berasal dari klub sepak bola.
Namun, ada seseorang yang begitu menarik perhatianku. Seorang gadis berambut putih seperti salju dengan seragamnya yang nampak baru. Dia berjalan dengan seorang pria tua yang berpakaian rapi dengan jas hitamnya. Entah mengapa keberadaannya begitu menarik perhatianku. Seakan ada semacam perasaan nostalgia saat aku menatap wajah dan rambut putihnya. Perasaan nostalgia ini membuatku lupa dengan nasi udukku, bahkan aku sampai lupa untuk mengunyah dan berkedip.
Tanpa kusadari, tubuhku bergerak dengan sendirinya mengikuti alunan nostalgia yang terus mengalir di kepalaku. Tanganku menaruh nasi uduk itu di kursi dengan sendirinya, aku mulai berdiri dan kakiku mulai melangkah perlahan. Menginjak rumput dan dedaunan kering serta ranting.
Mengetahui bahwa dirinya sedang diperhatikan, gadis itupun terhenti. Dia menengok ke arahku dengan tatapan penuh tidak percayanya. Tatapannya yang begitu terpaku kepadaku membuat langkahku terhenti. Tak lama kemudian, dia tersenyum lalu membuka mulutnya seakan ingin mengutarakan sesuatu. Namun, dia terhenti sejenak lalu menutup kembali mulutnya. Dia tertunduk sembari tersenyum lega lalu berbalik. Dia menyeka pipinya seakan sedang mengusap sesuatu. Lalu berbicara sejenak dengan pria tua di belakangnya dan kembali berjalan.
Kalau tidak salah, arah yang gadis itu tuju adalah ruang kepala sekolah.
Kedua tanganku yang bergetar dan lemas, entah karena senang, atau malah sebaliknya.
***
“Baiklah murid-murid, hari ini kita kedatangan teman baru.” Pak guru berjalan memasuki kelas lalu menaruh kertas absensi di atas mejanya. Seketika, suasana kelas yang sebelumnya ramai langsung berubah menjadi senyap tak lama setelah masuknya seorang gadis berambut putih ke dalam kelas. Tatapan seluruh murid di kelas, tak terkecuali, langsung tertuju kearahnya. Rambut putih alami nan panjangnya yang seperti salju, mata indahnya yang berwarna hijau terang, serta kulitnya yang terlihat putih dan mulus membuat seluruh orang bertanya-tanya siapa dia sebenarnya.
“Wah, cantiknya....”
“Jangan-jangan dia seorang model.”
“Wih, bule nih kayaknya.”
“Dia seperti seorang artis saja.”
Dia tersenyum tulus sembari menatapku tanpa menghiraukan komentar-komentar yang ditujukan kepadanya sedikitpun lalu dia menghela napas panjang dan mulai membuka mulutnya “Perkenalkan, namaku adalah Anita Sari. Senang bisa berkenalan dengan kalian semua.”

“(Ternyata dia murid baru, ya..... pantas saja.)” Aku menatapnya sembari berpangku dagu lalu mengalihkan pandanganku ke arah jendela—menatap langit biru nan cerah hari ini.
“Langit hari ini begitu biru ya.”
Tiba-tiba wajahnya muncul di hadapanku dengan senyuman manisnya. Wajahnya begitu dekat sampai-sampai aku harus memundurkan kursi dan kepalaku. Suasana kelas langsung menjadi ramai. Semua orang tidak percaya bahwa orang pertama yang akan diajak bicara oleh gadis itu—Anita, adalah aku. Semuanya tidak percaya, termasuk Zaki, dia bahkan menyorakiku dan menjelek-jelekanku karena merasa iri kepadaku.
“Dasar Dimosaurus!!!” Ejek Zaki tepat di telinga kananku.
“Siapa yang kau panggil Dimosaurus, hah?!” Aku meneriaki dirinya sebagai balasan lalu kembali menatap kedepan. Tanpa kuduga, wajah Anita masih saja menatap diriku dengan senyumannya yang manis seperti gula. Karena merasa canggung, aku langsung membuang pandanganku dari wajahnya. “Y, ya... kau benar sekali.” Aku tersenyum kecut sembari menggaruk pipiku lalu mengeluarkan tawa palsu. Namun, nampaknya tawaku terlalu dipaksakan sehingga dia menyadarinya.
Meski begitu, meski dia menyadarinya, dia tetap bersikap seperti biasa. Dia memundurkan wajahnya lalu berjalan ke samping tempat dudukku “Ya,’kan.” Dia lalu duduk di sebuah kursi kosong yang letaknya tepat berada di sebelah tempat dudukku.
Sepulang sekolah.
