Selamat datang di KnK Land. Mari menguasai dunia bersama kami. Disini kalian bisa menemukan ratusan postingan berbahaya dari penulis-penulis kami. Selamat menikmati situs yang hidup ini.




Monday, August 20, 2018

Start Point - Chapter 16 : Selamat Tahun Baru

Sebelum membaca novel ini, sangat disarankan untuk membaca chapter sebelumnya terlebih dahulu.

Padahal baru bulan agustus, tapi malah udah tahun baru aja. Yah, anggep aja sekarang ini udah desember :v
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------





Start Point




Keesokan harinya.
Anita akhirnya siuman. Dia begitu terkejut saat menyadari bahwa saat ini dia berada di rumah sakit. Saat itu pukul 4 sore, dan matahari sudah mulai memancarkan cahaya keemasan, walau hanya sedikit. Dia menatap sebuah jam dinding yang letaknya tepat di pertengahan kasurku dan kasurnya. Menyadari bahwa waktu sudah sore, diapun bangun dan hendak akan turun dari kasur, namun dia langsung mengurungkan niatnya setelah aku tiba-tiba membuka gorden yang  memisahkan kasur diantara kami berdua.

Akibat gorden yang sudah terbuka, cahaya langsung menyinari wajah dan rambut putihnya. Cahaya tersebut begitu cerah sehingga memberikan warna kekuningan dirambutnya.
“Syukurlah, akhirnya kau sudah siuman.” Aku melemparkan sebuah apel dari kantung plastik yang kudapatkan dari Zaki. Dia menangkap apel tersebut dengan ekspresi polos nan bingung miliknya.
“Dimo, apa ini?”
“Apel, lho, apel.” Kuayunkan apel tersebut sembari tersenyum lebar dan mata yang disipitkan.
“Tidak, bukan itu maksudku. Kukira kau be—”
“Tenang saja. Aku sama sekali tidak benci kepadamu.” Potongku. “Lagipula, itu tidaklah sepenuhnya salahmu. Aku juga sudah tahu bahwa matamulah yang menarik monster-monster tersebut.” Aku mulai memakan apel tersebut sedikit demi sedikit. Bahkan suara yang kukeluarkan karena mulutku yang penuh dengan apel terdengar aneh.
“Begitu ya. Tapi seandainya saja kalau tidak ada aku, maka hal ini tidak akan terjadi.” Dengan murungnya, dia menggenggam apel tersebut dengan kedua tangannya. Terlihat jelas dari wajahnya yang tertunduk dan nada suaranya yang rendah.
“Tenang saja. Kau lihat, aku baik-baik saja. Jadi kau tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri.” Aku melompat turun dari kasur lalu melakukan sedikit senam. Aku berharap bahwa yang kulakukan ini bisa meyakinkannya. Diapun sedikit tertawa setelah melihat kelakuanku. Wajahnya yang mendung langsung berubah menjadi cerah. Jika diibaratkan, maka Anita adalah air hujan yang terbias dengan cahaya sehingga terlahirlah pelangi, yaitu senyumannya.
“Oh ya, aku sudah memutuskannya.”
“Memutuskan apa...?”
Kubuang sisa apel yang telah kumakan dan kembali kekasur. Aku baringkan tubuhku dengan santainya seakan tak ada beban sama sekali. Dengan kepala yang berpangkukan tangan, kutarik napas dalam-dalam lalu menengok kearahnya “Aku akan menerima permintaanmu untuk pindah kembali.”
Anita nampak terkejut setelah mendengar jawabanku. Dia sama sekali tidak mengira bahwa aku akan menjawabnya secepat ini. Mulutnya sempat terbuka untuk sesaat lalu dia mulai tersenyum “Sungguh? Syukurlah. Aku senang kau bisa kembali.”
Aku memutuskan hal ini bukan tanpa alasan. Alasan yang paling utama adalah rumah itu yang lokasinya berdekatan dengan rumah Anita sehingga memungkinkanku untuk menjaganya jika terjadi sesuatu.
“Oh ya, sebenarnya aku berniat untuk mengenalkanmu kepada teman-temanku.”
“Tu-tunggu, aku masih belum percaya diri.”
“Tenang saja, kau pasti bisa.” Aku mengangkat tangan kananku yang sedang memegang smartphone milikku. Dilayar smartphoneku, dengan jelas terlihat bahwa aku telah mengirim pesan kepada Zaki dan yang lainnya bahwa Anita sudah terbangun. Setelah beberapa saat melihat smartphoneku, wajah Anita mulai memerah. Entah seberapa kecil kepercayaan dirinya hingga membuatnya hingga seperti ini. Dia bahkan sempat panik sembari memegang dagunya dan membisikkan kata-kata yang samar-samar terdengar seperti mantra guna-guna agar dia mendapat kepercayaan diri.
Aku bersykur bahwa dia sudah tidak murung dan kembali ceria seperti biasanya. Menurut Pak Bum, tak lama setelah aku pingsan, kondisi tubuh Anita langsung memburuk karena telah menggunakkan cursed eye. Sebagai ganti mana, cursed eye menyerap energi kehidupannya hingga membuatnya sangat lelah. Sehingga bisa disimpulkan bahwa dia tak bisa terus-menerus menggunakkan cursed eye. Maka dari itu, nyawanya akan terancam jika dia terus bergantung kepada kekuatan cursed eye.
Sudah lewat dari sepuluh menit berlalu. Zaki, Leila dan Sindypun akhirnya tiba. Anita langsung berhenti bergumam setelah mengetahui kehadiran mereka dan langsung berubah menjadi tegang. Bahkan denagan gugupnya dia berusaha untuk memperkenalkan diri.