Disaat aku sudah memakai tas dan hendak akan bangkit dari kursiku, Anita menghampiriku lalu menarik tangan kananku—diriku. Lagi-lagi suasana kelas kembali mendadak ramai. Murid laki-laki dengan tatapan iri dan bencinya kepada diriku, lalu tatapan murid perempuan yang merasa khawatir dengan Anita karena bagi mereka aku adalah seekor predator dan Anita adalah seekor hamster mungil nan lucu dengan keimutan tanpa batas. Leila dengan pipinya yang memerah padam, Sindy dengan tatapan tak mengertinya, lalu Zaki dengan tatapan menyeringainya karena merasa bahwa seluruh kelas berada di bawah kendalinya.
“Tu-tunggu dulu—”
Anita terus membawaku tanpa memberi tahu kemana aku dan dia akan pergi. Wajahnya yang sangat ekspresif dan kepercayaan dirinya seakan membuatku tak berkutik sama sekali. Namun tiba-tiba dia berhenti. Setelah kusadari, kami berdua sudah berada tepat di depan gerbang belakang  sekolah. Tempat ini adalah salah satu tempat yang paling jarang dilalui oleh murid-murid setelah pulang sekolah. Biasanya, murid-murid lebih suka pulang melalui gerbang depan dari pada gerbang belakang. Itu dikarenakan lokasi gerbang belakang yang jaraknya lebih jauh dari pada gerbang depan dari gedung kelas.
“Anu, ada apa ya? Apa kau ada keperluan denganku?” Aku menggaruk belakang rambutku karena masih kurang paham dengan situasi saat ini. Anita terdiam sejenak, lalu menengok ke tangan kirinya yang menggenggam tangan kananku. Seketika wajahnya memerah. Saking merahnya, seakan aku bisa melihat ada asap keluar dari kepalanya.
“Maaf, aku tidak bermaksud—” Dia tergagap-gagap karena gugup. Tingkahnya yang terbilang lugu langsung membuatku tertawa. Seketika, perasaan gugup dan canggung yang kami berdua miliki langsung menghilang, sementara dia yang hanya terdiam sesaat lalu ikut tertawa.
“Maaf, habisnya kau lucu.” Aku mengusap air mata yang keluar dari mataku karena tertawa lalu mengusap-usap belakang leherku. Saat kubuka mataku, tiba-tiba dia memelukku. Tawa lepasnya langsung berubah menjadi isakan tangisnya bersama dengan tetesan-tetesan air matanya yang membasahi switerku.
“Dimo..... akhirnya.... aku menemukanmu. Selama ini, aku selalu percaya....” Suara isak tangisnya yang begitu dalam membuatku merasa bahwa dia sudah menahan tangisan ini untuk waktu yang lama. Saat ini, aku benar-benar tidak tahu bagaimana aku harus membalasnya. Aku tidak tahu, reaksi apa yang harus kutujukan kepadanya. Tapi saat itu entah mengapa aku merasa kenal dengan dirinya. Dengan segala perasaan penuh nostalgia yang muncul saat aku pertama kali melihatnya.
“Kau....” Tiba-tiba aku teringat dengan tulisan yang terpahat di pohon waktu itu.
Ani dan Dimo.
Jangan-jangan.....
Anita... rambut putih..... pohon dengan ukiran.... anak perempuan berambut putih yang sedang bermain ayunan.... begitu.
Jadi dia adalah orang yang dimaksud dalam ukiran itu dan juga anak perempuan yang muncul dalam ingatanku waktu itu.
Kalau begitu tidak ada pilihan lain. Walau ini terdengar kejam, aku harus mengatakan yang sejujurnya kepadanya.
“Anita, dengar..... sebenarnya.... aku mengalami amnesia.” Seketika wajahnya terangkat. Ekspresinya yang penuh dengan ketidak percayaan dan kesedihan bercampur aduk menjadi satu. “Aku tahu bahwa ini terdengar menyedihkan, tapi inilah kenyataannya.”
“Tidak mungkin.....” Dengan lemasnya, dia melepaskan pelukannya lalu mundur dua langkah. Dia berlutut lemas lalu berusaha mengusap air mata yang semakin deras mengguyur wajahnya. Seberapa kalipun dia menyeka air matanya, dia tetap tak sanggup untuk menyeka seluruh air mata itu. Air matanya yang terus mengalir membuatku tak kuasa menahan perasaanku kepadanya.
Aku merasa bersalah karena sudah membuatnya menangis.
Aku menghampirinya lalu berlutut di hadapannya. “Maafkan aku......” Tanpa pikir panjang, aku langsung memeluknya dengan erat.
Walau mungkin ini tidak seberapa, tapi setidaknya aku melakukan sesutu yang menurutku benar.
***
Rem dipijak dan mobilpun terhenti. Aku menengok ke luar jendela, menengok ke sebuah rumah besar nan sederhana. Rumah yang rasanya pernah kulihat sebelumnya.
“Dimo?” Anita menepuk pundakku—membangunkanku dari lamunanku selama perjalanan.  Aku menengok perlahan, menatap wajahnya yang masih sedikit basah karena air matanya. Rasa bersalah kembali menghampiriku, dan akupun langsung membuang muka. Namun Anita malah kembali menyentuh pundakku sembari tersenyum seakan tak terjadi apa-apa.