“Pe-perkenalkan namaku Anita Sa—”
Tiba-tiba Leila melompat memeluknya—sehingga membuatnya langsung terdiam. Gadis berambut putih itu sama sekali tidak menduga bahwa hal ini akan terjadi. Leila melepaskan pelukannya lalu tersenyum manis “Namaku Leila Fitriyani, aku sangat senang bisa berkenalan denganmu Anita.” Dengan riang gembira, Leila memperkenalkan dirinya. Diikuti oleh Zaki dan Sindy yang tepat ada dibelakangnya.
Tak lama kemudian Sindy menengok kearahku dengan tatapan yang serius. Dia menghampiriku lalu mengambil sebuah kursi untuk dia duduki. Namun sebelum duduk, dia dengan cekatan langsung menutup gorden yang memisahkan ranjangku dan ranjang Anita.
“Apa kau sudah memberitahunya?”
“Tidak, belum. Ternyata aku masih belum sanggup memberitahunya.”
Sesaat sebelum Pak Bum dan yang lainnya pergi, Pak Bum sempat terhenti dan memberitahu satu hal. Satu hal fatal yang begitu membuat kami terkejut. Hal itu adalah :
Oh ya, aku hampir lupa. Jika cursed eye terus berada ditubuhnya, maka kurasa sisa hidupnya takkan lebih dari satu setengah tahun.
Hal itu membuatku, Zaki, Leila dan Sindy sempat berdiskusi dan memutuskan untuk mencari waktu yang tepat untuk memberitahunya hal itu. Pada awalnya, kami berniat untuk memberitahunya secepat mungkin. Namun, semuanya langsung ragu setelah melihat senyuman Anita karena mereka tak ingin menghapus senyuman itu sedikitpun.
Kalau dipikir baik-baik, sudah hampir setahun sejak dentuman besar terjadi. Maka dari itu waktu yang tersisa bagi dia dan bagi kami untuk memberitahunya hanya setengah tahun atau lebih. Kurun waktu itu juga berlaku bagi ERASER yang saat ini sedang mencari penyelesaian dari masalah ini.
“Sampai kapan kau akan merahasiakan hal ini?”
Aku terkejut. Sindy tiba-tiba bertanya kepadaku yang sedang melamun. Pertanyaannya yang lantang itu langsung membuat wajahku terdongkak dan menengok kearahnya.
“Entahlah....”
“Kita tidak bisa terus seperti ini Ra—Dimo. Kita harus memberitahunya sesegera mungkin.”
“Aku tahu itu!” Kucengkram selimut sekuat yang kubisa. Meski aku tahu bahwa tindakkan yang kulakukan saat ini tidaklah bijak, aku tidak punya pilihan lain. Sementara itu Sindy yang begitu terkejut setelah mendengar bentakkanku hanya bisa terdiam membeku. “Hanya saja, saat ini, aku tak ingin menghapus senyumannya begitu saja. Aku tak ingin senyuman tulus itu berubah menjadi senyuman sesaat.” Kupaksakan senyuman ini kepadanya. Sebuah senyuman yang sekilas terlihat memelas.
“Baiklah, aku mengerti.” Dengan nada yang sedikit datar dan ekspresi senyumnya, dia menjawab. Aku tahu bahwa nada suara yang dikeluarkannya setiap dia berbicara memang selalu datar, namun entah mengapa kali ini aku merasa ada sesuatu yang berbeda.
Beberapa detik kemudian, Zaki sedikit menggeser gorden. Dengan ekspresi penuh keingin tahuannya. Termasuk Leila dan Anita yang menghentikan obrolan mereka dan menengok kearahku dan Sindy “Ada apa, Dimo? Kenapa kau tiba-tiba membentak?” Tanya Zaki.
“Tidak, bukan apa-apa.”
Dengan kompaknya, kami berdua menjawab pertanyaan Zaki sembari menggelengkan kepala. Melihat tingkah kompak kami, Zaki mulai menyeringai. Seakan ada ide kotor lainnya yang baru saja terlintas dipikirannya “Oh, jangan-jangan pertikaian rumah tangga?” Dengan santainya dia bertanya sembari mengeluarkan nada mengejek.
“Siapa yang pertikaian rumah tangga, hah?”
Lagi-lagi kami kompak. Menyadari kekompakan kami, kamipun langsung menengok kearah satu sama lain. Kami tak menyangka jawaban kami lagi-lagi malah menjadi bumerang. Bukannya memperbaiki keadaan, malah lebih memperkeruhnya. Bahkan Zaki menjadi semakin menyeringai “Tuh kan, intuisiku tak pernah sala—” Tiba-tiba sebuah bantal terlempar dan berhasil mengenai wajahnya hingga membuat dirinya terjatuh dari kursi. Itu adalah bantalku dan akulah yang melemparnya.
“Intuisi apanya? Kau hanya ingin mengejekku bukan?” Aku berdiri lalu mengambil kembali bantal tersebut. Disaat kami sedang bertengkar, Anita dan Leilapun tertawa. Mereka tak kuasa menahan tawa mereka melihat pertikaian antara aku dan Zaki. Kami baru menyadari tawa mereka disaat aku telah menaruh kembali bantal tersebut seperti semula. Kami bertiga menatap satu sama lain lalu ikut tertawa.
***
Pukul 5 sore.
Satu jam sudah berlalu sejaki Zaki dan yang lainnya tiba menjenguk. Karena sudah sore, merekapun pulang.