Senyumannya yang membuat rasa bersalahku berkurang, dan juga memberi keyakinan kepadaku untuk melangkah maju “Maaf, ayo pergi.”
Aku membuka pintu dan memijakkan langkah pertamaku. Kukeluarkan kepalaku dari dalam mobil dan berdiri.
Perasaan itu tak mau hilang.
Perasaan yang mengatakan bahwa aku pernah melewati jalan ini sebelumnya.
“Tempat ini.....”
Aku menengok kesana-kemari, memperhatikan jalan beserta rumah-rumah di sekitarnya dengan seksama. Lalu aku menengok mendongkak ke atas—menatap langit biru bertaburkan awan putih.
Sekilas aku mengingatnya, langit ini, suasana ini, adalah suasana yang sama dengan saat terakhir kali aku mendatangi jalan ini dengan tidak sengaja. “Kalau tidak salah...” Aku mulai berlari menghampiri sebuah gang. Sebuah gang sempit yang di apit oleh dua buah rumah mewah. Gang sempit yang tak terurus dengan rumput-rumput tingginya yang setinggi pinggang. Dengan taman kecilnya dan sebuah pohon di tengahnya. Sebuah ayunan yang terpasang disalah satu rantingnya.
“Tidak salah lagi.”
Angin berhembus kencang. Angin sejuk yang membawa rasa penuh nostalgia. Aku menghampiri pohon itu. Menyentuh sebuah ukiran yang terdapat di tubuh pohon, lalu kuhampiri pagar untuk menatap pemandangan kota yang tak kalah indah dari sebelumnya.
“Apa kau ingat?” Anita menghampiriku dengan rambut putihnya tertiup angin. “Dulu saat masih kecil kita sering bermain di sini.” Dia menatap pohon itu dengan tatapan agak sedih lalu menghampiri ayunan di sebelahnya “Oh ya, saat itu aku selalu duduk di ayunan ini dan kau selalu menceritakanku betapa indahnya pemandangan yang ada di sini. Tak sedetikpun waktu berlalu tanpa kau berhenti bercerita.” Dia duduk di ayunan lalu berayun dengan perlahan. Bahkan meski angin bertiup kencang, dia tetap menjaga agar ayunan tersebut tidak terayun dengan kencang.
“Dulu rumput-rumput di sini tidak terlalu tinggi karena ayahku yang selalu merawatnya, namun semenjak dirimu menghilang dan hal lain yang terjadi.... ayah mulai berhenti merawat taman ini.” Dia menceritakan dengan wajah yang nampak ceria. Namun nyatanya, terdapat kesedihan yang begitu nyata yang terasa dari setiap kata-kata yang di keluarkannya. “Dulu aku tidak mempunyai banyak teman. Mungkin kaulah satu-satunya temanku. Meski begitu, bermain bersamamu begitu menyenangkan.” Dia mengeluarkan senyumannya yang nampak agak di paksakan karena dia tak ingin aku kembali melihatnya menangis, senyumanya itu seakan mengiris perasaanku.
“Dan lagi.....” Anita menengok ke samping lalu mengusap ukiran di pohon itu. Dia mengusapnya dengan lembut dan penuh perasaan.
Dan entah mengapa aku hanya membatu. Aku hanya terdiam seperti orang bodoh yang tak mengerti dengan apa yang dikatakan lawan bicaranya. Sembari tertunduk penuh rasa bersalah dengan tangan yang terkepal seakan ingin memukul diriku sendiri.
“Bukan salahmu, kok.”
Wajahku terdongkak. Aku langsung menengok kearahnya dengan tatapan penuh tidak percaya. “Apa yang sudah terjadi terhadapku, sama sekali bukan salahmu.” Anita tersenyum polos. Senyumannya yang begitu berbeda dengan senyumannya yang sebelumnya. Dia kembali berdiri sembari membersihkan roknya lalu menghampiri gang sempit tadi. Namun, dia terhenti sesaaat sebelum memasuki gang tersebut dan menengok kearahku “Ayo, sudah waktunya bagimu untuk pulang.”
***
Anita merogoh sakunya untuk mengambil sebuah benda. Dia keluarkan sebuah kunci perak yang nampak terawat. Kunci itu begitu terawat sampai-sampai dapat memantulkan cahaya dengan sangat jelas.
“Apa kau sudah siap?” Anita menengok kearahku sembari memasukkan kunci ke dalam kenop pintu. Aku membulatkan tekad sembari menghela napas panjang, tak lama kemudian aku menatap Anita dalam-dalam sembari mengangguk dengan penuh yakin. “Baiklah kalau begitu, akan kubuka pintunya.” Dia membuka kunci pintu lalu membuka pintu secara perlahan. Aku menelan ludah, suara pintu yang berdecit saat dibuka menambah ketegangan yang kurasakan.
Rasanya cukup aneh untuk merasa gugup saat memasuki rumah sendiri.