Di perjalanan pulang, tiba-tiba Zaki terhenti. Leila dan Sindy yang menyadari perilaku Zaki langsung berbalik. Leila menghampirinya lalu bertanya “Maulana? Ada apa? Apa ada barangmu yang tertinggal di rumah sakit?” Namun Zaki hanya terdiam seribu bahasa sembari menunduk. Remaja berambut cokelat itu membuang pandangannya dari mereka. Tak lama kemudian dia menghela napas lalu mengangkat kembali wajahnya.
“Terima kasih.”
“Berterima kasih untuk apa?” Sindy menghampirinya. Pertanyaannya yang dikeluarkan dengan nada datar itu sempar membuat Zaki mengurungkan niatnya. Namun tidak, dia sudah berniat melakukan ini sejak mereka pertama kali bertemu.
“Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku melihat Dimo tertawa seperti itu. Dulu sekali, sebelum dia bertemu dengan kalian, dia adalah orang yang murung dan pendiam. Dia terus terbayangi dengan insiden itu dan menutup dirinya dari dunia luar.” Nampak alisnya berkerut dan wajahnya terlihat sedih. Bahkan Sindy dan Leila tak dapat melihat sedikitpun kebohongan terpancar dari wajahnya “Namun, sejak bertemu dengan kalian, aku sudah mulai bisa melihat perubahan sikapnya.”
“Aku tahu ini terdengar egois dan aku semata-mata terlihat seperti sudah memanfaatkan kalian. Jadi, apapun jawaban kalian, aku pasti akan menerimanya.” Zaki kembali menunduk lalu memejamkan kedua matanya.
Sindy dan Leila hanya bisa terdiam. Keadaan begitu canggung dan mereka tak tahu bagaimana caranya untuk bisa menanggapi pernyataan Zaki. Namun, Sindy yang awalnya terdiam, mulai menghampiri Zaki dengan ekspresi datarnya. Zaki yang menyadari kedatangan seseorang sedikit membuka matanya. Disaat Sindy mulai mengangkat tangannya, dia kembali memejamkan matanya karena dia tahu bahwa tindakan egoisnya tak mungkin bisa diterima begitu saja.
Dia sudah menyiapkan dirinya untuk menerima satu atau dua tamparan, bahkan mungkin lebih.
Namun, bukan tamparan yang dia dapatkan. Dia menyadari situasi dan mulai membuka kedua matanya. Sindy tersenyum dengan tulus nan indahnya sembari memegang pundak Zaki.
“Jangan khawatir. Lagipula kita ini teman.” Senyumannya yang dihiasi oleh cahaya kekuningna di sore hari membuat senyumannya nampak begitu menawan.
“Ya, benar. Kami pasti akan selalu siap membantumu dan Dimo.” Leila menghampiri Zaki dengan riang gembira seakan Zaki tidak bersalah sama sekali.
“Terima kasih.... aku bersyukur bisa berteman dengan kalian.”
***
Dua hari kemudian, aku dan Anita sudah boleh dipersilahkan untuk pulang. Hari itu mendung dan begitu dingin. Awal desember adalah saat-saat dimana hujan biasa turun dan cuaca menjadi mendung. Bahkan tak jarang terjadi banjir di area tertentu di kota ini.
Saat itu kami sedang menunggu tumpangan dari Zaki. Sebelumnya aku telah menelponnya untuk menjemput kami berdua, namun aku sama sekali tak menduga bahwa ini akan memakan waktu lebih lama dari yang kubayangkan. Aku menengok kearahnya. Walau sudah lewat beberapa hari, namun nampaknya dia masih merasa bersalah karena penyerangan itu. Wajahnya masih nampak murung dan mendung. Kulepas syal milikku lalu mengalungkannya kepadanya.
Anita yang sebelumnya sedang melamun baru menyadari syal tersebut tak lama setelah kupakaikan kepadanya. Dia menengok kearahku dengan wajah polos nan bingungnya “Sejak kapan...?”
“Hari ini begitu dingin, jadi sebaiknya kau mengenakkan itu.”
“Tapi bagaimana denganmu?”
“Tenang saja, bagi lelaki sepertiku, dingin bukanlah masalah.” Aku tersenyum lebar sembari menggesek-gesekkan kedua tanganku agar hangat. Tak lama kemudian, Zakipun tiba. Dia memarkirkan motornya tepat dihadapan kami berdua dan sedikit menghalangi jalur dimana kendaraan biasa berlalu. Bahkan dengan santainya dia duduk di motornya sembari melepas helmnya dan bersiul. Entah reaksi seperti apa yang harus kukeluarkan saat itu atas apa yang baru saja dilakukannya. Namun saat itu aku merasa sangat malu karena ulahnya.
Aku berjalan menghampiri Zaki dengan wajah yang tertunduk. Sementara Zaki mengambil helm yang akan kugunakkan yang sebelumnya dia gantung di jok motornya. Tiba-tiba wajahku terdongkak seketika teringat dengan Anita. Aku belum bertanya kepadanya mengenai dengan siapa dia akan pulang. “Oh ya Anita, kenapa kau tidak pulang bersamaku dan Zaki saja? Motor ini masih muat untuk satu orang lagi, kok.”
“Ah, maaf, tapi nanti Pak Alfred sebagai supirku akan menjemputku.” Dia menggelengkan kepalanya perlahan. Dengan matanya yang tertutup dan alisnya yang sedikit terangkat, dia tersenyum kaku.
“Kalau begitu, sampai jumpa jam 3 sore nanti ya.” Kukenakkan helm yang diberikan Zaki lalu menaiki motornya. Kulambaikan tanganku sesaat setelah motornya sudah mulai berjalan. Kulambaikan tanganku hingga akhirnya aku dan Zaki berbelok dan pergi meninggalkan Anita.