Aku mulai melangkahkan kakiku memasuki rumah. Anehnya, perabotan, foto, serta segala segala benda yang ada di dalam rumah begitu bersih dan terawat tanpa ada debu sedikitpun. Seakan ada seseorang yang baru saja membersihkan tempat ini.
Aku menghampiri sebuah foto yang tergantung di tembok. Itu adalah foto kecilku yang sedang bermain lumpur di halaman rumah. Ekspresiku yang tergambar di dalam foto begitu polos dan ceria. Aku begitu bersyukur ketika melihat diriku yang masih kecil itu. Aku berbalik dan tak sengaja melihat sebuah pintu dapur yang terbuka lebar, seakan ada yang baru saja memakainya berjam-jam yang lalu. Setelah memasuki dapur, aku mendapati ada beberapa piring dan sendok yang tertata bersih seperti sudah dicuci—tidak, kurasa piring dan sendok ini juga baru saja dicuci beberapa jam yang lalu.
“Ini.....” Aku mengusap sebuah piring dengan jari telunjukku untuk memastikan bahwa piring itu benar-benar bersih. Sesuai dugaanku, piring ini baru saja di bersihkan. “Anita, ini—” Aku menghampiri pintu lalu hendak akan memanggil Anita untuk menanyakan hal ini, namun ternyata dia sudah berdiri di depan pintu dengan kakunya sembari membuang pandangan seakan tak mau menatap wajahku.
“Ada apa?” Aku menghampirinya lalu memegang pundaknya, dia nampak sangat gugup. Mulutnya terus terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu hal yang penting namun ragu untuk dikatakannya.
Diapun mundur dua langkah lalu membungkukkan badannya “Dimo, maaf. Sebenarnya akhir-akhir ini aku tinggal di sini karena rumahku mengalami kerusakkan saat dentuman terjadi.”
“Ta-tapi tenang saja, aku tidur di kamar kosong yang ada di lantai 2’kok.” Dia kembali berdiri tegap lalu bergeleng-geleng sembari mengayun-ayunkan kedua tangannya. Lagi-lagi aku dibuat tertawa oleh tingkahnya. Sifatnya yang dengan polosnya telat menyadari suatu hal begitu lucu dan aneh.
Aku teringat akan satu hal. Satu hal yang begitu penting. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari melewatinya dan pergi ke sebuah ruangan. Sebuah ruangan yang sudah lama tidak tersentuh.
“Di-Dimo?” Anita berbalik lalu mengejar diriku. Dia mengejarku sampai akhirnya tiba di sebuah ruangan. Setelah membuka pintu dan masuk ke dalam, dia melihatku yang sedang berdiri terdiam menatap sebuah foto yang sudah terbingkai rapi. Foto yang sebelumnya berdiri tegak di atas sebuah meja lemari. “Dimo, foto itu....” Anita menghampiriku lalu menatap foto yang sedang kugenggam.
Sebuah foto yang penuh dengan kenangan. Foto keluarga.
Entah mengapa, tak ada satupun air mataku yang menetes. Seakan ada sebuah bendungan besar yang menghalangi air itu untuk tumpah.
Namun, perasaan apa ini?
Rasanya sangat sesak. Dadaku terasa sesak dan sakit. Perasaan yang sama dengan waktu itu. Begitu sakit, menusuk sampai hatiku yang terdalam.
“Anita, beritahu aku....” Aku menaruh kembali foto itu lalu berbalik menatap Anita. “....dimana, kedua orang tuaku? Apa mereka baik-baik saja?” Ekspresinya yang sebelumnya biasa mulai berubah menjadi tampak sedih begitu mendengar pertanyaanku. Wajahnya tertunduk seakan tak tega untuk menjawab pertanyaanku.
“Mereka... sudah meninggal dalam kecelakaan yang terjadi beberapa tahun lalu. Kecelakaan yang sama yang membuat dirimu menghilang.” Anita menghampiri kasur lalu duduk di atasnya, dia mencengkram selimut kasur sesaat setelah menjelaskan kematian kedua orang tuaku. “Saat ini, mereka dimakamkan di pemakaman umum Kota Rempah.”
“Begitu, ya.....” Dengan lemasnya aku berbaring di atas kasur. Sesaat setelah mendengar penjelasannya, air mataku mulai mengalir. Seketika tercipta sebuah lubang besar di bendungan itu yang mengakibatkan air dapat mengalir dengan deras. Entah mengapa, aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Seakan tubuhku tak ingin orang lain mengetahui bahwa saat ini aku sedang menangis.
“Dimo....”
Beberapa menit telah berlalu. Aku menyeka air mataku lalu bangun dari kasur. Aku menengok kearah Anita lalu memegang pundaknya dengan kedua tanganku “Anita.... bisakah kau mengantarku ke tempat kedua orang tuaku dimakamkan?”
“Aku mengerti.”
***
Angin berhembus kencang dihari yang begitu cerah ini. Terasa panas, namun juga terasa sejuk disaat yang bersamaan. “Jadi ini.... makam kedua orang tuaku.” Aku berjalan menghampiri kuburan keduanya yang tepat bersebelahan. Nampak ada beberapa rumput liar yang tumbuh di atasnya. Batu nisannya yang sudah agak keropos dan juga berdebu, serta sebuah pohon yang tumbuh di belakangnya. Aku berlutut lalu mulai mencabuti rumput-rumput liar itu satu persatu dan membersihkan batu nisan milik keduanya. Entah mengapa aku merasa begitu tenang. Perasaan tenang ini telah membuat rasa sedih yang sebelumnya melanda diriku menjadi reda.
Seperti sebuah obat yang sudah menutup lubang dihatiku.
“Ayah, ibu, aku mungkin tidak ingat akan kebersamaan yang sudah kita lalui bersama....”
“....Tapi aku yakin bahwa kalian selalu berada disisiku dan mengawasiku.”
“Tenang saja, aku makan dengan teratur,’kok. Aku juga.... memiliki teman yang baik dan juga peduli padaku. Pokoknya, aku baik-baik saja. Jadi, aku.... pasti takkan pernah membuat kalian khawatir lagi, apapun yang terjadi.” Aku tersenyum sembari menaruh bunga di antara kedua batu nisan mereka.
Setelah itu, aku memanjatkan doa lalu kembali menghampiri Anita yang menungguku di depan mobil. Dia menyambutku dengan senyuman sembari sedikit melambaikan tangannya.
Aku dan Anita memasuki mobil. AC mobil yang dingin terasa menyengat dan sangat berbeda dengan suasana panas di luar. Setelah apa yang baru saja terjadi, terasa begitu canggung untuk memulai percakapan antara aku dengannya. Tapi, kurasa sudah tanggung jawabku untuk mengatakan satu hal.
“Terima kasih.”
“Tidak, kau tidak perlu berterima kasih padaku.” Anita bergeleng sembari memejamkan kedua matanya. “Lalu bagaimana? Apa kau akan kembali tinggal di rumah lamamu?” Pertanyaannya yang begitu tiba-tiba membuat diriku hampir tersedak. Itu adalah sebuah pertanyaan yang sama sekali tak pernah kuduga sebelumnya.
“Tu-tu-tunggu dulu, tahan dulu, bukankah ini berarti aku dan kau akan tinggal satu atap?” Dengan wajah yang merah padam, aku menengok kearahnya sembari bergeser menjauhinya karena merasa canggung untuk menjawab pertanyaannya.
“Apa ada masalah?” Dengan polos dan santainya, Anita melontarkan pertanyaan itu. Seakan tak ada keanehan sama sekali dengan keadaan yang baru saja kujelaskan padanya.
“Yah, bukannya aneh jika ada dua orang yang tidak memiliki hubungan darah seperti kita tinggal satu atap. Dan lagi, nanti tetangga pasti akan mulai bergosip, lalu mungkin akan ada pencidukan, dan akhirnya kita akan mendapat bad end dan lalu....”
Setelah mendengar omelanku, Anita malah tertawa dengan lembut. Aku semakin dibuat bingung oleh tawanya. “Maaf, maaf. Aku tidak menyangka bahwa kau akan bereaksi sampai seperti itu.” Dia menengok ke luar jendela selama sesaat lalu menengok kearahku sembari bersenyum seakan dia sudah merencanakan semua itu “Sebenarnya, beberapa hari yang lalu rumahku sudah selesai diperbaiki. Tapi bukannya pindah, aku malah kebablasan tinggal di rumahmu. Te hee.”
“’Te hee’ apanya?! Kau malah membuatku super salting.” Aku menghela napas panjang lalu berpangku dagu sembari menatap ke luar jendela. “Entahlah, aku tidak tahu apakah sebaiknya aku kembali atau tidak. Dan lagi, ini terlalu mendadak dan aku belum memberi tahu siapapun. Aku tidak bisa begitu saja bilang kesemuanya bahwa aku akan pindah.”
“Begitu ya, kalau begitu keputusanmu, maka aku akan menerimanya dengan senang hati.”
“....Jadi, sampai kau memutuskan untuk pindah ke sana, maka aku akan siap menunggumu kapanpun.”
“Terima kasih, Anita.”
***
“Assalamualaikum”
Zaki membuka pintu dan memasuki sebuah toko roti sederhana. Suara bel yang berbunyi sesaat Zaki membuka pintu terdengar dengan sangat jelas. Sebuah toko roti yang nampak sedikit bergaya kuno dan tua. Aroma roti yang sudah biasa diciumnya di toko itu sudah tidak membuatnya merasa terkejut. Toko yang sepi pengunjung serta tanpa adanya satupun pegawai yang bekerja di toko tersebut.