“Jam 3, ya....” Anita mengambil smartphonenya dari dalam kantung jaketnya lalu menatap jam yang terdapat dilayarnya.
***
Pukul 3 sore.
Mobil bak yang dikendarai Paman Tedipun tiba di depan rumah lamaku dengan aku yang berada bersamanya. Mobil tersebut membawa barang-barang milikku dari rumah kontainerku. Barang-barang tersebut seperti lemari, meja, pakaian dan masih banyak lagi.
Sesaat setelah mobil sudah diparkirkan, Anita keluar dari dalam rumah dan menyambutku dan Paman Tedi. Sementara itu, Zaki yang membuntutiku menggunakkan motornya, langsung memarkirkannya dan berlari memasuki rumahku seakan rumah tersebut rumahnya sendiri.
Entah mengapa, aku mendapat firasat bahwa dia akan langsung segera mengacak-acak rumahku. Akupun langsung berlari mengejarnya memasuki rumah dan mencegahnya untuk tidak melakukan hal yang sembrono.
Namun, yang kudapatkan hanyalah Zaki yang sedang terduduk lemas di sofa. Aku bertanya-tanya kemana hilangnya semangat miliknya tadi sampai akhirnya kusadari bahwa kulkas yang ada di dapur terbuka lebar. Kuhampiri kulkas tersebut lalu menutupnya.
“Kulkasnya... kosong.” Gumam Zaki.
“Tentu saja kosong, memangnya apa yang kau harapkan?” Aku kembali keluar dari dapur lalu berjalan kembali keluar rumah karena kurasa semuanya akan baik-baik saja selagi Zaki tak mendapatkan semangatnya kembali.
Anita yang melihatku keluar dari dalam rumahpun menghampiriku “Dimana Zakarya?”
“Di dalam, sedang merenungi nasibnya.”
“Dimo, kemarilah! Bantu aku mengangkat barang-barangmu ini.”
Aku mendengar suara panggilan dari Paman Tedi yang sedang berusaha mengangkat barang-barang milikku. “Baik.” Aku berlari menghampiri Paman Tedi lalu membantunya.
Kamipun mulai mengangkut barang-barang dan memasukkannya kedalam rumah. Satu jam kemudian, Sindy dan Leilapun tiba. Sebelumnya, mereka berniat berangkat bersama kami, namun karena suatu alasan, mereka menjadi terlambat satu jam.
Berjam-jam berlalu tanpa kami sadari. Dan akhirnya seluruh barang telah berhasil diangkut kedalam rumah.
“Akhirnya.... selesai juga.” Kujatuhkan tubuhku yang letih kesofa dan berbaring diatasnya. Empuknya sofa seakan langsung membuat rasa letihku lenyap.
“Rumahmu besar ya.”
Aku angkat tubuhku dan duduk di sofa. Kutengok sumber suara itu berasal yang ternyata adalah Sindy yang sedang duduk di sofa sembari terus mengganti channel tv.
“Ya, benar.” Aku bersandar sembari menengok keatas—menatap plafon ruang tamu yang sedikit berdebu.
“Hei...”Aku kembali tertunduk menatap Sindy yang memanggilku. Wajahnya yang tertunduk dan sedikit memerah. Poni rambutnya yang menutupi matanya membuatku tak tahu ekspresi seperti apa yang sedang dikeluarkannya saat ini. “Ka-kau tahu, dulu kau pernah bilang bahwa kau punya teman yang sangat suka bermain game, namun dia memiliki kemampuan yang payah,’kan?”
“Ya.... kurasa aku memang berkata seperti itu.” Aku menggaruk rambutku sembari melirik keatas. Entah mengapa aku tak sanggup menatap wajah Sindy. Saat ini, aku merasakan sebuah suasana yang sangat canggung diantara kami berdua. Aku bahkan sama sekali tidak mengerti mengapa Sindy tiba-tiba menanyakan hal itu.
“Apa jangan-jangan.... kau ini Ram—”
“Wah....”
Tiba-tiba suasana canggung langsung pecah bersamaan dengan munculnya suara Zaki. Sindy yang sebelumnya menunduk langsung terangkat dan menengok kearah suara Zaki berasal. Zaki sedang bersembunyi di balik sebuah sofa yang arahnya bertolak belakang dengan arah dimana sofaku menghadap. Sementara Leila dan Anita yang berdiri di belakangnya. Wajah Leila yang nampak merah merona sementara Anita yang wajahnya begitu tenang seakan tak bisa mengerti situasi yang sedang terjadi.
Aku perlahan berjalan mengendap-endap menghampiri sofa dimana Zaki bersembunyi, lalu kudorong sofa tersebut sehingga jatuh menimpa Zaki dan kunaiki sofa tersebut sehingga dia tidak bisa bangun kembali. “Sudah kubilang untuk berhenti melakukan candaan itu! Apa kau sudah bosan hidup?”
“Maaf, maaf, iya aku kapok! Pokoknya angkat dulu sofa ini.” Kata Zaki dengan nada suara seperti orang yang sedang sesak. Dia menepuk-nepuk sofa tersebut sembari mencoba mangangkatnya, namun dia tak sanggup. Dia tidak tahu bahwa saat itu sofanya sedang kutindihi.
Merasa sudah cukup puas membalasnya, aku turun dari sofa lalu kuangkat sofa tersebut. Akupun kembali duduk disofa sembari menghela napas panjang. Sementara Zaki kembali berdiri dan membersihkan pakaiannya.
Aku teringat kembali dengan kata-kata Sindy. Andai saja dia dapat menyelesaikan kata-katanya, aku mungkin bisa mengerti apa maksudnya. “Oh ya, Sindy, tadi kau mau bilang apa?”
“Ti-tidak, bukan apa-apa.” Sindy dengan cepatnya merespon jawabanku sembari tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Namun rasanya ada yang aneh dari senyumannya.
“(Bukan apa-apa, ya.....)”
***
Beberapa hari kemudian.
Karena insiden penyerangan yang terjadi, murid-murid mulai menjaga jarak dengan Anita. Aku dan Dia menjadi terkenal karena kamilah satu-satunya korban dari insiden tersebut. Ditambah lagi, insiden penyerangan ini terjadi tak lama setelah dia masuk ke sekolah ini. Karena itulah mulai bermunculan gosip dan rumor mengenai Anita.
Saat itu kami sedang istirahat di kantin sekolah. Seperti biasa, semuanya membawa bekalnya masing-masing terkecuali aku. Namun Zaki lupa membawa bekalnya dan meninggalkannya di dalam tasnya yang ada di kelas.
Sembari membuka bungkus dari roti yang baru saja kubeli, aku melihat Anita yang hanya tertunduk terdiam menatap bekalnya. Nampaknya dia terpikir dengan segala gosip dan rumor buruk mengenai dirinya. “Tenang saja, tak usah pikirkan perkataan mereka.”
“Maaf, hanya saja....” Wajahnya langsung terdongkak menatapku sembari tersenyum kaku. Dia menggaruk pipinya dengan jari telunjuknya. Senyuman kakinya yang begitu nampak membuatku sadar bahwa dia begitu memikirkan rumor dan gosip buruk mengenai dirinya.
“Yo, semuanya. Maaf sudah membuat kalian menunggu.” Zaki datang dengan napas yang berantakan. Itu membuatnya terlihat bahwa dia baru saja berlari kesini dengan sekuat tenaga. Meski begitu, tak ada seorang pun terkecuali Leila yang membalas salam Zaki dengan riang. Leila jugalah satu-satunya yang tidak memakan bekalnya demi menunggu Zaki
“Walah, kalian semua kejam karena tidak menungguku.” Zaki duduk di sebelah Leila “Lihat, hanya Leila yang baik padaku.” Zaki menunjuk Leila yang sedang mulai membuka bekalnya. Menyadari itu, Leila tersenyum sembari memberi jempol.
“Oh ya, ngomong-ngomong tadi di kelas kudengar harga Happyland untuk malam tahun baru nanti akan diskon.” Zaki mulai membuka bekalnya.
“Sungguh?” Tanya Leila dengan penuh Antusias.
“Ya, tadi aku sempat mencari informasi dari web resmi Happyland, dan ternyata itu benar.” Zaki menaruh sendoknya kembali kedalam kotak bekal lalu merogoh kantung celananya untuk mengambil smartphone miliknya. Dia tunjukkan jadwal tersebut kepada kami satu-persatu.
“Coba kuperiksa.” Sindy mengulurkan tangannya kepada Zaki untuk mengambil Smartphone milik Zaki. Zaki berikan Smartphone itu lalu kembali melanjutkan makannya.
Sementara kami sedang asik membicarakan Happyland, Anita hanya terdiam sembari memakan bekalnya. Seakan dia berusaha menjaga jarak dari kami agar kami juga tidak terkena imbas dari gosip dan rumor buruk miliknya. ”Oh ya, bagaimana jika Anita juga ikut?”
Anita tertegun. Leila, Zaki dan Sindy yang sebelumnya sibuk mengobrol langsung menengok kearahku dan Anita. Merasa tak nyaman, Anita membuang muka dari kami lalu mencengkram rok miliknya. Dia sangat yakin bahwa takkan ada seorangpun yang setuju dengan usulanku. Tapi....
“Ide bagus! Makin banyak cewek makin mantep.” Zaki tersenyum lebar sembari mendongkak kearahku dan menepuk-nepuk pundakku.
“Boleh juga, mengapa tidak?” Sindy berpangku dagu sembari menatap Anita dengan senyum lembutnya.
“Ani...!” Leila langsung dengan cepatnya mendekati Anita lalu memeluknya.
Melihat reaksi mereka bertiga, Anita langsung menengok kearah mereka dan tidak membuang pandangan. Wajahnya menjadi merah merona dan matanya yang lesu berubah menjadi berbinar. Ekspresi mendungnya langsung terhapusakn dan digantikan dengan ekspresi yang begitu cerah seperti langit biru. Dia nampak begitu tak menduga bahwa dia akan mendapat reaksi seperti itu dari Zaki dan yang lainnya. Meski sudah beredar rumor dan gosip buruk tentangnya, mereka tetap menganggap Anita sebagai teman.
Dan begitulah, kami termasuk Anita setuju untuk merayakan tahun baru di Happyland.
***
Hari yang nantipun telah tiba.
Sebelum pergi berangkat, kami memutuskan untuk berkumpul terlebih dahulu di rumahku. Terlebih lagi, Anita yang tak terbiasa melakukan hal seperti ini. Karena itulah kami memutuskan rumahku sebagai tempat berkumpul. Kami akan berkumpul di rumahku pada pukul 19:00. Tentu saja, Anitalah yang pertama kali tiba di rumahku. Dengan mengenakkan jaket dan switer berwarna hitam, meski begitu, wajahnya nampak memerah karena gugup. Beberapa menit kemudian, Sindy dan Leilapun tiba. Sindy dengan kemeja berwarna merah dengan motif kotak-kotaknya serta celana levis berwarna hitam. Sedangkan Leila dengan kemeja putih yang dipadu riaskan dengan switer berwarna oranye.