Mendengar suara bel, orang yang sedang terduduk disebuah kursi di pojok ruangan sedikit menurunkan koran yang sedang dibacanya untuk melihat seseorang yang datang berkunjung ke tokonya. Mengetahui bahwa Zakilah yang berkunjung, dia dengan acuhnya menyeruput secangkir kopi lalu menaikkan korannya kembali “Waalaikumsalam”
Zaki dengan santainya bersiul sembari menghampiri orang tersebut, lalu duduk di kursi di sebelahnya. Sesaat setelah Zaki duduk, orang itu langsung berbalik membelakangi Zaki seakan tak menganggap keberadaannya sama sekali. Merasa diejek, Zaki berdiri lalu berjalan menghadap orang tersebut. Dia genggam koran itu dan sedikit mendorongnya kebawah. Namun, dia mendapat perlawanan. Mereka terus berseteru seperti itu sampai akhirnya koran tersebut sobek menjadi dua.
“Zakarya, anak ini ya....” Dia berdiri lalu menaruh kopi miliknya di kursi dimana dia duduk tadi. Dia gulung koran yang sudah terbagi menjadi dua kubu tersebut, lalu menyerahkannya kepada Zaki.
“Eh?! Tu-tunggu dulu, paman... aku tidak bermaksud—aku hanya ingin bertanya mengenai Dimo.” Zaki dengan kakunya menatap Paman Tedi yang perlahan menghampiri dirinya. “O-oh ya, ba-bagaimana jika nanti aku  beli satu rotimu? Tidak?! Bagaimana jika dua? Tidak?! Ba-bagaimana ji-jika ku lem kembali koran ini.”  Zaki mengangkat koran yang digenggamnya sembari tersenyum kecut dan keringat yang dengan deras mengalir turun. Saat itu pikirannya benar-benar kosong karena tekanan yang diberikkan oleh Paman Tedi. Satu-satu kata yang tersirat disaat itu adalah “(Mati dah aku.)”
Instingnya mengatakan bahwa dia harus segera kabur dari tempat itu. Dengan sendirinya, kakinya melangkah maju menuju ke pintu depan. Adrenalinnya terpicu dengan kencang. Meski tubuhnya merinding karena merasakan bahaya yang ditimbulkan oleh raja iblis di belakangnya, hanya ini yang bisa dia lakukan.
Dia meraih kenop pintu dan membuka pintu dengan segenap kekuatannya. Zakipun berhasil melangkah keluar dan hendak akan mengeluarkan langkah seribunya, namun Paman Tedi berhasil mengunci pergerakkannya dengan menangkap kedua tangan Zaki.
Disaat mereka berdua sedang sibuk dengan perseteruan mereka, sebuah mobil melintas dengan pelannya menuju kearah yang sama dengan lokasi dimana rumah containerku berada. Zaki dan Paman Tedipun langsung terdiam sesaat setelah melihat diriku yang perlahan keluar dari dalam mobil diikuti dengan Anita.
“Itukan.... Dimo?” Zaki yang sudah terlepas dari genggaman Paman Tedi hanya terdiam kaku karena tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Kukira dia sudah pulang, tapi aku tidak bisa menemukannya. Jadi kupikir aku akan bertanya kepada paman, tapi ternyata dia masih bersama dengan anak baru yang cantik itu ya.”
“(Tunggu dulu, jangan-jangan mereka pacaran?! Bagaimana mungkin.... orang seperti Dimo.... bahkan orang sepertiku saja belum punya pacar.....)” Zaki berlutut kecewa karena masih tidak percaya dengan apa yang sudah dilihatnya.
“Bukankah sudah wajar?”
Zaki menengok—Paman Tedi yang bersandar di pintu sembari menyeruput secangkir kopi. “Lagipula, mana ada cewek yang mau sama orang random sepertimu Zaki.” Paman Tedi menyeringai mengejek Zaki, lalu berjalan mengambil koran yang sebelumnya terjatuh di tanah saat Zaki tertangkap olehnya.
“Lucu sekali, Paman sendiri masih melajang, padahal Paman sudah bau tanah. Sebuah ironi yang keluar dari seorang jomblo abadi seperti Paman.” Zaki kembali berdiri lalu bersandar dikaca toko sembari memejamkan mata seakan membalas ejekan pamannya tadi. Mereka terus menatapku dan Anita yang sedang berbincang-bincang seperti seorang macan yang sedang mengawasi mangsanya.
“Pokoknya, jika kau sudah memutuskannya, bilang saja kepadaku.” Anita tersenyum tulus.
“Y-ya, baiklah.” Aku membalas senyumannya lalu mengulurkan tanganku “Aku bersyukur, bisa bertemu denganmu, Anita.”
Tiba-tiba, Anita langsung berjalan menghampiriku dan memelukku dengan erat “Aku juga.”
Melihat itu, Zaki dan Paman Tedi langsung membeku seakan menjadi kopong. Namun sebenarnya, didalam hati mereka, mereka berdua berteriak dengan sangat kencang karena sangat iri dengan apa yang sedang terjadi kepadaku.