Sepuluh menit kemudian Zaki akhirnya tiba. Dengan santainya ia melepas helmnya serta berjalan menghampiri kami sembari melambai-lambaikan tangan kanannya yang memegang 5 buah tiket menuju Happyland. Padahal, dialah yang memegang tiket, namun dia jugalah yang datang terakhir. Dengan pakaiannya yang nampak mencolok yaitu jaket berwarna hijau dan juga headphone yang terkalung di lehernya.
Di Happyland.
Aku, Sindy, Leila, Zaki dan Anita begitu terkejut saat melihat keramaian. Kami memang sudah tahu bahwa tempat ini akan ramai pada saat malam tahun baru, namun kami sama sekali tidak menduga akan seramai ini. Tempat ini sudah seperti permen yang dikelilingi oleh sekumpulan semut. Diantara kami berlima, Anitalah yang nampaknya begitu terkesima dengan keadaan seramai ini. Wajahnya memerah dan berkeringat dingin. Dia terus melirik kesana-kemari seakan saat-saat itu begitu langka baginya.
“Ada apa, Anita?” tanyaku.
Dia yang awalnya tak merespon pertanyaanku, langsung terdongkak saat aku menyentuh pundaknya. “Ti, tidak, bukan apa-apa. Hanya saja... ini pertama kalinya aku melihat orang seramai ini.” Anita menggeleng lembut sembari tersenyum kecut. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat melihat kerumunan orang sebanyak itu.
“Hei kalian berdua, lewat sini!” Zaki memanggil kami. Dia, Leila dan Sindy yang sedang mengantri untuk memasuki gerbang utama. Akupun mengangguk lalu menggandeng Anita menuju antrian melewati keramaian.
Pertama, kami menaiki wahana Rollercoaster. Kami berempat begitu antusias untuk menaiki wahana tersebut terkecuali Zaki. Disaat Rollercoaster sudah mencapai puncak, angin mulai berhembus kencang dan membuat sekujur tubuhku merinding. Semuanya terkecuali Zaki, mulai mengangkat kedua tangannya. Sementara semuanya mengangkat kedua tangannya, Zaki lebih memilih menunduk dan berpegangan kencang kepada pengaman, dia bahkan sampai membaca ayat kursi.
Semuanya berteriak begitu kencang saat Rollercoaster mulai melaju begitu kencang menuruni puncak rel. Angin berhembus begitu kencang meniup wajah dan pakaian kami. Suasana begitu riuh sekaligus menyenangkan, tentu saja hal ini tidak berlaku kepada Zaki. Disaat Rollercoaster mulai melaju, bacaan doanya semakin kencang. Bahkan dia sempat salah membaca doa dan hampir saja muntah akibat guncangan dari Roller Coaster. Disaat itu, wajahnya mulai memucat dan dia mulai melemas seperti daun.
Setelah menuruni Rollercoaster, Sindy, Leila dan Anita nampak begitu menikmatinya. Mereka terus berbincang-bincang mengenai wahana tadi. Sementara itu, aku membantu Zaki yang nampak pucat sejak menuruni wahana tersebut. Akupun membeli air minum dan memberikannya kepada Zaki agar dia merasa baikan.
Wahana selanjutnya adalah rumah hantu. Zakilah yang dengan bangganya menyarankan wahana ini. Setelah apa yang terjadi sebelumnya, nampaknya rasa malu miliknya sudah setipis kertas majalah. Dia juga menyarankan agar kami memasuki rumah hantu secara berpasang-pasangan. Sementara yang lainnya setuju dengan saran Zaki, apalagi Leila yang langsung setuju setelah melirikku. Aku bisa melihat dengan jelas motiv dibaliknya. Dia pasti berharap untuk memasuki rumah hantu itu bersama salah satu diantara Sindy, Leila dan Anita. Lalu, disaat hantunya muncul, dia akan merasa sangat senang jika pasangannya langsung memeluk dirinya karena ketakutan.
Dan beginilah, kami akhirnya melakukan undian dengan cara hompimpa.
Nahas baginya, harapannya langsung hancur saat dia tak memiliki pasangan sama sekali. Dia lupa bahwa jumlah kami ganjil sehingga mau tidak mau salah satu orang pasti akan masuk sendirian. Tak mau rencananya gagal, diapun meminta undian ulang, namun tak ada satupun dari kami yang menghiraukannya.
 Hasil dari undian tadi yaitu aku berpasangan dengan Sindy, lalu Leila dengan Anita, sementara Zaki sendirian.  Namun, untuk urutan masuk, kami berdualah yang mendapat urutan terakhir.
Oh ya, aku penasaran reaksi seperti apa yang akan ditunjukkan oleh Sindy. Selama ini, dia tak sering menunjukkan ekspresinya. Terakhir kali aku melihat dirinya penuh ekspresif adalah disaat insiden ledakan di penyerangan saat itu, lalu saat dia salah paham tentang hubunganku dengan Anita, disaat dia tahu bahwa aku belum memberi tahu Anita tentang waktu kehidupannya yang tersisa dan yang terakhir adalah saat dia mengajakku mengobrol saat pindahan.
Oh ya, aku masih penasaran dengan apa yang ingin dikatakannya saat itu.
Kamipun masuk. Hantu-hantu terus bermunculan menghadang kami berdua. Namun tanpa kuduga sama sekali, tak ada satupun hantu yang membuatnya takut. Sebaliknya, tanpa terkecuali semua hantu yang ada justru membuatku takut. Wajahnya begitu tenang.
Tanpa kami sadari, kami berdua akhirnya tiba di pintu keluar dari rumah hantu. Disaat aku akan membuka pintu dengan meraihnya dengan tangan kananku, tanpa kusadari Sindy yang selama ini berpegangan pada lengan kausku.  Dia mencubit kausku dengan kencang. Aku terlalu fokus dengan ekspresi di wajahnya tanpa menyadari bahwa masih ada cara lain untuk menunjukkan perasaannya. Dia juga nampaknya tak sadar bahwa selama ini dia melakukan itu dan baru menyadarinya saat aku mengangkat tangan kananku.
Dengan cepat, dia langsung melepaskan cubitannya lalu menunduk. Aku juga bingung dengan apa yang sebaiknya kukatakan untuk memecah kecanggungan diantara kami berdua. “Se-sebaiknya kita segera keluar, yang lainnya pasti sudah menunggu kita.” Aku langsung meraih kenop pintu lalu membukannya.
***
Tanpa terasa, waktu sudah berlalu. Tak terasa sekarang sudah pukul 11 malam. Oh ya, khusus malam tahun baru, Happyland akan buka hingga pukul 2 malam. Karena itulah banyak orang yang lebih memutuskan untuk menghabiskan malam tahun barunya di sini.
Tepat pukul 12 malam nanti, akan dinyalakan petasan. Mulai dari petasan bambu hingga petasan pelontar. Petasan akan diadakan tepat di Kastil Boneka, tepat di hadapan Kastil Boneka terdapat sebuah halaman dan taman luas yang mampu menampung banyak orang sekaligus. Disaat petasan dinyalakan di atas kastil boneka, maka pengunjung bisa menontonnya sembari menyambut tahun baru.
Namun tanpa kami duga, pengunjung tahun ini sangatlah ramai sehingga membuat taman maupun halamannya penuh dengan orang. Saking penuhnya, hingga membuat satu sama lain berdesak-desakkan. Jika begini terus, maka akan sulit untuk melihat petasan.
Saat kusadari, aku sudah terpisah dari yang lainnya. Nampaknya aku terlalu terbawa arus dan dorongan sehingga membuatku terpisah dari Zaki dan yang lainnya. Tiba-tiba, smartphoneku berdering. Kuambil smartphone tersebut dari kantung celanaku lalu memeriksa siapa yang menelponku “Zaki...?” Sebelum mengangkat telepon tersebut, aku langsung menepi ke tempat yang sepi agar terhindar dari suara keramaian ini.
Aku jawab panggilan telepon itu lalu kudekatkan smartphoneku ke telingaku “Halo, Zaki? Dimana kau?”
Halo, Dimo? Saat ini aku, Sindy, Leila dan Anita sedang beristirahat di taman. Bisakah kau segera ke sini?
Aku menengok menuju ke arah dimana taman berada, namun jalan menuju ke tempat itu terlalu ramai sehingga tak memungkinkan bagiku untuk bisa pergi kesana “Tidak, tidak bisa. Kurasa tempat ini terlalu ramai. Apa kau punya ide lain untuk melihat petasan tanpa ada gangguan?”
Sebentar, aku akan meminta saran kepada yang lainnya.....
Beberapa menit kemudian.
....Begini saja, bagaimana jika kita melihat petasannya dengan menaiki Biang Lala saja?
“Apa kau yakin?”
Ya, saat ini perhatian semua orang sedang berpusat ke tempat ini. Kita pasti bisa menaiki Biang Lala tanpa harus mengantri terlebih dahulu. Di tambah lagi, lokasi wahana Biang Lala yang tak jauh dari tempat ini.
“Baiklah, aku akan segera kesana.” Kuputus telepon darinya lalu kukantungi kembali smartphoneku. Sembari mencari jalur paling sepi untuk kesana, akupun mulai berlari.
***
Aku akhirnya tiba.
“Gawat, sekarang pukul 23:52....” Sembari menengok kesana-kemari mencari Zaki dan yang lainnya, aku memeriksa jam di smartphoneku. Aku berlari menghampiri loket masuk wahana agar bisa lebih mudah mencari mereka.
Tak lama kemudian, merekapun tiba. Meski ngaret beberapa menit, ini lebih baik dari pada tidak sama sekali. Tak mau membuang waktu, kamipun langsung membeli karcis dan menaiki Biang Lala sebelum pesta petasan malam tahun baru di mulai. Diantara kami berlima, Anitalah yang nampaknya begitu tertarik dengan malam pergantian tahun ini. Sesaat setelah Biang Lala mulai berputar, Anita terus menerus menatap kearah jendela—kearah dimana pesta petasan diadakan, yaitu Istana Boneka.
Meski Biang Lala sudah mencapai puncaknya dan berhenti berputar, dia sama sekali tidak memalingkan wajahnya. Seperti tenggelam di dunianya sendiri.
Aku menengok kearah Zaki, Leila dan Sindy yang sedang asik bersiap untuk menghitung mundur. Aku mengambil smartphoneku kembali, sekarang pukul 23:58, pantas saja mereka begitu berantusias.
Terompet-terompet diluar mulai berbunyi dan semakin keras. Menunjukkan bahwa semakin banyak orang yang mulai meniupnya. Meski sudah hampir tengah malam, tak ada satu orangpun yang nampak sudah lelah. Selain terompet, banyak juga yang mulai menyalakan petasan pelontar miliknya sendiri yang sudah mereka bawa dari rumah. Petasan yang saat mencapai puncaknya akan meletus dan berubah menjadi percikan-percikan api kecil berwarna-warni nan indah seperti bunga. Suara terompet dan petasan yang memekakkan telinga begitu terdengar hingga ke dalam Biang Lala. Bahkan untuk berbicara satu sama lain, kami harus mengeluarkan suara yang kencang.