“Ka-kalau begitu, sampai jumpa besok Anita.” Anita melepaskan pelukannya lalu melangkah mundur dengan riangnya.
“Sampai jumpa, Dimo.” Dia melambaikan tangannya dengan riang dan wajah penuh senyuman lalu masuk kedalam mobil. Tak lama setelah Anita pergi, tiba-tiba ada seseorang yang berlari kearahku lalu menendangku dengan kencang.
“Apa-apaan kau ini, Zaki?” Aku kembali bangun lalu membersihkan celanaku yang kotor karena ditendangnya tadi.
“Kau yang apaan. Enak sekali baru kenal sehari tapi sudah punya pacar.”
“Pa-pacar?! Di-dia bukan pacarku. (Yah walaupun syukur sih kalau beneran begitu. Lagipula, kurasa dia cukup manis.)”
“Cih, dasar pembohong. Kalau mau pamer sih bilang saja.” Zaki menendang kakiku lalu menepuk-nepuk punggungku dengan kencang.
“Aku tidak berbohong. Dan juga, bisakah kau berhenti menyiksaku?” Aku menangkap tangannya lalu membalasnya dengan memelintir tangannya.
“O-o-o-oke, berenti coy, sakit.”Aku melepas tangannya lalu mundur untuk berjaga-jaga agar tidak ada balasan darinya.
Meski begitu, kurasa aku tidak bisa melupakan begitu saja ajakannya untuk kembali tinggal di rumah lamaku. Aku tidak tahu mana keputusan yang benar. Kembali ke rumah yang lama atau tetap tinggal di sini. Aku, tak bisa memutusaknnya.
“Ada apa? Kau terlihat seperti sedang ada banyak pikiran. Lagipula, sebenarnya apa yang terjadi antara kau dan gebetanmu itu?”
“Tidak, sebenarnya....”
“Jadi begitu. Lalu bagaimana? Apa kau akan benar-benar pindah?” Zaki duduk di teras depan rumahku lalu berbaring sembari mengemut sebuah permen.
“Entahlah. Aku kurang yakin.” Aku menghampirinya lalu duduk di sebelahnya.
“Apanya yang salah? Lagipula itu adalah rumah dimana kau seharusnya berada, bukan?” Zaki bangun lalu menengok kearahku.
“Aku tahu, tapi... hanya saja....”
***
Dua hari kemudian, saat dikantin, aku sedang memakan uduk bersama Anita. Keadaan masih begitu canggung hingga tak ada satupun dari kami yang sanggup memulai pembicaraan. Dia sesekali menengok kearahku dan sempat membuka mulutnya, namun dia mengurungkan niatnya setelahnya.
Suasana kantin begitu ramai hingga membuat semua meja makan yang ada penuh. Dipenuhi oleh suara langkah kaki dan suara orang-orang yang sedang mengobrol. Antriannya juga panjang dan ramai, murid-murid berlomba berebut antrian demi mendapatkan makan siang mereka. Di dalam suara-suara tersebut, terdapat suara dari orang yang begitu kukenal sedang berjalan kemari. Seperti biasa, dia melewati antrian kantin dengan santainya sembari membawa bekal miliknya. Dia berlagak dengan bangganya berjalan menuju kearahku sementara dua orang di belakangnya sedikit menunduk karena merasa malu oleh ulahnya.
“Yo Dimo, lagi pacaran? Ngajak-ngajak, dong.” Zaki melambai kearahku dengan wajahnya yang tersenyum lebar dan kedua matanya yang tertutup seakan menambah kesan ramah yang ditampilkan diwajahnya. Tapi aku tahu betul bahwa dia sangat berniat untuk menyindirku. Sementara itu, Leila dan Sindy yang berjalan di belakangnya langsung tertegun saat mendengar kata ‘pacar’ yang di lontarkan Zaki.
Aku langsung berdiri lalu menarik napas dalam-dalam, aku tunjuk dia lalu berkata “Diam kau, dasar jomblo ababil.”
Zaki terdiam sejenak, lalu tertawa dengan sangat kencang. Suara tawanya tak kalah kencang dengan suara keramaian kantin sementara Leila dan Sindy yang malah terdiam kebingungan saat melihat tawa Zaki “Bukankah kau sama saja, Dimo?” Seakan mengabaikan Zaki, Leila dan Sindy berjalan melewatinya lalu menghampiri meja makanku.
Namun, tiba-tiba Anita berdiri “Maaf Dimo, aku lupa kalau ada yang harus kulakukan.” Dia merapihkan bekalnya lalu berjalan pergi meninggalkan kantin dengan cepatnya.
“Eh?! Tunggu—” Aku melihatnya pergi tanpa bisa melakukan apa-apa. “(Kenapa dia? Padahal dia ingin kukenalkan kepada Zaki dan yang lainnya.)” Sementara Sindy dan Leila yang mulai duduk di meja  makanku. Leila yang duduk di hadapanku dan Sindy yang duduk di sebelah kananku. Leila dengan wajahnya yang sedikit tertunduk dan Sindy yang dengan acuhnya memakan bekalnya. Lagi-lagi atmosfir ini muncul lagi, canggung.
Entah karena kenapa mereka tidak berbicara kepadaku dan hanya terdiam seakan menutupi sesuatu. Sesekali mereka melirik kearah dimana Anita sebelumnya pergi lalu melirik kearahku. Aku tidak tahu apa maksud sebenarnya dari mereka dan memutuskan untuk melanjutkan makan siangku. “Ada apa? Kenapa kalian canggung seka—” Zaki langsung menutup mulutnya saat Sindy dan Leila dengan sontaknya menengok kearahnya dengan tatapan yang sinis. Seakan langsung terdapat tanda silang di mulutnya dan dia langsung dengan tenangnya duduk di sebelah Leila.
Sindy menghela napas panjang lalu menengok kearahku “Kau benar-benar payah dalam hal percintaan ya. Bukankah kau seharusnya mengejarnya? Kau’kan pacarnya?” Nada datar yang keluar dari mulutnya seakan mengatakan bahwa saat ini dia sedang berbicara serius kepadaku.
“Yah, tapi....”
“Tunggu apa lagi?” Sindy dengan cepatnya langsung berdiri dan menghadap kearahku. Aura mengintimidasi yang keluar darinya membuatku secara tak sadar mundur hingga akhirnya mentok di tembok.
Disaat dia menatapku dengan dalamnya, aku langsung menutup wajahku lalu berkata dengan cepatnya “Maafkan aku yang mulia Sindy tapi aku bukan pacarnya.” Tiba-tiba suasana mencekam yang tadi muncul langsung hangus dan berubah menjadi sesuatu yang lain. Sebuah suasana yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Saat aku membuka wajahku, nampak wajah Sindy yang berubah menjadi tenang dan sedikit memerah serta Leila yang wajahnya terangkat. Sementara di ujung meja, aku melihat Zaki yang memegangi perutnya karena tak kuasa menahan tawanya.
Kalau dipikir-pikir lagi, semua kesalah pahaman ini memang berawal darinya. Karena dia berkata bahwa Anita adalah pacarku yang membuat Sindy dan Leila menjadi salah paham. Zaki sialan itu benar-benar tau bagaimana caranya untuk mempermainkan perasaan orang lain.
“Jadi, kau dan dia...” Sindy menunjuk kearahku lalu menunjuk kearah dimana Anita pergi.
Aku memejamkan kedua mataku lalu bergeleng “Tidak pacaran.” Sindy langsung mundur dengan lemasnya lalu duduk dan melamun seakan merasa malu dengan apa yang sudah dilakukannya tadi. Sementara wajah Leila yang sebelumnya nampak murung kembali menjadi cerah dan merona.
“Kalau begitu, hubungan kalian....” Leila membuka bekalnya lalu sembari bertanya kepadaku. Nampak rasa ingin tahu yang besar terpancar dari wajahnya. Aku bahkan bisa menyadarinya hanya dengan sekali melihat wajahnya.
“Sebenarnya begini.....”
 “Jadi, dia adalah teman masa kecilmu....?”
“Begitulah. Tapi rasanya memang aneh ya, mengenal seseorang tanpa ingat sama sekali mengenai orang tersebut.” Aku berpangku dagu sembari melipat bungkus nasi uduk yang sudah selesai kukakan. Lalu kulempar  bungkus tersebut ke tempat sampah. “Sebenarnya tadi aku berniat untuk memperkenalkannya kepada kalian, tapi dia malah pargi.”
“Mungkin dia merasa bersalah setelah melihat reaksiku dan Leila setelah Zaki berkata bahwa dia adalah pacarmu.” Sindy menatap Zaki dengan sinisnya lalu menginjak kaki Zaki dengan kencang.
“Sudahlah, maafkan aku. Mana kutahu kalau akan menjadi seperti ini.” Dia memang bilang bahwa dia meminta maaf, namun ekspresinya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia menyesal sedikitpun. Dia malah sempat menutup mulutnya karena tak kuasa menahan tawa saat mengingat kejadian tadi. Melihat ekspresi Zaki, Sindy lagi-lagi menginjak kaki Zaki dan membuat tawanya langsung menghilang.
“Selama ini, dia tak punya teman selain aku. Bahkan saat aku menghilang, dia terus menungguku, dia terus menungguku selama bertahun-tahun. Meski begitu, dia terus percaya bahwa suatu hari dia pasti akan bertemu kembali denganku.”
“Tapi yang bisa kukatakan kepadanya saat aku bertemu dengannya, pasti begitu menyakitkan baginya.”
“Jadi aku ingin, menebus kesalahanku. Aku ingin dia punya banyak teman dan dapat menikmati masa mudanya seperti remaja pada umumnya.”
~BERSAMBUNG~

No comments:

Post a Comment