Suara terompet semakin kencang dan petasan pelontar yang semakin banyak banyak bermunculan menunjukkan bahwa malam tahun baru semakin dekat setiap detiknya.
“5.... 4.... 3.... 2.... 1.... Selamat tahun baru!”
Keramaian mencapai puncaknya. Semua orang berteriak menserukan selamat tahun baru. Petasan pelontar dan yang lainnya yang ada di atas Istana Boneka akhirnya dinyalakan. Warna-warni indah yang terus bermunculan dan mewarnai langit malam yang kelam. Seakan bunga terus bermekaran di langit. Cahayanya begitu terang hingga tak kalah terang dengan cahaya bulan.
Tak lama kemudian, Anita dengan lembutnya menengok kearahku. Dengan senyuman di wajahnya serta pipi yang begitu merona dan begitu cerah. Matanya yang berbinar dan wajahnya yang terus dihiasi oleh cahaya petasan yang terus-menerus berganti. Cahayanya seakan menari-nari dengan indahnya.
Dia membuka mulutnya. “Dimo, aku.....” Seakan berkata-kata, mulutnya terus bergerak menciptakan setiap kata yang tak bisa kudengar. Suaranya yang begitu kecil membuatya tertutup oleh suara petasan dan terompet. Beberapa kata yang tak bisa kudengar itu, entah mengapa membuat kedua mataku terbelalak. Aku tak bisa memalingkan wajahku sedikitpun darinya.
Entah mengapa, rasanya ada sesuatu, ada sebuah perasaan yang tak bisa tersampaikan dan terungkapkan melalui kata-kata itu. Jika kubayangkan, rasanya begitu menyedihkan dan juga menyakitkan.
Aku menengok kearah Zaki dan yang lainnya yang juga nampak tak mendengar kata-kata yang diucapkan olehnya. Mereka terus mengobrol sementara aku disini, tak berkata-kata.
Aku kembali menengok kearah Anita. Dia hanya tersenyum lembut sembari  menutup kedua matanya. Lalu kembali menengok menengok kearah petasan.
Sementara itu, aku hanya terdiam membisu tanpa bisa bertanya balik kepadanya. Rasanya, jika aku melakukan itu, ada sesuatu, akan ada sesuatu yang hilang dariku.
Rasanya aku akan menjadi kopong.
Setelah itu, kamipun bersiap untuk pulang. Namun sebelum itu, kami melakukan foto-foto terlebih dahulu untuk bisa mengabadikan momen-momen yang tak terlupakan ini.
Aku bersyukur mempunyai teman seperti mereka.
Kamipun pulang.
Sebelum pulang ke rumah masing-masing, kami sempat berkumpul terlebih dahulu di rumahku untuk beristirahat. Setelah beberapa menit berlalu, kamipun akhirnya berpisah.
Aku kembali teringat dengan momen-momen itu. Kata-kata yang tak bisa kudengar tersebut. Anita, dia nampak begitu bahagia. Mungkin ini pertama kalinya dia merasakan momen-momen bahagia seperti ini.
Aku merasa bersalah. Aku tak ingin menghapus kebahagiaan itu dari wajahnya, namun betapa egoisnya aku jika aku tidak memberitahunya. Kurasa sekarang sudah saatnya bagiku untuk memberitahu Anita mengenai kondisi tubuhnya. Disaat Anita hendak akan membuka pagar untuk pulang, aku berlari menghampirinya.
Mendengar suara langkah kakiku, diapun berbalik. Menatap diriku yang nampak kehabisan napas akibat berlari. “Anita, ada yang harus kuberitahukan kepadamu sebenarnya tu—”
“Apa kau, masih punya teh?” Dia menutup pagar lalu tersenyum kepadaku.
***
“Ini... awas, masih panas.” Aku menyerahkannya teh. Dia menerima teh tersebut lalu kembali menatap bintang-bintang di langit malam. Sembari bersender di pagar lantai dua ini, dia menatap langit dengan dalamnya. Sesekali dia menyeruput teh miliknya, uap keluar dari mulutnya karena dinginnya malam. Angin malam yang dingin berhembus kencang meniup rambut putihnya yang terang. Aku menghampirinya dan berniat untuk memberi tahunya “Anita....”
“Apa kau suka novel?” Potong Anita. Dia menengok kearahku dengan penuh penasaran.  Pertanyaan tiba-tibanya itu lagi-lagi memotong kata-kataku.
“Um, aku tak terlalu suka membaca novel.... tapi aku suka membaca komik.” Kugaruk rambutku lalu ikut bersender di pagar kayu ini “Memangnya ada apa? Tiba-tiba sekali.”
“Sejak dulu, aku selalu ingin menjadi novelis. Aku ingin membayangkan betapa indahnya dunia ini dan menyusun serta mengungkapkannya melalui kata-kata.” Dia menengok kearahku lalu mengedipkan salah satu matanya “Lalu saat novel tersebut sudah rampung, kaulah orang pertama yang akan membacanya.”
“A-aku? La-lalu, kenapa kau ingin menjadi novelis?” Aku tersenyum kecut sembari tersipu malu, perasaan malu serta khawatir bercampur menjadi satu.
“Karena kau. Kau tahu, sejak dulu kau selalu menceritakan kepadaku betapa indahnya pemandangan dan segala hal yang ada di dunia ini. Kaulah orang yang telah memotivasiku untuk menjadi seorang novelis.”
“Lalu bagaimana pendapatmu mengenai dunia ini?”
“Indah, sangat indah. Bahkan lebih indah dari yang kubayangkan.” Anita kembali menatap lurus kedepan sembari berpangku dagu lalu tersenyum.
~BERSAMBUNG~

No comments:

Post a Comment